JAKARTA – Penetapan harga gas industri sebesar US$ 6 per Million Metric British Thermal Units (MMBTU) melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 40 Tahun 2016 hingga kini belum terealisasi. Bahkan, tiga opsi yang ditawarkan Presiden Joko Widodo juga belum diputuskan. Dengan demikian, harga gas industri hingga awal Febuari 2020 masih bertengger sekitar US$9,9 hingga US$13,5 MMbtu.

Fahmy Radhi, Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada, mengatakan  mahalnya harga gas industri dipengaruhi oleh beberapa variabel pembentuk harga gas industri yang ditetapkan berdasarkan Permen ESDM 58/2017. Permen tersebut menetapkan formula Harga Jual Gas Bumi Hilir = Harga Gas Bumi hulu + Biaya Pengelolaan Infrastruktur + Biaya Niaga.

“Dari variabel pembentukan harga tersebut didominasi oleh harga gas bumi hulu sebesar 70%. Sedangkan, biaya pengelolaan infrastruktur dan biaya niaga di midterm hanya mencakup sebesar 30% dari struktur harga jual hilir,” kata Fahmy, Jumat (14/2)

Fahmy mengatakan harga gas di hulu berkisar antara US$3,5 hingga US$8,20 per MMBTU, tergantung dari lokasi sumber gas sektor hulu. Harga gas dari lapangan di Sumatera Selatan berbeda dengan Jawa Barat atau Jawa Timur. Harga di Jawa Barat paling mahal pada US$8,2 per MMBTU, sedangkan harga di Sumatera Selatan paling mahal US$6,55 per MMBTU. Harga gas hulu tersebut ditatapkan secara transparan oleh pemerintah berdasarkan Permen ESDM 06/2016, yang mempertimbangkan tiga variabel utama, terdiri dari keekonomian lahan, harga gas dalam dan luar negeri, dan nilai tambah pemanfaatan gas bumi di dalam negeri.

Dari data itu, rata-rata harga gas hulu mencapai US$5.9 per MMBTU, ditambah biaya infrastruktur dan niaga sebesar US$ 4 per MMBtu, maka harga jual gas industri exiting mencapai sebesar US$ 9,9 (US$ 5,9 + US$ 4).

“Untuk mencapai harga gas industri menjadi US$ 6 per MMBTU maka harus ada pengurangan sebesar US$3,9 (US$ 9,9 – US$ 6) per MMBTU. Kalau menggunakan opsi melepas jatah pemerintah sebesar US$ 2,20 per MMBTU maka harga gas di hulu menjadi sebesar sebesar US$ 3,7 (US$ 5,9-US$ 2,20) per MMbtu,” ungkap Fahmy.

Dengan asumsi biaya infrastruktur dan niaga tetap sebesar US$ 4 per MMBTU maka harga gas industri masih sebesar US$ 7,7 (US$ 3.7 + US$ 4) per MMBTU.

Dia menambahkan, untuk mencapai harga gas industri menjadi US$ 6 per MMBTU, maka setelah pengurangan in take, masih harus ada pengurangan sebesar US$ 1,7 (US$ 7,7-US$ 6) per MMBTU.

“Alternatifnya, pengurangan sebesar itu bisa dibebankan pada kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) atau dibebankan pada biaya infrastruktur dan niaga secara proporsional. Pembebanan baik pada K3S maupun pada biaya infrastruktur dan niaga akan memberikan dampak terhadap industri gas di tanah air,” kata Fahmy.

Menurut Fahmi, pembebanan pada KKKS hingga mencapai di bawah harga keekonomian akan merugikan bagi KKKS. Dampaknya, akan menjadikan investasi di hulu migas menjadi tidak kondusif lagi. Sedang pembenanan pada biaya infrastruktur dan niaga, tidak hanya merugikan bagi PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN/PGAS), tetapi juga akan menghambat keberlanjutan pembangunan pipa yang masih dibutuhkan untuk menyalurkan gas hingga ke konsumen industri.

Dengan demikian, penetapan harga gas industri sebesar US$ 6 per MMBTU untuk menciptakan daya saing industri sesungguhnya tidak lah gratis, dimana beban biaya itu harus ditanggung Pemerintah, KKKS dan/atau PGN.

“Pemerintah menanggung melalui mengurangan perolehan PNBP dan Pajak Migas sehingga berpotensi mengurangi dana bagi hasil daerah. Sedangkan, KKKS dan PGN menanggung potential loss, yang mengurangi margin yang seharusnya didapatkan,” tandas Fahmy.(RA)