JAKARTA – Rencana hengkangnya Shell dari proyek Abadi Masela menjadi kabar buruk di tengah upaya pemerintah menggenjot penyelesaian proyek migas  terbesar di Indonesia itu. Shell diketahui telah mengajukan open data room kepada pemerintah belum lama ini sebagai proses untuk melepas hak partisipasi (Participating Interest/PI) di Blok Masela. Ridwan Hisjam, Anggota Komisi VII DPR, menyayangkan kondisi terkini di Blok Masela. Namun di sisi lain ada peluang  bagi industri migas nasional. PT Pertamina (Persero) bisa turut serta dalam proyek Masela menggantikan Shell. Dan Pertamina bisa mengajak mitra usaha.

Menurut Ridwan, masuknya Pertamina ke Masela sesuai dengan strategi Pertamina sekarang yang ingin melakukan ekspansi di bisnis hulu bersama mitra. Pertamina dapat membentuk konsorisum dan menggandeng swasta nasional, seperti PT Medco Energi Internasional, PT Energi Mega Persada dan perusahaan lainnya.

“Dalam konteks membangun ketahanan energi, maka saya melihat ini peluang bagi Pertamina dan perusahaan swasta lainnya untuk masuk ke proyek Abadi Masela. Dengan nilai proyek sekitar US$19 miliar, dengan saham 35% akan membutuhkan sekitar US$6 miliar. Salah satu cara adalah membuat konsorsium nasional dengan Pertamina menjadi pemimpin konsorsium. Saya rasa visi pemerintah untuk merealisasikan produksi satu juta BOPD akan banyak dikontribusikan dari proyek Masela. Karena itu, proyek ini penting dan butuh dukungan yang serius dari pemerintah,” kata Ridwan, Rabu (8/7).

Menurut Ridwan, hengkangnya Shell dari proyek Abadi Masela adalah hal yang biasa dalam sebuah korporasi. Sebagai International Oil company (IOC) dengan portofolio investasi di berbagai negara, maka di tengah harga minyak dunia yang masih rendah dan wabah Covid-19 yang memukul sektor ekonomi, Shell melakukan penataan ulang investasi. Shell akan fokus pada proyek-proyek yang segera menghasilkan pendapatan dalam jangka pendek.

Berdasarkan data dari Rystad Energy Research and Analysis yang dipublikasikan pada April 2020, harga minyak dunia hingga 2021 tidak akan melebihi US$50 per barel. Akibatnya, perusahaan minyak kelas dunia mengurangi investasi dan menunda penyelesaian proyek hulu migas dan bahkan menghentikannya. Untuk Shell, melakukan pemotongan proyek di 2020 yang telah berjalan dari awalnya US$18 miliar menjadi US$15 miliar. Proyek besar Shell yang ditunda antara lain Whale USA senilai US$4,5 miliar dan Crux Australia senilai US$2,0 miliar.

Ridwan menilai kondisi Masela merupakan kesempatan bagi Pertamina untuk membuktikan diri sebagai perusahaan berskala global berani masuk ke proyek Masela. Sumber Daya Manusia (SDM) Pertamina akan dipacu untuk belajar teknologi yang baru, dan masa depan Indonesia untuk hulu migas kedepannya adalah di laut dalam.

“Jadi proyek Masela adalah strategis bagi membangun daya saing, sangat berbeda dibandingkan dengan Pertamina yang mengelola blok terminasi. Pemerintah harus mendorong Pertamina dan swasta nasional lainnya membentuk konsorsium dan masuk ke proyek Masela,” kata Ridwan.(RI)