JAKARTA – Penggunaan green diesel yang gunakan bahan 100% minyak kelapa sawit atau Crude Palm Oil (CPO) yang kini tengah diinisiasi PT Pertamina (Persero) dinilai tidak akan mudah, lantaran kebutuhan investasi yang sangat besar.

Bambang Tjahjono, Direktur Eksekutif Asosiasi Jasa Pertambangan Indonesia (Aspindo), mengungkapkan berdasarkan informasi yang disampaikan Pertamina, harga green diesel (D100) jika dipasarkan bisa mencapai Rp14 ribu per liter.

“Harga Rp14 ribu mahal, investasi tinggi,” kata Bambang dalam diskusi virtual, Kamis (24/9).

Mahalnya harga green diesel sendiri akibat proses produksinya yang menghabiskan biaya tinggi lantaran butuh hydrogen.

Kenyataan itu membuat kemampuan pendanaan subsidi dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) tidak akan cukup untuk menutup subsidi program green diesel jika dipaksakan untuk gantikan biodisel.

Namun demikian penggunaan green diesel tetap diharapkan bisa terjadi dengan cara mencampurnya dengan biodiesel. Menurut Bambang, selain tidak membebani subsidi, kualitas green diesel bisa meminimalkan beberapa efek negatif dari penggunaan biodiesel yang masih sering dirasakan terutama dari sisi peningkatan maintenance pada mesin.

“Kalau mau sampai B40, 10% green diesel jangan 40% FAME (biodiesel) semua sehingga subsidi nggak terlalu berat kualitas akan lebih baik,” ujar Bambang.

Uji coba produksi Green Diesel D100 sebesar 1.000 barel per hari telah dilakukan Pertamina di Kilang Dumai, Riau, pada Juli 2020.

Uji coba sendiri sebenarnya sudah dimulai sejak 2014 dengan melakukan injeksi minyak sawit jenis Refined, Bleached, and Deodorized Palm Oil (RBDPO) secara bertahap.

Dimulai dari injeksi 7,5% RBDPO pada Desember 2014, kemudian 12,5% pada Maret 2019, dan terakhir 100% pada Juli 2020.

Dalam uji coba performa melalui road test sepanjang 200 km, D100 yang dicampur dengan solar dan FAME, terbukti menghasilkan bahan bakar diesel yang lebih berkualitas dengan angka cetane number lebih tinggi, lebih ramah lingkungan dengan angka emisi gas buang yang lebih rendah, serta lebih hemat penggunaan bahan bakar.

Selain pengolahan minyak sawit di Kilang Dumai, Pertamina juga akan membangun dua standalone biorefinery lainnya yaitu di Cilacap Jawa Tengah, dan Plaju Sumatera Selatan.

Standalone biorefinery di Cilacap nantinya dapat memproduksi green energy berkapasitas 6.000 barel per hari, sedangkan di Plaju berkapasitas 20.000 barel per hari.

Kedua, standalone biorefinery itu akan memproduksi Green Diesel dan Green Avtur dengan bahan baku 100% minyak nabati.

Selain Green Diesel, Pertamina juga telah berhasil melakukan uji coba produksi Green Gasoline di Kilang Plaju dan Cilacap sejak 2019 dan pada 2020 sudah mampu mengolah bahan baku minyak sawit hingga sebesar 20% injeksi.

Produksi Green Diesel D100 itu diproses dengan bantuan katalis yang dibuat dari hasil kerja sama Research & Technology Center Pertamina dan Institut Teknologi Bandung (ITB).

Pertamina bersama ITB dan PT Pupuk Kujang juga telah menandatangani kerja sama perusahaan patungan (joint venture) untuk membangun pabrik katalis nasional pertama di Indonesia dengan target penyelesaian pada 2021.(RI)