Hendardi.

Hendardi.

JAKARTA – Ketua Badan Pengurus “SETARA Institute”, Hendardi menilai, penanganan kasus bioremediasi PT Chevron Pacific Indonesia oleh Kejaksaan Agung dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, kental dengan motif duit dan upaya mendongkrak popularitas penegak hukum.

Penilaian ini diungkapkan Hendardi, dalam diskusi “Membedah Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) Dalam Penanganan Kasus Bioremediasi” yang digelar SETARA Institute di Jakarta, Selasa, 18 Juni 2013.

Menurutnya, kasus bioremediasi yang menjerat empat karyawan Chevron dan dua kontraktornya ini, tak ubahnya kasus korupsi PT Merpati Nusantara Airlines, yang menjerat Hotasi Nababan. Kasus ini juga ditangani Kejaksaan Agung. Mantan Direktur Utama Merpati itu pun, akhirnya divonis bebas dan dinyatakan tidak bersalah oleh Majelis Hakim Pengadilan Tipikor.      

“Belajar dari kasus Hotasi, ada pelanggaran HAM by judicial (melalui jalur hukum, red) yang dilakukan aparat penegak hukum. Jaksa awalnya coba-coba, ini ada duitnya gak? Tapi ketika sampai ditengah dan ternyata tidak ada duitnya, tidak ada pilihan lain bagi jaksa selain meneruskan kasus itu,” ujar Hendardi.

Dalam sebuah diskusi yang digelar Universitas Paramadina, awal Mei 2013 lalu, Hotasi Nababan pun mengungkapkan adanya upaya pemerasan oleh oknum tertentu terhadap dirinya, dalam kasus Merpati. Sekarang ia pun menduga, hal yang sama sangat mungkin terjadi dalam kasus bioremediasi Chevron.

Motif lainnya, kata Hendardi, ada aroma kompetisi antara Kejaksaan Agung dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). “Seperti kita tahu, sejak ada KPK pamor Kejaksaan meredup dalam penanganan kasus korupsi,” ungkap mantan Direktur Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) ini.

Jadi begitu ada dugaan korupsi, kata Hendardi, apalagi yang menyangkut korporasi, meski bukti-bukti awalnya tidak kuat, maka disambar dan digiring dulu oleh Kejaksaan Agung. Masalah pembuktiannya belakangan dan bisa dicari-cari. “Yang penting statistik tahunan Kejaksaan Agung dalam penanganan kasus korupsi terus naik, tidak kalah dengan KPK,” urainya.

Hendardi pun mengaku, tidak berharap banyak pada Komisi Kejaksaan, untuk dapat meluruskan perilaku jaksa dengan motif melenceng tersebut. Karena ia sudah maklum benar, Komisi Kejaksaan adalah sebuah lembaga yang didirikan untuk kemudian dimandulkan. Jadi para korban kriminalisasi dalam kasus bioremediasi, memang tidak bisa berharap banyak pada Komisi Kejaksaan.

“Sejak awal berdirinya, saya justru melihat Komisi Kejaksaan merupakan tempat orang-orang mencari pekerjaan. Jadi sulit berharap komisi ini bisa menjalankan fungsinya,” kata Hendardi lagi.

Halalkan Demonstrasi

Terkait dengan hasil temuan Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia (HAM) bahwa telah terjadi pelanggaran HAM dalam penanganan kasus bioremediasi oleh Kejaksaan Agung dan Majelis Hakim Tipikor, Hendardi mendesak agar hasil itu harus segera direspon oleh lembaga-lembaga negara terkait.

Lembaga negara yang harus bicara lantang terkait pelanggaran HAM dalam kasus bioremediasi ini diantaranya adalah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Komisi Yudisial, Presiden, bahkan Kejaksaan Agung sendiri. Meski Komnas HAM sudah menyampaikan hasil temuannya itu ke semua lembaga negara terkait, sejauh ini yang sudah memberikan respon baru Komisi III DPR dan Komisi Yudisial.

“Temuan Komnas HAM ini tidak boleh berhenti sampai di sini, karena terbukti hakimnya cuek. Harus ada advokasi politik yang dilakukan, untuk menolong para terdakwa, menjadi korban kejaksaan dalam kasus bioremediasi ini. Demontrasi di depan Istana, depan Kejaksaan Agung, menjadi halal jika situasinya seperti ini. Para korban yang menjadi terdakwa ini adalah warga negara yang membayar pajak tinggi, berhak atas perlindungan hak asasi dari negara,” tegas Hendardi.

Komisioner Komnas HAM, Natalius Pigai yang hadir sebagai pembicara dalam diskusi itu mengatakan, telah melaporkan hasil temuan timnya itu kepada semua lembaga negara terkait, termasuk ke Presiden, Komisi Yudisial, Komisi III DPR, termasuk ke Kejaksaan Agung. Semua sudah memberi respon kecuali Kejaksaan Agung.               

