JAKARTA – Pemerintah diminta tidak terburu-buru membahas revisi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba). Pasalnya masih banyak penataan pengelolaan minerba yang harus dilakukan terlebih dulu sebelum benar-benar UU Minerba direvisi.

Budi Santoso, Direktur Eksekutif Centre for Indonesian Resources Strategic Studies, mengatakan ada rencana lain dibalik desakan penerbitan revisi UU Minerba. Alasan hilirisasi sebagai dorongan utama agar revisi UU Minerba segera dilakukan merupakan pola pikir keliru karena sepatutnya revisi dilakukan sejak lama bukan karena revisi UU Minerba.

“Kebijakan mineral dan batu bara nasional harus diterapkan dulu sebelum RUU Minerba,” kata Budi dalam diskusi di Jakarta, Kamis (26/12).

Lebih lanjut dia menilai ada pihak yang sengaja mendengungkan hilirisasi agar kontrak para pemegang kontrak Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) terus berlanjut. Padahal di UU Minerba yang ada saat ini sudah jelas mengamanatkan agar wilayah yang habis kontrak dikembalikan kepada negara terlebih dulu bukan langsung diperpanjang.

Hilirisasi melalui pengembangan Dimethyl ether (DME) kata Budi termasuk propaganda untuk memuluskan jalan agar kontrak wilayah tambang yang habis kontrak diteruskan ke perusahaan tambang yang saat ini memegang PKP2B.

“DME omong kosong jebakan PKP2B, DME Rp 3,8 miliar hanya untuk 8 ton. Dan itu pembangunan tidak mungkin 5 tahun. Jadi narasinya PKP2B mohon dilanjutkan kontrak untuk kepastian investasi untuk bikin DME, nanti kalau sudah diberikan kontrak dibilang tidak ekonomis,” kata Budi.

Selain itu narasi lainnya yang dikembangkan adalah adanya potensi pengurangan penerimaan negara apabila wilayah tambang dikelola oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Hal itu menurut Budi justru berbanding terbalik ketika pemerintah ngotot ingin melakukan divestasi PT Freeport Indonesia dengan mendorong BUMN yakni PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) yang membeli saham Freeport Indonesia.

“Ada pernyataan kalau dikelola BUMN, penerimaan negara akan berkurang, ini melecehkan negara. Kalau Freeport dulu dikatakan bahwa divestasi akan meningkatkan pendapatan negara, padahal kita bayar. Batu bara yang harusnya tidak mengeluarkan sepeserpun malah terjadi penurunan pendapatan negara . Itu didengungkan terus di DPR juga,” ungkap Budi.

Budi menuturkan program peningkatan nilai tambah minerba hendaknya diawali dengan rencana induk nasional. Dia menerangkan rencana tersebut didasarkan pada proyeksi kebutuhan atau ketersediaan sumber daya. “Ini menyangkut masa depan bangsa dan keberlanjutan untuk anak cucu. Pengurasan tambang yang cepat hanya diperlakukan sebagai komoditas dagang biasa sangat menyalahi cita-cita pendiri bangsa,” tuturnya.

Sementara itu, Simon Sembiring, mantan Dirjen Minerba Kementerian ESDM menyatakan bahwa hilirisasi harusnya sudah dilakukan sejak dulu, tidak perlu menunggu RUU Minerba. Tugas Kementerian Perindustrian sangat penting untuk menciptakan industri manufaktur untuk mengelola hasil pengolahan barang mentah yang diproduksi.

“Logam timah 80% masih diekspor kemana saja pak Airlangga? (Saat Kemenperin). sebelum UU Minerba direvisi manufaktur harus membuat ini menjadi barang konsumsi, barang modal,” tegas Simon.(RI)