JAKARTA – PT Bukit Asam Tbk (PTBA) saat ini menjadi satu-satunya perusahaan tambang batu bara yang melakukan hilirisasi dengan proyek gasifikasi batu bara di Tanjung Enim, Sumatera Selatan. Bekerja sama dengan PT Pertamina (Persero) dan Air Product, proyek gasifikasi berbiaya US$2,1 miliar itu akan menjadi hilirisasi batu bara pertama yang telah lama dinantikan di tanah air.

Apollonius Andwie, Corporate Secretary Bukit Asam, mengungkapkan ada banyak manfaat dari proyek gasifikasi yang sedang digarap Bukit Aswm. Pertama, program pemrosesan batu bara menjadi dimethyl ether (DME) atau gasifikasi batu bara untuk digunakan sebagai alternatif pengganti LPG yang angka impornya terus membengkak setiap tahun.

Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), impor LPG pada 2020 telah mencapai 77,63% dari total kebutuhan nasional sebanyak 8,81 juta ton. Tanpa upaya hilirisasi batu bara, rasio angka impor LPG bisa naik menjadi 83,55% dari total kebutuhan 11,98 juta ton di 2024.

“Bukit Asam menargetkan kesepakatan bisnis kerja sama pengembangan proyek gasifikasi dapat ditandatangani pada November 2020 bersama dengan PT Pertamina (Persero) dan Air Products and Chemicals, Inc. (USA) sebagai investor,” kata Apollonius, Rabu (11/11).

Persiapan konstruksi proyek Coal to DME ini akan dimulai pada awal 2021 dan ditargetkan pabrik beroperasi pada kuartal II 2024. Proyek hilirisasi itu juga telah disetujui Presiden Joko Widodo sebagai bagian dari proyek prioritas sebagaimana tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2020 dengan sejumlah multiplier effect yang bisa langsung ataupun tidak langsung bisa dirasakan.

Pertama, pembangunan proyek gasifikasi batu bara menjadi DME akan mendatangkan investasi US$2,1 miliar atau setara dengan Rp32 triliun ke Indonesia sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Kedua, pembangunan pabrik akan memanfaatkan cadangan batu bara kalori rendah Bukit Asam yang berpotensi tidak dapat dijual sebanyak 180 juta ton selama 30 tahun.

Selanjutnya pabrik gasifikasi batu bara akan mengolah sebanyak enam juta ton batu bara per tahun untuk diproses menjadi 1,4 juta ton DME. “Produk ini mampu membantu mengurangi impor LPG sebanyak lebih dari 1 juta ton per tahun,” kata Apollo.

Pengurangan impor LPG tersebut dapat menghemat cadangan devisa negara sebesar Rp8,7 triliun per tahun atau Rp261 triliun selama 30 tahun.

Selain itu, ada multiplier effect berupa manfaat langsung yang diperoleh pemerintah senilai Rp800 miliar per tahun atau Rp24 triliun selama 30 tahun. Lalu penghematan neraca perdagangan sebesar kurang lebih Rp5,5 triliun per tahun atau senilai Rp165 triliun selama 30 tahun  Serta pemberdayaan industri nasional dengan melibatkan tenaga lokal dan penyerapan jumlah tenaga kerja sebanyak 10.570 orang saat tahap konstruksi dan 7.976 orang selama masa operasi.

Apollo menegaskan kajian pengembangan proyek ini telah dilakukan secara komprehensif dengan melibatkan
konsultan teknis, finansial dan legal berstandarisasi internasional. “Serta melibatkan juga Kementrian dan Lembaga terkait,” kata Apollo.(RI)