JAKARTA – Aktivitas eksplorasi mineral dan batu bara Indonesia dinilai telah mati suri, yang ditandai dengan tidak adanya penemuan cadangan baru dalam jumlah besar.

Arif Zardi Dahlius, Staf Ahli Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI), mengatakan tren penurunan kegiatan eksplorasi di Indonesia mulai terasa sejak diberlakukannya UU Minerba No 4 tahun 2009. Kegiatan eksplorasi menurun sampai dengan 70%, dari sebelum UU tersebut diterbitkan.

“Dulu investasi bisa mencapai US$ 500 jutaan untuk eksplorasi, sekarang paling hanya sekitar Rp 150 jutaan,” kata Arif dalam diskusi mengenai pengelolaan tambang konstitusional di Jakarta, Senin (11/2).

Menurut Arif, salah satu faktor minimnya kegiatan eksplorasi belakangan ini juga diakibatkan oleh mekanisme penawaran wilayah izin usaha pertambangan yang cukup memberatkan bagi investor dengan diberlakukannya Kompensasi Data Informasi (KDI)

Kompensasi Data Informasi merupakan gabungan dari data dan prospek dimana harga KDI dihitung berdasarkan data dan informasi luas wilayah, tipe deposit, status wilayah, dan jarak loading/transshipment. Harga KDI WIUP/WIUPK Eksplorasi ditetapkan berdasarkan Formula Perhitungan Harga KDI.

Dalam variabel KDI harga per blok atau wilayah yang berasal dari wilayah perizinan yang belum diusahakan atau wilayah baru bisa mencapai Rp 37,5 miliar untuk luas wilayah terkecil hanya kurang dari 500 hektar (ha). Kemudian jumlahnya terus meningkat, untuk 1.000 ha Rp 75 miliar, 1.001 hingga 2.500 hektar harga blok mencapai Rp 112,5 miliar lalu 2.501 hektat sampai 5.000 hektar harga blok sebesar Rp 150 miliar.

Untuk luas wilayah blok antara 5.001 ha sampai dengan 10.000 ha dikenakan harga sebesar Rp 175 miliar, lalu 10.001 hektar sampai dengan 25.000 hektar dikenakan biaya Rp 200 miliar dan untuk 25.000 hektar sampai 100.000 hektar maka pelaku usaha diharuskan membayar sebesar Rp 250 miliar.

“Padahal 100 hektar belum tentu ada isinya. Jadi tidak semua wilayah konsesi mengandung minerba. Variabel penilaian yang buat eksplorasi tidak menarik. Ini jadi pertimbangan untuk pemerintah dan legislatif untuk segera diperbaiki,” papar Arif.

Ia menyarankan agar mekanisme penawaran berdasarkan KDI turut dievaluasi segera karena urgensi penemuan cadangan baru melalui eksplorasi sangat diperlukan. Selama ini kegiatan eksplorasi dilakukan di wilayah kerja yang sudah berproduksi. Itu pun dilakukan untuk memperpanjang umur produksi.

Menurut Arif, dasar penentuan wilayah pertambangan itu seperti membeli rumah yang terdapat blok, misalnya satu blok 2.500 hektar, nanti akan dinilai dalam blok ada tidaknya reserve atau resource. “Nah dari sana kita bisa berikan penilaian berapa KDI. Jadi parameter kami parameter teknis,” ungkapnya.

Para ahli geologi internasional sudah seringkali menyatakan bahwa wilayah Indonesia yang terletak strategis diantara tiga lempengan benua merupakan wilayah yang kaya akan potensi mineral maupun barang tambang lainnya. Tapi yang menjadi masalah sekarang adalah cara menemukannya melalui eksplorasi yang sangat minim dilakukan. Eksplorasi yang minim ini dinilai sebagai konsekuensi dari regulasi yang tidak mendukung investasi.

“Based on perspective geology para ahli dari Kanada, menyatakan Indonesia masih terbaik untuk minerba. Tapi secara regulasi kita rangking bawah,” ungkap Arif

Dalam catatan Kementerian ESDM, realisasi investasi tahun lalu sudah sebesar Rp 97,5 triliun. Capaian itu sebenarnya sudah melebihi target yang dipatok sebesar Rp 88,27 triliun. Realisasi ini juga sebenarnya masih paling tinggi dalam empat tahun terakhir. Dimana realiasi secara berturut-turut sejak 2015 adalah Rp 78,44 triliun, lalu 2016 sebesar 97,82 serta sebesar Rp 82,7 triliun.

Marwan Batubara, Direktur Eksekutif Indonesia Resources Studies (IRESS) menyatakan, pangkal utama dari tidak berjalannya pengelolaan tambang yang konstitusional adalah keberadaan UU Minerba No 4 tahun 2009 yang sampai sekarang proses revisinya berjalan ditempat selama beberapa tahun.

Revisi UU tersebut sebenarnya telah masuk dalam Prolegnas Prioritas sejak 2016 sebagai UU perubahan. Pada 2017,  Komisi VII pun telah menyusun naskah akademik (NA) RUU Minerba, yang dilakukan secara paralel dengan RUU Migas. Namun karena besarnya pengaruh oligarki penguasa-pengusaha oknum-oknum pemilik konsesi tambang eksisting dan politisi, maka pembahasan RUU Minerba tidak berjalan sebagaimana mestinya. “Pemerintah pun belum menyiapkan peta jalan kebijakan pengelolaan minerba nasional jangka panjang sebagai rujukan. Sehingga tak heran jika hingga awal 2019, RUU Minerba belum juga ditetapkan sebagai UU baru,” tandas Marwan.(RI)