Kukuh Kertasafari dalam persidangan kasus bioremediasi.

Kukuh Kertasafari dalam persidangan kasus bioremediasi.

JAKARTA – Majelis Hakim Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dijadwalkan bakal membacakan putusan untuk terdakwa kasus bioremediasi, Kukuh Kertasafari, pada 10 Juli 2013 mendatang. Pada persidangan awal pekan ini, Kukuh pun telah menyampaikan dupliknya, yang menegaskan kembali bahwa dakwaan korupsi sama sekali tidak berdasar dan tidak terbukti.

Pada kesempatan itu, Kukuh dan tim penasehat hukumnya menyampaikan Duplik (tanggapan atas Replik Jaksa Penuntut Umum/JPU) setebal 78 halaman. Karyawan PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) ini  menegaskan kembali bahwa perbuatan melawan hukum, yang dalam replik dinyatakan oleh JPU telah terbukti, pada dasarnya sama sekali tidak terbukti.

Selain itu, aturan yang digunakan JPU dalam mendakwa Kukuh, diantaranya Kepmen 128 tahun 1999 dan Kepmen 128 tahun 2009, tidak ditemukan dalam kamus perundang-undangan Indonesia. Bioremediasi dalam industri minyak dan gas bumi (migas) Indonesia sendiri, diatur oleh Keputusan Menteri Lingkungan Hidup (Kepmen LH) Nomor 128 Tahun 2003.  

Dalam dupliknya, Kukuh dan penasehat hukumnya juga menolak keras pernyataan JPU dalam tuntutan, yang menyatakan Kukuh telah melanggar Peraturan Pemerintah  (PP) Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Berbahaya dan Beracun, utamanya Pasal 40 ayat (1) huruf a.

“Sungguh aneh, PP 18/1999 tiba-tiba muncul dalam tuntutan, padahal sebelumnya tidak dicantumkan dalam dakwaan,” ujar penasehat hukum Kukuh dalam sidang pembacaan Duplik yang berlangsung pada Senin, 24 Juni 2013 itu.

Dalam logika hukum dan ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), surat dakwaan adalah dasar bagi JPU untuk melakukan penuntutan. Sehingga pasal-pasal dan aturan yang dituduhkan, mestinya sama persis antara dakwaan dan tuntutan. Namun yang terjadi, isi tuntutan JPU terhadap Kukuh berbeda dengan isi dakwaannya.

Ini menunjukkan JPU begitu bernafsu menghukum Kukuh, namun dengan cara yang tidak fair, sangat merugikan kepentingan hukum dan melanggar hak-hak asasi terdakwa, serta dilarang baik secara teoritis maupun yuridis.

Dakwaan Tidak Terbukti

Kukuh didakwa JPU telah menetapkan 28 lahan terkontaminasi minyak bumi, dengan kewenangannya sebagai Koordinator Environmental Issues Seatlement Team (EIST). Lahan terkontaminasi itu kemudian dikerjakan oleh PT Sumigita Jaya, dan Chevron melakukan penggantian kepada masyarakat. Menurut JPU, lahan itu sebenarnya tidak terkontaminasi minyak berdasarkan pengujian TPH (Total Petroleum Hydrocarbon) tanah. Atas argumentasi itu, Kukuh lantas dianggap merugikan keuangan negara.

Dalam dupliknya, Kukuh kembali menegaskan bahwa bukan dirinya selaku Koordinator EIST yang menetapkan 28 lahan terkontaminasi minyak itu. Berdasarkan keterangan para saksi yang sudah disampaikan di persidangan, penentuan lahan terkontaminasi minyak (COCS) dilakukan oleh Pelaksana Survei, yaitu Tim IMS, PGPA, dan Masyarakat, tanpa perintah apa pun dari terdakwa sebagai Koordinator EIST.

Para saksi telah menyebutkan, Koordinator EIST hanya mengundang rapat, dan mendengarkan laporan masing-masing perwakilan divisi yang hadir, termasuk Tim IMS dan PGPA, tanpa kewenangan memutuskan, menerima atau menolak laporan itu, maupun memberikan perintah lebih lanjut.

“Tidak ada satupun alat bukti yang dapat membuktikan bahwa terdakwa yang menetapkan 28 lahan sebagai COCS. Terdakwa juga tidak pernah meminta pengujian TPH tanah, karena itu bukan kewenangannya. Para saksi pun sudah menjelaskan di persidangan, pengujian TPH tanah dilakukan Tim IMS,” ujar Kukuh dan penasehat hukumnya dalam duplik.

Dijelaskan kembali dalam duplik Kukuh, tanah pada 28 lokasi yang ditetapkan IMS memang betul-betul lahan terkontaminasi minyak mentah, yang bisa dilihat dari warnanya yang menghitam. Juga hasil uji lab yang menunjukkan kandungan TPH tanah pada 28 lokasi yang dipersoalkan JPU, adalah 5,87%, 16,57%, 9,71%, dan 13,88%. Berdasarkan Kepmen LH 128/2003, tanah dengan TPH diatas 1% boleh dibersihkan dengan teknologi bioremediasi.

