JAKARTA – Vivid Economics, lembaga konsultasi ekonomi strategis asal Inggris, merilis hasil analisis terbaru terkait paket-paket stimulus ekonomi penanganan Covid-19 di 16 negara di dunia. Dari 16 negara yang dijadikan sampel, Indonesia berada di peringkat paling rendah dalam indeks ‘green stimulus’ kebijakan ekonomi untuk penanganan Covid-19.

Indonesia diketahui telah menggelontorkan US$27 miliar untuk stimulus fiskal selama masa pandemi Covid-19. Dari jumlah tersebut, hampir separuh dari stimulus digunakan untuk sektor kesehatan dan perlindungan sosial. Pemerintah juga mengumumkan dukungan substansi untuk bisnis, termasuk insentif pajak, pinjaman, dan jaminan yang dalam analisis Vivid menunjukkan bahwa sebagian besar akan diarahkan ke industri yang dapat berdampak ke tata guna lahan.

Di negara-negara dengan kebijakan iklim dan keanekaragaman hayati yang tidak memadai, stimulus tersebut cenderung memperkuat kebijakan yang tinggi emisi dan tidak berkelanjutan. Sektor-sektor terbesar dalam ekonomi berbagai negara dinilai masih berkontribusi signifikan terhadap emisi gas rumah kaca, polusi udara dan air. Serta hilangnya keanekaragaman hayati. Negara-negara itu juga dinilai tidak memiliki kebijakan konkret untuk memfasilitasi transisi di sektor-sektor tersebut ke jalur yang lebih rendah karbon.

“Akibatnya, stimulus ke sektor-sektor tersebut berisiko memperkuat status quo yang secara signifikan condong ke arah cokelat, memperbesar risiko bagi kesejahteraan warga dan lingkungan dalam jangka pendek dan jangka panjang,” demikian dikutip dari analisis Vivid Economics, Mei 2020.

Analisis itu juga menyoroti Indonesia yang baru-baru ini mengesahkan Undang-Undang Mineral dan Batu Bara (UU Minerba). Kebijakan tersebut dianggap berisiko merusak komitmen sebelumnya untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, melestarikan alam, dan memperkuat modal alam.

“Meskipun undang-undang tersebut tidak menanggapi Covid-19 secara eksplisit, sangat mungkin bahwa undang-undang itu merespons peningkatan tekanan terhadap industri dari permintaan yang runtuh dari China dan India,” mengutip analisia Vivid Economics.

Sementara itu, sektor tata guna lahan disebut memiliki skor paling coklat atau menunjukkan indikator negatif terhadap dampak lingkungan. Analisis ini meliputi lima indikator pengukuran yaitu pertama skor climate action tracker yang dinilai sangat tidak memadai, kedua indikator Yale’s Environmental Performance yang dinilai rendah, ketiga indeks OECD Environmental Stringency yang disebut sangat rendah, keempat intensitas emisi sektoral dinilai tinggi, dan kelima EIU Agriculture Sustainability yang juga dinilai rendah.

Sesuai analisis Vivid Economics, Indonesia bersama dengan Brasil, telah menunjukkan kebijakan lingkungan yang secara historis sangat lemah dan rentan konversi lahan yang masif. Indonesia juga disebut melonggarkan pembatasan izin produsen kayu untuk merangsang kegiatan ekonomi. Diiringi dengan pengesahan UU Minerba, kedua hal ini dilihat sebagai ancaman besar terhadap tata guna lahan yang lebih berkelanjutan.

Dalam hal pemberian stimulus fiskal, Indonesia (US$27 miliar) berada di urutan kedua terendah di antara 16 negara. Paket stimulus tertinggi diberikan oleh Amerika Serikat sebesar US$2,9 triliun dan terendah Meksiko US$26 miliar. Stimulus tersebut secara umum diprioritaskan untuk fokus pada dampak langsung dari krisis, pengamanan lapangan kerja, tunjangan pengangguran, uang tunai bagi pekerja dan rumah tangga, serta likuiditas bagi bisnis.

Pada saat yang sama, sekitar US$2,2 triliun atau 27% dari total stimulus di 16 negara mengalir ke sektor-sektor dengan dampak lingkungan yang tinggi – baik pada perubahan iklim, keanekaragaman hayati, maupun polusi. Proporsi ini diperkirakan akan meningkat ketika upaya stimulus diperdalam untuk pemulihan jangka panjang.

Idealnya, perencanaan pendanaan yang lebih tepat seharusnya memungkinkan setiap negara untuk merespons krisis Covid-19 tanpa meningkatkan risiko pada kesehatan masyarakat, keamanan pekerjaan, stabilitas fiskal, sekaligus kelestarian lingkungan. Stimulus ekonomi yang diberikan kepada sektor-sektor dengan dampak lingkungan yang tinggi lebih baik diarahkan ke energi bersih dan pembangunan rendah karbon.(RA)