JAKARTA – Tidak ada yang tahu dengan rencana Tuhan. Pun begitu dengan jalan hidup perempuan yang pernah menjadi srikandi nomor satu di perusahaan negara terbesar di Indonesia. Siapa tidak kenal dengan Karen Agustiawan, ia merupakan perempuan pertama yang duduk di pucuk pimpinan PT Pertamina (Persero) periode 2009-2014. Sebelum bergabung dengan Pertamina, perempuan yang kini bekerja sebagai dewan penasehat Pereira International terlebih dulu bekerja di Hallliburton.

Karen mengaku bergabung dengan Pertamina secara tidak sengaja. Dia justru lebih memilih untuk dikatakan masuk Pertamina karena “kecelakaan”. “It was by accident saya hijrah dari Halliburton ke Pertamina. Tiba-tiba saya dapat call dari teman, saya tidak terpikir apapun saat itu. Karena saat itu saya hanya ingin to do my consultant work,” cerita Karen dalam DETalk edisi Perempuan di industri ekstraktif yang digelar Dunia Energi, dalam menyambut Hari Kartini, Selasa (20/4).

Karen mengungkapkan, karirnya di Pertamina dimulai sebagai staf ahli bidang hulu migas. Karen mengaku hanya berusaha menjalankan tugas dengan sebaik-baiknya. Tidak ada tujuan khusus sampai pada akhirnya dia diminta untuk melakukan Fit and Proper Test sebagai Direktur Hulu Pertamina.

Lulusan Teknik Fisika Institute Teknologi Bandung (ITB) ini akhirnya lolos sebagai direktur hulu. Dia menduduki jabatan direksi pada 2008-2009. Ada kebanggaan tersendiri bagi Karen saat dipercaya menahkodai bisnis utama Pertamina sejak dulu, yakni di bisnis hulu yakni ia merupakan perempuan pertama yang bisa menjadi direktur hulu Pertamina.

“Itu mungkin milestone bagi Pertamina karena saya pertama dan satu-satunya direktur hulu perempuan. It was though at first but I got through with it,” kenang Karen.

Selang setahun istri dari Herman Agustiawan, mantan Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) ini kemudian menduduki jabatan sebagai orang nomor satu di Pertamina selama lima tahun. Bukan hal yang mudah menjadi direktur utama di perusahaan sebesar Pertamina. Apalagi jika mengingat bisnis Pertamina yang penuh dengan risiko serta dikenal sebagai industri ekstraktif yang sarat akan maskulinitas.

Karen tidak gentar, ia menegaskan memimpin Pertamina selama lima tahun itu dengan cara layaknya seorang ibu.

“Perempuan memang berbeda cara mempimpinnya, karena we are motherhood. Semua portfolio itu based on economic. Semua itu yang berbicara adalah angka. Kalau leader laki-laki mungkin straight forward. Perempuan itu kan selalu detail. We put it all in one basket. Kita touch their inner heart, jadi tidak dianggap menggurui atau memerintah. We put it that luxury,” ungkap Karen.

Dia menceritakan saat menjadi direktur utama Pertamina, kepemimpinannya juga didukung oleh tim yang solid dan ini dia jaga betul agar soliditas itu tidak pudar.

Karen mempunyai kebiasaan dalam memutuskan harus dibicarakan dengan jelas bersama dengan tim (direksi) di atas meja. Karen menceritakan selama menjabat sebagai direktur utama, dia dan timnya jarang tidak mencapai kata sepakat. Karena pada saat membahas suatu proyek atau rencana kerja perusahaan, dia terlebih dulu mendengarkan masukan dari tim.

“Saya ingin tahu dari masing-masing direksi terkait suatu proyek. The end of the day majority will define a company. Saya tidak kenal kebijakan yang top down, kita semua sama. Saya punya direksi sembilan. Jarang kami tidak mencapai suatu kesepakatan. Sebelum mencapai keputusan mereka sudah fully understood. Dulu BOD support-nya Pertamina bagus sekali. Kami sampai ada julukan A-team karena saking kompaknya. Everything is transparant,” ungkap Karen.

Karen mengingatkan perempuan harus menunjukkan kemampuannya secara optimal di dunia ekstraktif. Tidak ada tempat untuk merasa minder atau lainnya. Dia bahkan mendukung jika harusnya perempuan lebih berperan dalam sektor energi tanah air.

Menurut Karen, porsi perempuan yang bekerja di sektor Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) masih sedikit dibandingkan kaum adam. Karena itu, jumlah perempuan yang berkarier di sektor ini perlu terus ditambah di semua level, baik di sektor hulu, midstream ataupun di sektor hilir. Demikian juga di bidang-bidang yang terkait erat dengan sektor ESDM, penelitian dan sebagainya.

The more the better, wanita itu multi tasking. Kalau sudah diberikan kepercayaan di posisi tertentu, mereka mampu menjalankan dengan baik, tidak kalah dengan laki-laki. Mungkin 25% lah (porsi perempuan),” kata Karen.(RI)