JAKARTA – Selama enam bulan pertama tahun ini, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatatkan serapan biodiesel mencapai 4,36 juta Kiloliter (KL) atau baru 43,6% dari target yang dicanangkan pemerintah 10 juta KL.

Agung Pribadi, Kepala Biro Komunikasi Layanan Publik dan Kerja Sama Kementerian ESDM, mengatakan masih  rendahnya serapan biodiesel sampai saat ini lantaran menurunnya konsumsi biosolar yang juga menurun akibat pandemi Covid-19.

“”Pandemi ditengarai sedikit memperlambat penyerapan biodiesel akibat penurunan serapan sektor transportasi, namun pemerintah optimistis di akhir tahun penyerapan FAME lebih tinggi dari tahun sebelumnya sebagai dampak implementasi B-30,” kata Agung, Senin (7/9).

Agung berharap peningkatan konsumsi biodiesel masih bisa terjadi apalagi dengan mulai berangsurnya peningkatan kegiatan masyarakat.

Peningkatan konsumsi biodiesel naik signifikan sejak 2016. Pada 2018, konsumsinya sebesar 3,75 juta KL atau meningkat hampir 50% dibandingkan 2017 dengan penyerapan sebesar 2,57 juta KL.

“Kebijakan mandatori berlanjut hingga 2019 sehingga konsumsi biodiesel berada pada angka 6,39 juta KL” kata Agung.

Ricky Amukti,  Manajer Riset Traction Energy Asia, mengatakan pemanfaatan biodiesel untuk bahan bakar diharapkan mampu memberikan multiplier efek yang lebih besar kepada para petani sawit.

“Ke depannya dengan mandatori ini kami berharap petani swadaya bisa secara langsung berkontribusi dalam rantai pasok biodiesel. Selain itu saya juga berharap ada kebijakan-kebijakan yang mampu mendorong kontribusi tersebut,” ungkap Ricky.

Namun demikian menurut para petani, hanya sedikit petani yang mendapatkan manfaat dari program B30.

Munsuetus Darto, Sekretaris Jendral (Sekjen) Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKP) mengungkapkan maksud dan tujuan penerapan B30 dan rencananya akan ditingkatkan menjadi B40 maupun B50 memang baguws. Hanya saja selama ini tidak ada manfaat yang dirasakan oleh petani langsung.

Menurut Darto ada praktik monopoli mata rantai oleh industri biodiesel sehingga merugikan para petani sawit. Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS) yang selama ini dibentuk untuk mengelola dana pungutan ekspor kelapa sawit tidak menjalankan tugasnya dengan baik.

Sayangnya industri biodiesel yang selama ini mendapatkan insentif ternyata memonopoli pasokan kelapa sawit yang jadi bahan baku pembuatan biodiesel. Dewan pengarah BPDP-KS yang ditetapkan melalui permenko Menkoperekonomian No. 134/2020 terdiri juga dari orang-orang yang juga merupakan pemilik dan terafiliasi dengan perusahan-perusahan sawit besar sebut saja Sinar Mas, Wilmar Group, Gama Plantation, dan Tri Putra Group.

Adapun deretan dewan pengarah tersebut yakni ada Franky Oesman Widjaja dari Sinari Mas yang kuasai lahan 502.847 hektar (ha). Lalu ada Marua Sotorus dari Mitra Wilmar Group dan Gama Plantation. Wilmar sendiri kuasai lahan 342.850 ha serta ada nama Arif Partrict rahmat dari Tri Putra Grup. Arif sendiri adalah anak dari TP Rahmat anggota dewan pengarah BPDPKS terdahulu.

Menurut Darto, telah terjadi ketidakadilan dalam alokasi dana BPDP-KS dan program-program BPDP-KS yang hanya menguntungkan perusahaan-perusahaan besar dan sangat merugikan petani-petani swadaya.

“ Wilmar misalnya dalam pengembangan B20, perusahaan ini memperoleh pasokan dari 83 perusahaan sawit, dimana 3 group perusahaan pemasok berasal dari Malaysia dan satu group perusahaan dari Srilangka, rantai pasol biodiesel  lebih mementingkan pihak asing dan tidak melibatkan petani sawit Indonesia,” kata Darto.(RI)