JAKARTA – Bisnis hulu minyak dan gas bumi (migas) dipastikan tidak akan ditinggalkan  PT Pertamina (Persero). Hal itu terlihat dari rencana investasi perseroan ke depan dimana sebagian besar anggaran investasi akan tetap digelontorkan ke bisnis hulu.

Emma Sri Martini, Direktur Keuangan Pertamina, mengatakan hingga 2024 mendatang kebutuhan investasi Pertamina mencapai US$92 miliar,  US$64 miliar di antaranya akan dialokasikan untuk bisnis hulu.

Menurut Emma anggaran bisnis hulu nantinya tidak akan fokus untuk pengelolaan aset eksisting, melainkan untuk mencari aset-aset baru yang telah berproduksi. Ini wajar lantaran Pertamina butuh segera meningkatkan produksi minyak untuk memasok kilang yang saat ini kepasitasnya tengah ditingkatkan.

Tidak tanggung-tanggung 70% dari alokasi anggaran hulu Pertamina hingga lima tahun ke depan disiapkan untuk merger maupun akuisisi blok migas.

“Dari US$64 miliar untuk alokasi upstream itu kurang lebih. untuk akuisisi US$45 miliar,” kata Emma disela diskusi virtual, Kamis (4/3).

Namun Emma menegaskan Pertamina tidak akan kaku dalam mengelola anggaran hulu. Jika belum ada aset ideal yang diincar maka anggaran bisa diperuntukkan juga untuk melakukan eksplorasi guna menambah cadangan dalam rangka pengelolaan aset eksisting, terutama untuk menahan laju penurunan produksi alami di blok-blok migas Pertamina yang sudah berumur tua.

“Tidak tertutup kemungkin untuk di deploy ke capex investment dengan eksplorasi.  Kemudian ada business development organik untuk mempertahankan declining rate atas aset-aset hulu yang sudah kami miliki karena resource domestik dipertahankan dan ada juga US$5 miliar untuk infrastruktur yang sifatnya maintenance,” ungkap Emma.

Hulu menjadi tulang punggung Pertamina untuk mengeruk laba bersih. Selama ini porsi kontribusi bisnis hulu terhadap laba perusahaan mencapai 80%. Sisanya disumbangkan oleh bisnis hilir.

Sementara dari total kebutuhan investasi US$92 miliar, manajemen mengalokasikan US$20 miliar untuk bisnis hilir. Dengan rincian 80% dari total anggaran akan dialokasikan untuk pembangunan dan pengembangan kilang sementara sisanya peningkatan infrastruktur distribusi bahan bakar.

“Downstream (hilir) US$20 miliar tadi US$18 miliar untuk kilang baru dan upgrade (RDMP) dan US$2 miliar terkait distribusi pemasaran infrastruktur,” ungkap Emma.

Untuk bisnis Energi Baru Terbarukan (EBT) perseroan masih belum menunjukkan optimismenya karena jadi bisnis yang paling kecil.”Sektor lain gas power EBT ada US$8 miliar,” tukas Emma.

Pertamina dipastikan tidak akan sanggup untuk menyediakan pendanaan dengan kemampuan sendiri. Emma menuturkan bahwa manajemen terbuka untuk berpartner dengan para strategic partner baik itu yang membawa teknologi maupun dari sisi financial ataupun dari sisi market.

“Karena pada saat nanti project onstream ada product yang sifatnya high return yang domestik demand-nya belum ada sehingga perlu diekspor sehingga perlu potensi market di luar yang bisa menyerap hasil produksi khususnya petrochemical yang high return,” kata Emma.(RI)