Secercah harapan menyembul bagi produsen minyak. Setidaknya, menurut CEO Hess, John Hess, Kamis, berlanjutnya kenaikan permintaan terhadap komoditas itu ditambah dengan berkurangnya produksi seharusnya dapat menghentikan anjloknya harga energi pada 2016.

Produksi minyak global memang terancam menurun akibat gejolak politik yang terjadi di Tumur Tengah, wilayah produsen utama minyak. Selain itu, harga komoditas ini masih turun naik akibat berbagai faktor meskipun sudah ada sinyal kenaikan meskipun tipis. Terkait dengan kondisi ini, Dana Moneter Internasional (IMF) menegaskan sangat mendesak bagi negara-negara eksportir minyak untuk menyetel kembali rencana belanja masing-masing.

Dalam outlook pertumbuhan regional yan dirilis Kamis, IMF memproyeksikan pertumbuhan di wilayah Timur Tengah, Afrika Utara, Afghanistan dan Pakistan (MENAP) hanya sebesar 2,5% pada 2015, atau turun dari pertumbuhan tahun lalu sebesar 2,7%. Angka itu juga lebih rendah 0,5% dibandingkan prediksi IMF pada Mei lalu.

Momentum pertumbuhan hilang terutama setelah harga minyak merosot lebih dari 50% sejak Juni 2014 (kemudian harga acuan minyak jenis Brent yang diperdagangkan pada posisi US$114 saat in hanya sekitar US$48 per barel). Faktor penyebab lain melambatnya pertumbuhan ekonomi adalah terus bergolaknya situasi politik kawasan yang mendorong terjadinya konflik dan perang sipil.

Dalam laporan yang disusun Direktur IMF untuk Timur Tengah dan Asia Tengah Masood Ahmed, Kamis, seperti dikutip CNBC, disebutkan bahwa outlook pertumbuhan MENAP pada term mendatang akan didominasi oleh perkembangan situasi geopolitik dan harga minyak.

“Naiknya ketidakpastian di kawasan dari konflik yang ruwet di Irak, Libya, Syria dan Yaman menjadikan keyakinan makin berat. Sementara harga minyak yang rendah juga berpengaruh langsung terhadap aktivitas ekonomi di negara-negara pengekspor minyak,” kata IMF.

Negara eksportir minyak seperti Saudi Arabia, Iran, Irak, Kuwait, Qatar, Uni Emirat Arab (UEA), Aljazair dan Libya yang merupakan anggota OPEC, dipastikan pendapatannya bakal merosot tajam akibat penurunan harga minyak tersebut. Meskipun mendapatkan tekanan dari sejumlah pemerintahan, OPEC sejauh ini menolak untuk memangkas produksi untuk mendorong perbaikan harga minyak. Tingkat produksi tetap dipertahankan agar market share OPEC tetap terjaga sekaligus memberikan tekanan kepada Amerika Serikat yang saat ini menjadi rival kuat organisasi setelah memproduksi shale gas besar-besaran.

IMF telah memprediksikan bahwa negara-negara pengekspor minyak di Timur Tengah akan terus bergulat dengan harga minyak yang rendah dan MENA (kecuali Afghanistan dan Pakistan) akan membukukan penurunan nilai ekspor sebesar US$360 miliar pada tahun ini.

“Penurunan harga minyak meningkatkan kepentingan bagi MENAP sebagai eksportir minyak untuk menyesuaikan kebijakan fiskal mereka,” tegas IMF. Lembaga tersebut memprediksikan defisit fiskal akan mencapai 12,7% dari Produk Domestik Bruto (PDB) di negara-negara MENAP pengekspor minyak dan 7,3% di negara importir minyak di kawasan MENAP pada 2015.

Bagi Arab Saudi sebagai eksportir minyak terbesar di antara anggota OPEC, diprediksikan IMF angka defisitnya bisa mencapai 21,6%. Dengan demikian, IMF sekali lagi menegaskan negara pengekspor minyak harus menahan pengeluarannya.

“Sebab penurunan harga minyak tampaknya akan makin besar dan kuat, sehingga negara eksportir minyak akan butuh penyesuaian budget untuk menjamin keamanan fiskal, memperoleh kekayaan untuk antargenersi, dan secara gradual membangun kembali ruang manuver kebijakan fiskal,” kata IMF.

Menambah potret buram, IMF juga menuturkan jika konflik regional berlangsung lebih kuat dari yang diperkirakan, hal tersebut akan mengurangi pertumbuhan di wilayah MENAP bahkan berpotensi melebar ke wilayah lain.

Situasi berbeda untuk pengimpor minyak seperti Mesir, Jordania, Syiria dan Lebanon yang mengecap keuntungan dari penurunan harga minyak. Negara-negara ini akan segera pulih dari pelemahan global.(LH)