Kukuh Kertasafari dalam persidangan kasus bioremediasi.

Kukuh Kertasafari dalam persidangan kasus bioremediasi.

JAKARTA – Apa yang dikhawatirkan terjadi. Dengan tetap menjalankan puasa Ramadan, Kukuh Kertasafari mendengarkan pembacaan putusan Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat dalam kasus bioremediasi, yang menjatuhkan vonis dua tahun penjara atas dirinya. Karyawan PT Chevron Pacific Indonesia ini pun berkata, “innalillahi wainna ilaihi rajiun”. 

Mungkin potongan ayat suci Al Quran yang berarti “sesungguhnya kami adalah kepunyaan Allah dan kepada Allah jualah kami kembali” ini, dianggap Kukuh paling cocok mewakili suasana hatinya, yang dalam kurun satu setengah tahun terakhir harus menjadi pesakitan, berhadapan dengan meja hijau peradilan, atas suatu tuduhan korupsi yang sangat jelas dipaksakan.

Kukuh merasakan semua yang dialaminya, mulai penahanan hingga peradilan selama berbulan-bulan, adalah musibah yang tak diduga sebelumnya. Sedikit pun tidak ada kewenangan menangani proyek bioremediasi, yang melekat pada dirinya selaku Team Leader Produksi Area 5 dan 6 di wilayah operasi Sumatera Light South (SLS) Minas Chevron Indonesia. Namun ia tetap dituntut dan divonis bersalah, telah melakukan tindakan pidana bersama-sama.

Vonis bersalah dan hukuman penjara dua tahun untuk Kukuh, dibacakan oleh Ketua Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Sudharmawati Ningsih, pada Rabu, 17 Juli 2013. Pembacaan putusan ini tertunda satu minggu, setelah Majelis Hakim pada 10 Juli 2013 lalu, mengaku belum siap membacakan putusan karena butuh waktu lebih lama untuk bermusyawarah.

“Menyatakan Kukuh Kertasafari terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut,” ucap Sudharmawati Ningsih membacakan amar putusannya. Menurutnya, Kukuh terbukti melakukan perbuatan sebagaimana diatur Pasal 3 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 juncto UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor. Selain pidana penjara selama 2 tahun, Kukuh wajib membayar denda Rp 100 juta subsidair 3 bulan kurungan.

Pengadilan Sarat Kejanggalan

Sejak awal ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus bioremediasi 2012 lalu, Kukuh mengaku sudah menemukan banyak kejanggalan. Terutama saat terungkap bahwa jaksa penyidik ternyata mengira jabatannya Team Leader Bioremediasi Chevron. Kukuh pun menegaskan bahwa jabatannya Team Leader Produksi, bukan Team Leader Bioremediasi, dan tidak bertanggung jawab soal proyek bioremediasi.

Toh jaksa seolah tidak mau pekerjaannya mubazir. Pada tahap dakwaan dan penuntutan, Kukuh tetap dipaksa untuk mengaku bersalah, karena selain Team Leader Produksi ia juga Koordinator Environmental Issues Seatlement Team (EIST). Jaksa bersikeras EIST ikut bertanggung jawab dalam penetapan tanah tercemar limbah minyak yang harus dibioremediasi.

Belasan saksi dihadirkan di persidangan dalam enam bulan terakhir, dan seluruhnya menyatakan penetapan tanah tercemar limbah bukan tanggung jawab EIST. Melainkan tanggung jawab Tim IMS (Infrastructure Management Support) di Chevron. Namun jaksa tetap pada tuntutannya serta meminta Kukuh yang alumni ITB ini dinyatakan bersalah dan harus dihukum.

Kukuh juga mengaku heran, ia dituduh bersalah melakukan tindakan bersama-sama dengan dua kontraktor Chevron, Herland bin Ompo dan Ricksy Prematuri. Padahal sebelumnya ia tidak pernah kenal maupun bertemu dengan Herland dan Ricksy. “Saya baru ketemu serta kenal Herland dan Ricksy, saat sama –sama mendekam di tahanan Kejaksaan Agung sebagai tersangka kasus bioremediasi,” ujarnya.    

Dalam pernyataannya usai penundaan sidang pada Rabu, 10 Juli 2013, Kukuh berharap majelis hakim memberikan putusan yang adil kepadanya, berdasarkan nurani yang bersih. Saat ditanyakan tentang sikapnya nanti jika majelis hakim ternyata tetap memutusnya bersalah, Kukuh seketika berucap “innalillahi wa inna ilaihi raajiun”.

Masih Ada Hakim Bernurani

Meski harus mendapat cobaan berat di bulan Ramadan lewat vonis dua tahun penjara majelis hakim bioremediasi, Kukuh setidaknya masih bisa menegakkan kepala. Salah satu anggota majelis hakim bioremediasi yang menangani perkaranya, yakni Hakim Slamet Subagyo masih berani memperjuangkan nuraninya di depan persidangan.

Hakim anggota Slamet Subagyo mengajukan dissenting opinion (pendapat berbeda, red) dan menyatakan Kukuh tidak bersalah. Slamet Subagyo menegaskan, Kukuh tidak terbukti menyalahgunakan kewenangan sebagaimana diatur dalam Pasal 3 UU 31/1999 juncto UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tipikor. “Unsur pokok Pasal 3 tidak terbukti secara sah dan meyakinkan,” kata Slamet membacakan pendapatnya di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Rabu, 17 Juli 2013.

Dalam pertimbangannya, Slamet menyatakan Kukuh tidak ikut menetapkan lahan yang disebut terkontaminasi limbah minyak bumi di SLS Minas, Riau. “Yang menetapkan 28 lahan sebagai lahan terkontaminasi minyak adalah Tim IMS (Infrastructure Management Support),” ujar Slamet Subagyo.

Dijelaskan pula olehnya, penetapan lahan terkontaminasi limbah yang dilakukan Tim IMS, juga tidak berdasarkan perintah ataupun penugasan Kukuh. Dari keterangan saksi di persidangan juga diperoleh fakta, Kukuh tidak memiliki kewenangan melakukan pengujian terhadap tanah terkontaminasi.

“Dapat dibuktikan tanah yang disebut terkontaminasi adalah benar-benar terkontaminasi,” imbuh Slamet. Selain itu pembayaran ganti rugi kepada warga atas lahan yang terkontaminasi minyak, tidak berhubungan dengan proyek bioremediasi yang dikerjakan PT Sumigita Jaya sebagai kontraktor. “Proses bioremediasi merupakan pekerjaan lain yang pelaksanaannya tidak melibatkan terdakwa,” tegasnya lagi.

“Terdakwa tidak punya kehendak bersama Endah Rumbiyanti (karyawan Chevron) dan Herland bin Ompo (Direktur PT Sumigita Jaya) dengan tujuan melakukan tindak pidana korupsi,” kata Slamet lagi. Toh Ketua Majelis Hakim, Sudharmawati Ningsih tak bergeming, dan tetap menghukum Kukuh dengan penjara selama 2 tahun, disertai denda Rp 100 juta subsidair 3 bulan kurungan.

(Abraham Lagaligo / abrahamlagaligo@gmail.com)