JAKARTA – Bank Dunia menilai Indonesia gagal untuk mengejar target penurunan emisi maupun pemenfaatan energi baru terbarukan. Ini bisa dilihat dari data yang ada dimana ada penigkatan emisi cukup signifikan yang disumbang dari sektor energi dan transportasi yang diiringi dengan lambatnya pengembangan energi hijau atau Energi Baru Terbarukan (EBT) di tanah air.

Satu Kahkonen, Direktur Bank Dunia untuk Indonesia dan Timor Leste,  mengungkapkan pertumbuhan dalam pemangkasan emisi yang dijanjikan pemerintah dalam COP Paris 21 yang akan turunkan emisi 29% pada 2030 masih jauh dari harapan karena dalam datanya pada  2000 kontribusi energi dan transportasi rata-rata hanya 30% dari total emisi yang dihasilkan kini jumlanya jauh meningkat.

“Sekarang dua sektor itu berkontribusi rata-rata 50% total emisi yang ada d Indonesia. dan jumlahnya akan terus meningkat,” kata Satu dalam disela pembukaan Digital Indonesia International Geothermal Convention (DIIGC) 2020, Selasa (8/9).

Menurut Satu, pengembangan EBT di Indonesia masih cukup jauh dari harapan. Padahal Indonesia memiliki sumber daya yang mumpuni untuk bisa mengejar target-target penurunan emisi, misalnya saja geothermal, angin serta air. Tiga sumber daya EBT itu merupakan sumber utama yang bisa dijadikan andalan untuk mengikis pengunaan bahan bakar fosil penyumbang utama emisi.

Indonesia hingga kini masih sangat bergantung pada batu bara untuk pembangkit listrik. Padahal ada panas bumi yang jumlah cadangannya melimpah dan merupakan EBT paling cocok untuk bisa gantikan batu bara yang selama ini memasuk kebutuhan listik melalui siste kelistrikan utama di Jawa-Bali dan Sumatera.

“Ada potensi 20 gigawatt (GW) potensi panas bumi yang bisa dikembangkan untuk menggantikan PLTU di sistem utama,” kata Satu.

Tidak hanya bisa menggantikan PLTU yang memasok kebutuhan di Jawa-Bali serta Sumatera, panas bumi juga bisa mengisi kekurangan pasokan listrik yang dialami Indonesia bagian timur yang selama ini mengandalkan diesel atau BBM. Jika bisa dikembangkan, panas bumi diyakini bisa menekan biaya tinggi yang harus dikeluarkan untuk membeli BBM.

“Ada potensi memngembangkan 1-2 GW pembangkit panas bumi yang biaya produksi listriknya bisa lebih efisien dibanding diesel,” ujar Satu.

Hanya saja jika mau menjadikan panas bumi sebagai andalan untuk memangkas emisi maka pemerintah Indonesia harus segera menyelesaikan masalah yang kini terjadi sehingga tidak ada perkembangan signifkan panas bumi di Indonesia dalam beberapa tahun kebelakang. Panas bumi mendapatkan saingan berat dari penggunaan batu bara yang harga listriknya sangat murah hanya sekitar US$ 7 cent per kWh di Jawa-Bali dan US$9 cent per kWh di Sumatera. Sementara panas bumi harga listriknya masih disekitar US$10-US12$ cent per kWh.

Arifin Tasrif, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mengakui perkembangan panas bumi tidak sesuai target. Untuk itu kini pemerintah tengah mempersiapkan aturan baru untuk bisa mendorong perkembangannya.

Dalam rancangan Perpres harga listrik energi terbarukan yang kini dinantikan penerapannya, harga listrik PLTP menggunakan skema harga patokan tertinggi. Harga listrik PLTP ditetapkan sebesar US$4,56 sen per kWh untuk kapasitas di atas 100 MW, US$5,57 sen untuk kapasitas 50-100 MW, US$6,26 sen untuk kapasitas 10-50 MW, dan paling tinggi US$6,8 sen per kWh untuk kapasitas hingga 10 MW. Sementara harga listrik energi terbarukan lainnya ada yang mencapai US$ 7-12 sen per kWh.

Selain langkah tersebut beberapa inisiatif lainnya juga akan dilakukan, seperti sinergi BUMN dalam pengembangan panas bumi. Ada juga optimalisasi sumber daya panas bumi pada WKP yang telah berproduksi dengan pengembangan atau ekspansi dan pengembangan pembangkit skala kecil.

Pemerintah juga berniat mengembangkan sumber daya panas bumi di wilayah Indonesia bagian timur. Lalu penciptaan demand pada daerah yang memiliki sumber daya panas bumi tinggi namun demand nya rendah.

Sinergi dengan masyarakat dan pemerintah daerah untuk mengelola isu sosial atau resistensi dalam pengembangan panas bumi juga sangat penting untuk terus ditingkatkan.

Monitoring dan evaluasi pelaksanaan proyek panas bumi secara Nasional yang melibatkan Kementerian ESDM (Badan Geologi, Ditjen EBTKE, Ditjen Ketenagalistrikan), KLHK, Kemenkeu, Bappenas, Kemen Perindustrian, BKPM, Pemda, dll. Lalu melakukan Join study dan knowledge sharing antar stakeholders dalam pengembangan panas bumi.

“Dari sisi harga memang harus diakui harga listrk panas bumi masih cukup tinggi dibandingkan harga listrik dari energi lainnya,” kata Arifin.

Menurut data Badan Geologi total cadangan panas bumi di Indonesia saat ini mencapai 23,9 ribu Mega Watt (MW), sementara yang baru dimanfaatkan baru 8,9% atau 2.130,7 MW melalui 16 PLTP pada di 14 WKP. Ini sudah menempatkan Indonesia sebagai negara teratas di Asia dalam pemanfaatan panas bumi dan berada di urutan no 2 di dunia.(RI)