JAKARTA – Perekonomian global sedang mengalami pemulihan pada 2022 setelah dua tahun melemah akibat pandemi COVID-19. Pandemi juga berpengaruh terhadap proses transisi energi di tanah air.

Arcandra Tahar, Komisaris Utama PT Pertamina Gas Negara Tbk (PGAS) atau Subholding Gas Pertamina, mengungkapkan meskipun ditengah pandemi Energi Baru Terbarukan (EBT) tetap akan tumbuh seiring dengan penerapan pajak karbon atau penjualan karbon karbon. Beberapa negara membuat kebijakan tersebut pada 2022.

Menurut Arcandra kesepakatan global dalam Conference of Parties (COP) ke-26 untuk menargetkan Net Zero Emission pada 2060, kondisi ini menuntut penghentian pengoperasian Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) untuk menekan emisi.

Dia menilai untuk mencukupi kebutuhan energi yang terus meningkat di tengah pengurangan emisi, gas bumi akan menjadi andalan pada masa transisi energi. Pasalnya, meski energi fosil gas bumi rendah emisi dan efisien.

“Ditengah tekanan dan tuntutan terhadap green energy, gas bumi sebagai energi bersih akan memegang peranan penting sebagai energi transisi. Disinilah PGN dapat mengoptimalkan peluang itu, baik di domestik maupun global,” jelas Arcandra (12/1).

Arcandra mengatakan terdapat beberapa aspek penting yang mempengaruhi sektor energi ekonomi global pada tahun 2022. Pertama adalah konsumsi energi pada tahun 2022 akan kembali pulih seperti sebelum pandemi COVID-19. Seiring dengan meningkatnya aktivitas ekonomi setelah lesu selama dua tahun akibat pandemi COVID-19.

Jika kehadiran varian baru COVID-19 dapat ditangani dengan baik, maka konsumsi minyak akan berada di level 100 juta barel per hari (bph), sama seperti sebelum pandemi. Untuk harga minyak diperkirakan berada di level US$65 sampai US$80 per barel.

“Berikutnya yang mempengaruhi harga jika OPEC+ tidak menaikkan produksi minyak, maka harga minyak Brent diperkirakan berada pada level US$65-80 per barrel,” kata Arcandra.

Berikutnya adalah harga batu bara pada 2022 yang diperkirakan masih tetap tinggi, ini diakibatkan permintaan batu bara China dan India sebagai konsumen besar komoditas tersebut. Namun, jika pakta pertahanan (AUKUS) antara Australia, Inggris dan Amerika Serikat membaik, maka harga batu bara kemungkinan bisa kembali melandai.

Kemudian ada terpengaruh juga oleh tren perusahaan minyak dan gas (migas) Amerika Serikat yang akan menjual asetnya di luar negeri dan berinvestasi di negaranya, ini merupakan strategi untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi rendah karbon akan lebih mudah dilakukan di AS. Proses bisnis dan regulasi yang jelas di AS menjadi pertimbangan dalam konsolidasi aset ini.

“Banyak aset yang dijual tidak hanya di Indonesia juga ada di negara lain, coba perhatikan ini bukan terkait apakah ada peraturan sebuah negara yang berubah sehingga membuat mereka cabut, ada yang lebih penting tekanan shareholder untuk bisnis di AS,” ujarnya.

Direktur Utama Lembaga Perbankan Indonesia Mirza Adityaswara mengungkapkan, dalam masa pemulihan ini hampir semua negara di dunia akan melakukan penyesuaian kebijakan ekonomi. Termasuk kebijakan pada sektor energi.

“Kehadiran energi yang efisien dan bisa mengurangi ketergantungan terhadap impor akan menjadi sangat penting bagi ketahanan ekonomi nasional,” kata Mirza. (RI)