Setelah divestasi tuntas dan Inalum menguasai 51,2% saham Freeport, kini perhatian berikutnya pada rencana pembangunan smelter.(foto/IST)

JAKARTA – Setelah proses negosiasi perpanjangan kontrak PT Freeport Indonesia selesai seiring penuntasan  divestasi saham oleh PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) atau Inalum sebagai perwakilan pemerintah Indonesia, kini fokus berikutnya pada hilirisasi mineral.

Freeport mengaku telah mengalokasikan sekitar US$2,6 miliar untuk pembangunan fasilitas pengolahan  dan pemurnian (smelter).

Tony Wenas, Direktur Utama Freeport Indonesia, mengatakan dana sebesar itu akan digunakan untuk membangun smelter dan fasilitas penunjangnya seperti pembangkit listrik.

Untuk lokasi pembangunan sampai saat ini masih menggunakan basis studi awal di Gresik, Jawa Timur. Rencana tersebut juga sudah disampaikan ke Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

“Semua untuk project US$2,6 miliar. Rencana yang kami masukkan itu di Gresik, masih di gresik,” kata Tony di Jakarta, Jumat (1/2).

Fajar Harry Sampurno, Deputi Bidang Usaha Pertambangan Industri Strategis dan Media Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN),  mengatakan pembangunan smelter  sebetulnya masih dikaji. Hingga kini ada tiga lokasi yang disiapkan untuk lokasi smelter.

“Ada opsi di Papua, Nusa Tenggara Barat dan Gresik. Jadi tiga tempat itu dikaji. Ibu Menteri (BUMN) minta khusus dikaji,” kata Fajar.

Menurut dia, pembangunan smelter  sangat membutuhkan akses listrik dan tentunya harus mempertimbangkan sumber daya listrik. Namun, dipastikan dalam lima tahun ke depan smelter itu sudah harus terbangun.

“Smelter kan butuh sekali listrik, itu dimana? Yang murah itu dari air, itu dikaji. Persiapan dulu di Gresik, tapi kemudian dari sisi lokasi dan energi itu juga kami pikirkan,” tandas Fajar.

Laksamana Sukardi, mantan Menteri BUMN saat diskusi dan peluncuran buku Bisnis Orang Kuat vs Kedaulatan Negara, di Jakarta, belum lama ini, mengatakan penentuan lokasi pembangunan smelter Freeport tidak bisa dilepaskan dari mata rantai bisnis perusahaan tersebut yang melibatkan perusahaan nasional yang dimiliki orang-orang kuat.

“Tidak mudah memutus supply chain yang telah ada sejak lama. Tentu harus  ada political pressure,” kata dia.

Menurut dia, smelter Freeport seharusnya dibangun di dekat lokasi tambang di Papua, sehingga tidak perlu lagi mengeluarkan biaya angkut untuk membawa produksi dari tambang ke luar. “Biayanya akan lebih murah daripada bangun di Gresik,” kata Laksamana.(RI/AT)