JAKARTA – PT PLN (Persero) menandatangani nota kesepahaman dengan Perum Perhutani dan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) III tentang kerjasama penyediaan biomassa untuk Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Ini jadi wujud komitmen perusahaan untuk terus berupaya meningkatkan bauran Energi Baru dan Terbarukan (EBT).

Zulkifli Zaini, Direktur Utama PLN,menjelaskan penggunaan co-firing biomassa sebagai bagian dari upaya perusahaan upaya untuk memenuhi target bauran energi 23% pada  2025. Penggunaan biomassa juga jadi salah satu green booster yang dicanangkan dalam transformasi perusahaan.

Zulkifli menyatakan co-firing biomassa memiliki keunggulan dibandingkan dengan sumber daya EBT lain karena selain dapat memenuhi target bauran energi, juga dapat memenuhi keekonomian penyediaan tenaga listrik dan dilakukan dalam waktu yang relatif lebih cepat.

“PLN miliki komitmen tinggi, mendorong pengembangan EBT untuk green booster melalui co-firing, solar, tenaga angin, PLTA, dan PLTP,” ungkap Zulkifli disela penandatanganan secara virtual nota kesepahaman penyediaan biomassa dengan Perhutani dan PTPN III, Jumat (22/1).

Menurut Zulkifli, co-firing biomassa juga tidak memerlukan investasi besar seperti membangun pembangkit listrik. PLN hanya perlu mengalokasikan tambahan biaya operasi atau Operational Expenditure (Opex).

“Dari sisi biaya, menggunakan biomassa ini biayanya lebih ke Opex biaya PLTU, tapi nggak perlu Capital Expenditure (Capex) utk bangun pembangkit baru. Jadi kita gunakan pembangkit yang ada. Itulah yang jadi sumber energi primer milik PLN, lebih ke bagaimana kita fokuskan ke Opex. Sementara capexnya sudah terpasang di seluruh Indonesia,” jelas Zulkifli.

Muhammad Ikhsan Asaad, Direktur Mega Project PLN, menuturkan bahwa PLN telah mengindentifikasi 52 lokasi PLTU dengan total kapasitas 18.154 Megawatt (MW) potensi yang diterapkan co-firing dengan biomassa.

“Sebagian volume batu bara diganti dengan tanaman energi atau massa. Dengan volume 9-13 juta ton per tahun biomassa,” kata Ikhsan.

Dia menjelaskan road map perusahaan, implementasinya dilakukan bertahap sejak 2020 dan implentasikannya secara full 100% pada tahun 2024. Sampai tahun 2020 lalu telah dilakukan ujicoba 29 lokasi PLTU dimana hasil uji coba pemantauan kualitas emisi jauh lebih baik. Setelah itu tahap impelementasi. Dari 52 PLTU yang jadi target ada 6 PLTU yang sudah commercial operation. “PLTU Paiton, Pacitan, Jeranjang, Suralaya 1 – 4 , Sanggau Kalimantan Barat dan Ketapang. 2021 kami rencakan 17 lokasi , 17 PLTU,” ujar Ikhsan.

Baik Perhutani maupun PTPN III sama-sama memiliki keunggulan ketersediaan lahan yang luas untuk ditanami berbagai macam tanaman energi sebagai bahan baku biomassa.

Wahyu Kuncoro, Direktur Utama Perum Perhutani, menyatakan sudah ada 3,7 juta hektar yang disiapkan Perhutani khusus untuk kembangkan tanaman energi untuk bahan baku biomassa. Dia menegaskan salah satu tantangan dalam biomassa adalah keekonomian.

“Keekonomian supaya bisa masuk. Kami buka diri untuk open book silahkan dilihat cost structure di mana yang belum cocok dan kami paling tidak dapatkan margin,” kata Wahyu.

Sementara itu, Abdul Ghani, Direktur Utama PTPN III, menjelaskan beberapa produk bahan baku biomassa sebenarnya sudah tersedia di lahan yang dikelola PTPN III.

“Kami setiap tahun menghasilkan fiber 1,4 juta. setia tahun kami juga melakukan revamping. Setiap tahun kami melakukan replanting untuk karet. barangkali itu semua itu bisa menjadi bahan kajian PLN. terutama yang paling besar, “katanya.

Dadan Kusdiana, Dirjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, mengatakan pihaknya akan siap memfasilitasi inisiatif ini agar dapat berjalan baik dalam waktu dekat.

“Kerjasama ini merupakan agenda yang strategis, pengembangan biomassa sebagai sumber energi baru terbarukan dari sinergitas para perusahaan BUMN,” tutur Dadan.

Fabby Tumiwa,Direktur Eksekutif Institute for Essential Reform (IESR), menyatakan dalam rencana co-firing PLN, feedstock biomassa berasal dari sampah (waste pellet) dan wood pellet. Kerja sama dengan PTPN dan Perhutani bertujuan untuk mengamankan pasokan tersebut. “Jadi PLN mendapatkan komitmen pasokan dengan harga yang terkendali,” kata dia kepada Dunia Energi.

Fabby mengingatkan hal yang perlu diperhatikan dengan melakukan co-firing adalah kualitas feedstock yang sesuai dengan karakter PLTU. “Juga harganya yang tidak lebih mahal dari batu bara sehingga biaya pembangkitan terkendali,” kata Fabby. (RI)