JAKARTA – Pemerintah telah menetapkan   ekspor bijih nikel (nikel ore) untuk kadar rendah dibawah 1,7% hanya sampai akhir Desember 2019. Produsen bijih nikel pun diproyeksi akan memanfaatkan waktu tersisa untuk menggenjot produksi dan ekspor.

Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) hingga Juli realisasi ekspor bijih nikel sudah lebih 50% dari rekomendasi yang diajukan perusahaan tambang. “Tahun ini hingga Juli itu yang diekspor sudah 13.263.907 ton,” kata Yunus Saefulhak, Direktur Pembinaan Pengusahaan Mineral Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) usai konferensi pers di Jakarta, Senin (2/9).

Pada tahun ini rekomendasi ekspor yang diberikan pemerintah mencapai 23.649.136 ton. Jumlah tersebut sebenarnya menurun dibanding rekomendasi yang diberikan pada 2018 sebesar 28.006.956 ton.

Menurut Yunus, realisasi ekspor tahun ini tidak akan menurun atau minimal sama seperti tahun lalu yang realisasinya mencapai 20.091.198 ton. “Tahun ini ya kurang lebih sama perkiraannya sekitar 20 juta ton,” ujar Yunus.

Bambang Gatot Ariyono, Direktur Jenderal Minerba Kementerian ESDM, menuturkan sejak larangan ekspor diberlakukan pada 2017., pemerintah sudah memberikan rekomendasi ekspor 76 juta ton, akan tetapi realisasinya tidak sampai 50%. “Realisasinya 38,2 juta ton sejak Januari 2017 sampai dengan Juli 2019,” ungkap Bambang.

Dia menambahkan pemerintah tidak serta merta memberhentikan ekspor nikel kadar rendah, karena itu tetap diberikan masa transisi selama kurang lebih empat bulan. Sambil menyusun strategi operasi pada tahun depan, para produsen nikel masih boleh melakukan ekspor hingga akhir tahun ini.

“Kami beritahu masa transisi empat bulan sampai 31 Desember. tidak langsung stop, ada waktu. sehingga harus menyesuaikan semuanya,” ujarnya.

Pemerintah menilai bahwa percepatan larangan ekspor harus ditempuh lantaran jumlah cadangan nikel tidak mengalami perubahan. Dalam data yang ada sekarang jumlahnya yang bisa ditambang tersisa 698 juta ton. Dengan jumlah smelter yang ada saat ini berjumlah 11 pabrik dan yang sedang proses pembangunan sebanyak 25 pabrik, maka cadangan tersebut harus diamankan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri sehigga bisa diolah lebih lanjut.

“Kapasitas input smelter nikel 81 juta ton. itu dari 36 smelter. 11 yang sudah ada ditambah 25 smelter yang sedang dibangun,” kata Bambang.(RI)