JAKARTA – Proses regionalisasi dalam subholding upstream melalui PT Pertamina Hulu Energi (PHE) masih jauh dari kata selesai. Ini tentu tidak lepas dari berbagai konsekuensi yang timbul dari kebijakan transformasi yang diusung holding PT Pertamina (Persero).

Salah satu konsekuensi yang harus dibayar mahal atas regionalisasi bisnis hulu Pertamina adalah timbulnya kewajiban pajak. Tidak tanggung-tanggung, berdasarkan informasi yang diterima Dunia Energi, jumlah pajak yang harus ditanggung Pertamina agar regionalisasi bisa berjalan mencapai US$2 miliar. Tentu bukan angka yang sedikit, mengingat pada semester I 2020 saja Pertamina menderita kerugian. Belum lagi dengan adanya pandemi Covid-19 membuat efisiensi menjadi harga mati. Lalu bagaimana dengan nasib regionalisasi tersebut?

Manajemen Pertamina menegaskan hingga kini pembentukan holding dan subholding masih dalam proses transisi, termasuk dengan regionalisasi. Secara legal holdingisasi masih belum selesai atau masih sebatas holding virtual.

Agus Suprijanto, Senior Vice President Corporate Communication and Investor Relation Pertamina, mengungkapkan masa transisi yang sekarang sedang dijalani akan berlanjut hingga 2021. Salah satu fokus masa transisi adalah menyelesaikan masalah perpajakan. Namun Agus tidak menyebutkan berapa nilai pajak yang harus diselesaikan Pertamina.

“Saat ini fokus terhadap pemenuhan aspek yang dibutuhkan, aspek perpajakan, hukum dan operasional dan stakeholder engagment. Serta kajian peralihan saham dan aset secara hukum, ini belum kami pastikan,” kata Agus di Jakarta, belum lama ini.

Menurut Agus, nantinya jika berbagai komponen transisi pembentukan holding dan subholding secara legal telah terpenuhi, baru dilakukan transaksi restrukturisasi untuk pembentukan subholding Pertamina secara legal, baik melalui pengalihan kepemilikan saham maupun aset.

“Diperlukan penyesuaian anggaran dasar untuk mendukung tata kelola perusahaan atau kegiatan usaha yang dijalankan dengan dibentuknya subholding,” kata dia.

Salah satu restrukturisasi yang cukup rumit di bisnis hulu Pertamina adalah keberadaan PT Pertamina EP yang saat ini sudah ditetapkan menjadi pengelola aset regional II. Dalam kontrak bagi hasil yang berlaku blok migas Pertamina EP seluruh lapangan yang dikelola berada diseluruh Indonesia. Berbeda dengan PHE yang memiliki badan usaha masing-masing untuk mengelola satu blok. Misalnya, PHE Offshore North West Java (ONWJ), PHE West Madura Offshore, PHE Nunukan dan lain-lain yang langsung dikelola badan usaha sendiri.

Saat regionalisasi dibentuk, maka aset yang selama ini dikelola Pertamina EP seperti aset 1, aset 2, aset 4 dan aset 5 terpecah atau bergabung ke regional lain. Praktis hanya aset 3 saja yang tetap menjadi bagian Pertamina EP. Saat ini wilayah yang dikelola Pertamina setelah menjadi regional II terdiri dari terdiri dari Lapangan Tambun, Subang, Jatibarang, Blok East Natuna, Blok A, ONWJ, Abar, Anggursi dan Offshore Southeast Sumatera (OSES).

Tidak mudahnya implementasi dari holding dan subholding bagi bisnis hulu Pertamina sebenarnya menjadi perhatian Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas).

Fatar Yani Abdurrahman, Wakil Kepala SKK Migas, mengatakan Pertamina EP memang memiliki kontrak kerja sama yang mengelola lapangan migas tersebar di seluruh Indonesia yang dibagi menjadi lima aset. Fatar khawatir koordinasi dan diskusi untuk membahas rencana kerja dengan Pertamina untuk wilayah kerja yang sebelumnya dikelola Pertamina EP dan sudah beralih ke regional lain nantinya tidak akan optimal. Pasalnya, akan ada kebingungan dengan siapa harus dilakukan pembahasan rencana kegiatan. Apalagi sekarang secara legal subholding belum terbentuk.

Dia mencontohkan jika ada diskusi teknis dengan kondisi sekarang maka yang bisa datang hanya pejabat setingkat general manager. Sementara jika mau membahas detail masalah dengan seorang direktur tidak jelas dengan direktur mana pembahasan bisa dilakukan.

“Misalkan Aset I itu kan berarti direktur PHR (Pertamina Hulu Rokan). Kemudian Aset 2 masuknya ke sana (Regional I/PHR) juga itu mungkin gampang. Tapi ketika masuk ke pulau Jawa ada Aset 3 dan 4 itu mau kemana bahasnya nanti? Ada dua direktur di dua aset itu, Aset 5 lagi ada direktur yang lain, Aset 4 di Papua juga ada yang lain. Ini yang ambil keputusan siapa direktur atau gm, aligment itu belum ada,” ungkap Fatar Yani.(RI)