JAKARTA – Proyek integrasi sistem manajemen dinilai akan semakin kompleks dan bertingkat. Kebutuhan untuk memiliki alat yang lebih canggih untuk memantau kegiatan operasional, juga kian berkembang atau biasa disebut tren industri 4.0.

“Kami percaya memiliki peluang bagus untuk memberikan kontribusi positif dalam proses revolusi digital,” ujar Ron Beck, Direktur Pemasaran Industri Aspen Tech di Jakarta, belum lama ini.

Aspen Tech. salah satu perusahaan perangkat lunak asal Amerika Serikat, telah berdiri sejak 37 tahun lalu, AspenTech hadir membawakan solusi menarik dan relevan di dunia digital khususnya di sektor energi.

Perusahaan yang telah memiliki cabang di berbagai negara yaitu China, Singapura, Korea, Jepang, Meksiko, Amerika Utara dan Eropa ini memiliki kemampuan untuk dapat meningkatkan produktivitas dan efisiensi. Misalnya saja, Kilang Minyak Irving yang beroperasi di Kanada. Dengan bantuan AspenTech, mereka mengklaim bahwa terjadi kenaikan laba bersih hingga US$ 10 juta per tahunnya.

“Produksinya meningkat sekitar 73 ribu barel per hari. Rata-rata pengilangan minyak Irving dapat memproduksi hingga 300 ribu barel minyak per hari,” ungkap Beck.

Selain itu, Saras S.p.A, perusahaan minyak raksasa Italia akhirnya bisa menikmati peningkatan pendapatan hingga 3 % dalam setahun. Biaya operasional perusahaan yang dimiliki oleh keluarga Moratti itu juga diklaim lebih rendah, sebesar 5 %.

“Kedatangan Aspen Tech ke Indonesia didasarkan kepercayaan bahwa Indonesia merupakan pasar yang potensial. Apalagi pada tren industri 4.0 sekarang ini, dimana pemerintah Indonesia juga sangat mendorong pergerakannya,” kata Beck.

Dia menambahkan, di Indonesia ada beberapa perusahaan dari berbagai industri yang menggunakan solusi Aspen Tech, seperti PT Pertamina (Persero), PT Rekayasa Industri, PT Tripatra Engineering, PT Candra Asri Petrokimia, dan lainnya.

Sejauh ini, daftar pelanggan Aspen Tech di sektor energi telah didominasi oleh industri minyak. Hampir 40 % pengguna layanan berasal dari bisnis minyak bumi dan nafta. 29 % ditempati oleh perusahaan rekayasa dan konstruksi. 26 % diisi oleh industri kimia. Sementara industri pertambangan hanya sebesar 5% seiring dengan industri kemasan, pembangkit listrik, farmasi dan kertas.

“Melihat fakta bahwa denyut nadi industri terus bergerak menuju digitalisasi. Penggunaan teknologi digital adalah syarat mutlak bagi setiap perusahaan untuk bertahan dan unggul,” tandas Beck.(RA)