JAKARTA – Permasalahan dan dampak perubahan iklim mendorong negara-negara di dunia melakukan transisi ke energi bersih berkelanjutan.

Laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) 2018 menegaskan bahwa dekade 2020-2030 adalah dekade menentukan. Perubahan fundamental harus terjadi di dekade ini agar zero net emission secara global tercapai pada 2050, dan pemanasan global bisa berada di bawah 1,5 derajat Celsius di akhir abad ini.

“Nuklir adalah pilihan yang layak untuk solusi perubahan iklim dan merupakan energi yang ramah lingkungan dan berkelanjutan. Indonesia harus maju dengan penerapan nuklir,” ungkap Satya W Yudha, Anggota Dewan Energi Nasional (DEN), dalam diskusi webinar yang digelar KOMMUN Yogyakarta, Thorcon International, dan StandUp for Nuclear, Kamis (18/2).

Satya mengatakan selama ini banyak kesalahpahaman tentang energi nuklir. Masalah keamanan masih menjadi perdebatan dalam pengembangan energi nuklir.

“Peristiwa yang terjadi di Fukushima masih membayangi pikiran sebagian masyarakat. Miskonsepsi tentang energi nuklir perlu diluruskan, mengapa itu terjadi, mengapa mispersepsi itu bisa terjadi sebagian besar masyarakat,” kata dia.

Menurut Satya, pengembangan energi nuklir memerlukan penerimaan dari para stakeholders untuk menerima segala jenis teknologi yang akan diimplementasikan.

Dadan Kusdiana, Direktur Jendral Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, mengatakan pemerintah sedang mempertimbangkan nuklir dan telah menempatkan strategi besar untuk dekarbonisasi.

“Ministry of Energy (KESDM) bergerak maju dengan nuklir dengan pendekatan langkah demi langkah untuk mengurangi risiko dan meningkatkan kepercayaan,” kata Dadan.

Mark Nelson, pendiri Standup for Nuclear program Energiewende di Jerman, menyampaikan bahwa program yang gagal secara ekonomis karena telah mendorong tingginya harga energi dan gagal dalam capaian target pengurangan emisi. “Ini tidak boleh diikuti,” tandas Mark.(RA)