Kriteria ini juga sudah dibenarkan ahli dari Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), yang juga merujuk ke Kepmen LH 128/2003. Hanya ahli dan saksi dari JPU, yakni Edison Effendi, yang mengatakan bahwa tanah yang boleh dibioremediasi hanya yang TPH-nya 7,5% sampai 15%, tanpa merujuk dasar hukum yang jelas. Keterangan Edison bertentangan dengan seluruh keterangan ahli bioremediasi, baik dari KLH dan Lemigas, maupun ahli bioremediasi dari IPB maupun ITB.

Disampaikan pula, tuduhan JPU bahwa Kukuh bersama-sama Direktur PT Sumigita, Herlan bin Ompo, telah melakukan perbuataan melawan hukum yang menimbulkan kerugian negara, sangat tidak berdasar. Karena sebelum adanya perkara bioremediasi ini, Kukuh dan Herlan tidak pernah bertemu, berhubungan, ataupun saling mengenal. Kukuh dan Herland bin Ompo baru bertemu, setelah sama-sama menjadi tersangka dan ditahan di sel Kejagung dalam kasus bioremediasi ini.

Dalam duplik, Kukuh dan penasehat hukumnya juga kembali mengingatkan bahwa Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) adalah badan yang  tidak  berwenang melakukan penghitungan  kerugian keuangan negara . Seperti diketahui, lembaga negara yang berwenang mengaudit kerugian keuangan negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Kalau toh diserahkan untuk diaudit BPKP, maka harus lebih dulu dengan penugasan dari BPK.

“Oleh karena itu, Laporan Hasil Kerugian Keuangan Negara yang dibuat oleh Auditor BPKP sebagaimana tertuang dalam Surat No.SR-1025/D6/02/2012 tanggal 9 Nopember 2012 tidak sah dan tidak mempunyai nilai sebagai alat bukti yang sah, dan karena itu pula kami mohon agar Yang Mulia Majelis Hakim berkenan mengesampingkan alat bukti tersebut,” jelas penasihat hukum Kukuh.

Tak Bisa DiterapkanPidana Korupsi

Sebelumnya Pakar hukum pidana, Dr Mudzakkir SH MH menilai bahwa proyek bioremediasi merupakan pelaksanaan kontrak Production Sharing Contract (PSC) dalam operasi migas di Indonesia yang dinaungi Undang-undang Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.

“Pelanggaran terhadap UU 22/2001 tentang migas tidak mencantumkan isi ketentuan Pasal 14 UU No 31/1999 yang telah diubah dengan UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sehingga tidak bisa diterapkan pidana korupsi. Secara yuridis formil, jelas tidak mungkin diterapkannnya tindak pidana korupsi terhadap pelanggaran UU migas,” tegas Mudzakkir.

“PSC adalah kontrak bisnis murni antara dua rekanan dan masuk dalam ranah hukum kontrak/hukum perdata. Perselisihan diselesaikan oleh pihak yang berkontrak berdasarkan mekanisme penyelesaian yang telah disepakati dalam kontrak tersebut,” ujar Mudzakkir.

Hal senada disampaikan Pakar PSC, Makmum Hakim Nasution yang menyatakan bahwa tidak ada kerugian negara yang dimungkinkan timbul, dari kerjasama yang dinaungi PSC migas. “Kedudukan subyek hukum para pihak dalam perjanjian, adalah subyek hukum perdata. Dan dalam pelaksanaan PSC di Indonesia, pemerintah sudah sepakat untuk memilih arbitrase sebagai mekanisme penyelesaian jika ada perselisihan,” jelas Hakim di depan persidangan yang digelar Jumat, 31 Mei 2013.

Dalam dupliknya, Kukuh dan penasehat hukumnya pun menjelaskan asas hukum  Lex Consumen Derogate Legi Consumte” yang dijelaskan oleh dua ahli hukum dalam persidangan. Yakni Guru Besar Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada (UGM) Edward Omar Syarif Hiariej dan Guru Besar Hukum Universitas Parahyangan (Unpar) Bandung, Asep Warlan Yusuf.

Berdasarkan asas hukum tersebut, maka kasus yang sedang dihadapi oleh terdakwa Kukuh Kertasafari pada dasarnya adalah perkara pidana lingkungan, bukan perkara pidana korupsi. Sehingga pengadilan dan penuntutan terhadap terdakwa Kukuh, tidak bisa dilakukan di Pengadilan Tipikor melainkan di Pengadilan Negeri berdasarkan  Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, bukan UU Tindak Pidana Korupsi. 

“Berdasarkan fakta hukum di atas, seharusnya perkara yang sedang diperiksa dan diadili sekarang ini, juga tidak dapat diperiksa dan tidak dapat diterapkan sebagai Tindak Pidana Korupsi. Karena materi perkaranya, adalah pelanggaran terhadap UU Lingkungan Hidup yang telah meng-absorb UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,” jelas penasehat hukum Kukuh.

(Abraham Lagaligo / abrahamlagaligo@gmail.com)