LABUAN BAJO – Energy Transition Working Group (ETWG) edisi kedua menjadikan percepatan transisi energi sebagai salah satu pembahasan utama. Indonesia sebagai tuan rumah bakal mengejar kesepakatan prinsipal yang akan tertuang dalam Bali Common Principles in Accelerating Clean Energy Transitions (COMPACT). Dengan kesepakatan itu diharapkan  pada saat pertemuan KTT G20 bisa jadi fundamental utama negara-negara G20 untuk bersama-sama mengejar target transisi energi yang memang sudah disepakati bakap dipercepat.

Yudo Dwinanda Priaadi, Chair Energy Transitions Working Group (ETWG) G20, menjelaskan agar dapat mengerucutkan pembahasan pada forum energi dalam gelaran G20 yang kedua ini, delegasi negara sepakat untuk bisa mengerucutkan poin-poin kesepakatan dalam mempercepat transisi energi.

Menurut dia, pada pertemua pertama  di Yogyakarta tiga bulan lalu, negara-negara G20 sepakat akan tiga hal yaitu energy access, technology and financing. Isu ini akan kita bahas lebih lanjut terutama Bali Compact. Jadi, ada serangkaian prinsip yang dibahas untuk mendapatkan kesepakatan awal sebelum maju ke komunike.

“Nantinya, draft ini akan jadi acuan pengambilan keputusan pada komunike pada pertemuan menteri energi di Bali,” ujar Yudo, di Labuan Bajo, Kamis (23/6).

Dia  optimistis kesepakatan bisa terwujud lantaran seluruh anggota G20 telah menandatangani Net Zero Emissions (NZE) berdasarkan kebutuhan negara masing-masing.

“Bedanya pertemuan sekarang adalah semua negara G20 sudah mendeklarasikan rencana NZE mereka. Oleh karena itu, kami butuh principles yang mendorong untuk implementasi transisi energi,” jelasnya.

Salah satu kelebihan dari Forum G20 adalah menciptakan gerakan global (global movement). Transisi energi maupun NZE menjadi salah satu isu global sejak pertama kali dibahas di tahun 2018. “Cukup empat tahun isu transisi energi menjadi pembahasan semua orang dan sebagai grup kami bergerak bersama-sama,” jelas Yudo.

Sebagai Presidensi G20, Indonesia ingin mengoptimalkan peluang percepatan transisi energi melalui pemanfaatan energi baru dan terbarukan (EBT). Hal itu juga akan disisipkan dalam pembahasan dengan anggota G20 lainnya. “Tentu kita ingin ada manfaat. Kita akan susun beberapa inisiatif proyek yang dikompilasikan di sherpa. Tapi, sebagai Presidensi kita juga harus memikirkan (kepentingan) grup, tidak bisa memikirkan diri sendiri,” tegas Yudo.

Salah satu project yang tengah menjadi pembahasan di G20 adalah usulan Brasil atas Biofuels Platform. “Jadi ini isu satu kerja sama di G20 dan di luar G20 untuk menggunakan bioenergi di masa mendatang. Semua dipelajari, mana yang bisa diterima oleh semua anggota,” tutur Yudo.

Adapun Indonesia  tengah mengusulkan program carbon capture di proyek  Tangguh, Papua Barat. “Nilainya cukup besar kira-kira butuh US$3 miliar. Kami mengusulkan sekonkret mungkin baik secara tekstual maupun hasil,” tutur Yudo.

Yudo menegaskan dukungan finansial dan teknologi dari negara maju menjadi hal penting untuk mengimplementasikan transisi energi secara global. Hal Ini yang akan didorong terus di G20. “Sidang besok Jerman akan bicara sebagai Presidensi G7, kita mendorong Just Energy Transitions Partnership (JETP),” ujar dia.

Model kerja sama JETP sudah pernah dilaksanakan oleh Afrika Selatan dengan Amerika Serikat, Prancis, dan Jerman. Kemitraan tersebut bertujuan mengakselerasi dekarbonisasi industri Afrika Selatan dengan fokus sistem kelistrikan dengan initial commitment sebesar USD8,5 miliar pada tahap pertama.

Dia juga menjelaskan pada pertemuan ETWG kedua ini juga akan membahas lebih rinci terkait poin besar yang disepakati pada pertemuan ETWG pertama di Yogyakarta Maret silam.

“Misalnya kami bicara kemarin akses energi yang terjangkau bagi seluruh masyarakat. Kami  akan rincikan pada pertemuan ini seperti apa skema dan contoh proyeknya,” ujar Yudo. (RI)