JAKARTA – Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) masih belum mendapatkan kejelasan dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) terkait kelanjutan divestasi dari saham PT Vale Indonesia (INCO). Padahal tenggat waktu divestasi sudah semakin dekat yakni pada  Oktober 2019.

Fajar Harry Sampurno, Deputi Bidang Usaha Pertambangan Industri Strategis dan Media Kementerian BUMN, mengatakan holding BUMN tambang yang dipimpin PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) atau Inalum sudah siap untuk mengakuisisi saham Vale dalam proses divestasi.

Menurut Fajar, dua BUMN disiapkan dalam proses divestasi Vale.  Selain Inalum sebagai induk holding, perusahaan lainnya yang disiapkan adalah PT Aneka Tambang Tbk yang merupakan anggota holding tambang. “Mengenai Antam atau Inalum, pokoknya satu grup itu lah,” ujar Fajar di Jakarta, belum lama ini.

Hanya saja proses pembelian saham tersebut akan dilakukan secara business to business (B to B). Namun, perlu dipastikan saham yang diakuisisi tersebut dihitung sebagai saham divestasi Vale. Kunci dari kelanjutkan proses ini adalah di Kementerian ESDM.

“Kami sudah mulai dengan Vale. Hanya kami mesti minta izin ke ESDM. Kalau ESDM-nya oke itu jadi bagian dari divestasi, ya kami mau,” kata Fajar.

Tenggat waktu divestasi harus dilakukan paling lambat pada 14 Oktober 2019 atau lima tahun setelah terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 77 Tahun 2014 sebagai perubahan ketiga PP No. 23 Tahun 2010.

Vale Indonesia menjadi perusahaan pertama yang mengamendemen kontrak pada 17 Oktober 2014. Amendemen tersebut meliputi pengurangan wilayah kontrak, kenaikan royalti, perpanjangan operasi dalam bentuk izin, serta divestasi.

Vale Indonesia sebelumnya hanya wajib mendivestasikan sahamnya sebanyak 40% sesuai PP Nomor 77 Tahun 2014. Dalam peraturan tersebut, perusahaan yang membangun smelter hanya wajib mendivestasikan sahamnya hingga 40%. Namun setelah revisi keempat, PP No. 1 Tahun 2017 yang baru menyebutkan bahwa seluruh perusahaan penanaman modal asing (PMA) wajib mendivestasikan sahamnya hingga 51% setelah lima tahun berproduksi. Namun, Vale Indonesia menyatakan kewajibannya tetap 40% sesuai kontrak yang telah diamendemen.

Saat ini, sebanyak 20,49% saham Vale Indonesia dikuasai publik yang menguasai kurang dari 5% saham melalui Bursa Efek Indonesia. Vale Canada Limited tercatat menguasai 58,73% saham dan Sumitomo Metal Mining Co.Ltd menguasai 20,09%. Sisanya, Vale Japan Limited menguasai 0,54% dan Sumitomo Corporation menguasai 0,14% saham.

Nico Kanter, Chief Executive Officer dan Presiden Direktur Vale Indonesia, sebelumnya mengatakan bahwa ada berbagai opsi atau pilihan skema divestasi, termasuk melalui mekanisme penerbitan saham baru (rights issue).

Jika skema rights issue yang dipilih, maka tujuan utama harus jelas. Pasalnya, jika rights issue berarti akan ada dana yang masuk dan harus ada kegiatan atau investasi yang dilakukan Vale.

Jika ingin melaksanakan divestasi secara business to business, Vale tetap akan meminta petunjuk dari pemerintah. Karena setelah mendapatkan petunjuk atau keputusan dari pemerintah baru disitu akan dilakukan valuasi saham.

Nico mengatakan, valuasi saham menggunakan skema fair market value bila 20% saham dibeli oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Sementara perhitungan dengan skema replacement cost digunakan bila saham divestasi dibeli oleh pemerintah.

Perhitungan market value dan replacement cost memiliki pola berbeda. Harga pasar yang wajar tidak memperhitungkan cadangan mineral atau batubara kecuali yang dapat ditambang selama jangka waktu konsesi tambang. Sementara replacement cost merupakan biaya penggantian atas kumulatif investasi yang dikeluarkan sejak tahap eksplorasi sampai dengan tahun kewajiban divestasi.

Dalam PP 77 diatur mengenai penawaran divestasi dilakukan secara berjenjang mulai dari pemerintah pusat hingga badan usaha swasta nasional. Bila pemerintah pusat tidak berminat maka ditawarkan ke pemerintah daerah. Jika pemda tidak berminat maka ditawarkan ke BUMN atau BUMD. Terakhir, bila semua pihak tidak yang berminat maka ditawarkan ke badan usaha swasta nasional. “Harus ada pihak yang ditunjuk baru valuasi,” kata Nico.(RI)