Dalam laporan hasil temuannya setebal 400 halaman, Komnas HAM menyebutkan ada empat aspek pelanggaran HAM yang dialami para terdakwa dalam penanganan kasus bioremediasi Chevron oleh Kejaksaan Agung dan Majelis Hakim Tipikor. Pertama, terlanggarnya hak untuk mendapatkan kepastian dan perlakuan hukum yang sama.

Kedua, terlanggarnya hak untuk tidak ditangkap dan ditahan dengan semena-mena. Ketiga, terlanggarnya hak untuk mendapatkan keadilan melalui proses hukum yang jujur, adil, dan berimbang. Dan keempat, terlanggarnya hak untuk tidak dipidana karena perjanjian perdata. (Berita terkait: https://www.dunia-energi.com/komnas-ham-kasus-bioremediasi-sebuah-kejahatan-hukum-di-zaman-modern/)

Ingin Dongkrak Karir

Pada kesempatan yang sama, penasehat hukum karyawan Chevron, Maqdir Ismail mengaku sangat khawatir, dengan model penegakan hukum serampangan, seperti yang terjadi pada penanganan kasus bioremediasi. Karena dalam situasi seperti ini, yang dikorbankan adalah warga negara yang tidak bersalah. Sementara perusahaan tempatnya bekerja sendiri tidak disentuh.

Pengacara senior ini mengatakan, kasus korupsi seperti bola panas, tidak ada hakim yang mau lama-lama memegangnya. Hakim Tipikor di tingkat pengadilan negeri terkesan buru-buru memprosesnya dan membuat vonis, dengan harapan agar nanti kalau toh ada kekeliruan, bisa dikoreksi di tingkat pengadilan tinggi.

“Di pengadilan tinggi pun begitu, cepat-cepat diproses, hanya merujuk pada dakwaan jaksa, lalu cepat-cepat divonis dengan harapan kalau keliru bisa dikoreksi di tingkat kasasi. Nah celakanya, di tingkat kasasi Mahkamah Agung tidak meneliti lagi kasus itu, dan langsung menjatuhkan putusan. Ya terdakwa yang menjadi korban kehilangan haknya dengan semena-mena,” tukas Maqdir lagi.

Senada dengan Hendardi, Maqdir menilai ada motif lain dari jaksa dalam menyidik kasus bioremediasi ini. Ia mengamati, beberapa penyidik naik pangkat dan mendapatkan promosi jabatan, setelah menjadi jaksa penyidik dalam kasus bioremediasi.

“Saya lihat ada dua. Pertama jaksa penyidik Arnold Angko yang kini jadi Jaksa Tinggi di Jawa Tengah. Kedua, jaksa penyidik Febru Ardiansyah yang juga baru saja mendapat promosi sebagai jaksa tinggi di suatu daerah,” ungkapnya.

Ia pun khawatir, Ketua Majelis Hakim Pengadilan Tipikor yang menangani perkara ini, yakni Sudharmawati Ningsih, juga berharap karirnya terdongkrak setelah memvonis para terdakwa kasus bioremediasi. “Karena di persidangan, terlihat jelas Hakim Ketua yang justru me-lead atau memimpin upaya pembuktian dakwaan dengan mencecar terdakwa, bukan jaksanya. Padahal mestinya hakim kan berada ditengah, tidak pro jaksa, tidak pro terdakwa,” kata Maqdir.

Penegak Hukum Sok Kuasa

Maqdir yang juga pernah menjadi aktivis LBH (Lembaga Bantuan Hukum) mengaku, sepanjang karirnya selama puluhan tahun menjadi pengacara, baru kali ini menghadapi situasi konyol seperti yang terjadi dalam kasus bioremediasi ini.

“Kita menghadapi aparat penegak hukum yang seolah otaknya ditinggalkan di rumah. Apa jadinya penegakan hukum di negeri kita, kalau orang-orang seperti ini diberi kekuasaan untuk menegakkan hukum?,” tuturnya prihatin.

Ia pun mencontohkan, suatu peristiwa di lapangan minyak Chevron, saat para jaksa penyidik melakukan penyidikan lapangan dalam kasus bioremediasi. Para pekerja di sana menceritakan, para jaksa marah-marah ketika diminta menggunakan alat pelindung diri, sebelum masuk lokasi kerja Chevron.

Padahal penggunaan alat pelindung diri, merupakan SOP (Standard Operating Procedur) atau prosedur tetap dan wajib, di semua wilayah operasi migas di seluruh dunia. Penggunaan alat pelindung diri diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan, sebagai bagian dari penerapan K3 (keselamatan dan kesehatan kerja) di industri migas.  

“Tapi jaksanya malah marah-marah, dan sempat ada yang mencabut pistol, ketika diminta menggunakan alat pelindung diri,” ujar Maqdir disambut tawa peserta diskusi yang geli dengan sikap sok kuasa para jaksa tersebut.

(Abraham Lagaligo / abrahamlagaligo@gmail.com)