JAKARTA – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) akhirnya kembali memulai tahapan seleksi pemilihan Direktur Jenderal Mineral dan Batu bara (Minerba) yang kosong setelah ditinggalkan Bambang Gatot Ariyono yang pensiun pada awal Mei 2020.

Ada enam nama yang bersaing untuk memperebutkan kursi dirjen minerba yang berkantor di Jalan Soepomo, Jakarta itu.

Satu hal yang menarik dari enam nama tersebut dua di antaranya adalah anak buah  Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi. Keduanya adalah Ridwan Djamaluddin M.Sc, Deputi Bidang Koordiniasi Infrastruktur dan Transparan Kemenko Maritim dan Investasi serta  Yohannes Yudi Prabangkara, Asisten Deputi Industri Pendukung Infrastuktur.

Empat kandidat lainnya adalah pejabat internal Kementerian ESDM, yakni Agung Pribadi, Kepala Biro Komunikasi Layanan Informasi Publik dan Kerjasama (KLIK); Sujatmiko, Direktur Pembinaan Pengusahaan Batu Bara; Yunus Saefulhak Direktur Pembinaan Pengusahaan Mineral serta Mohammad Priharto Dwinugroho Kepala PPSDM Geominerba.

Berdasarkan informasi yang dihimpun Dunia Energi, proses seleksi sebenarnya baru akan dimulai. Paling tidak pekan depan akan mulai dilakukan serangkaian tes sebelum dilakukan eliminasi dan ditetapkan Dirjen Minerba yang baru.

Tugas berat sudah pasti akan menanti Dirjen Minerba yang baru karena pemerintah harus segera menerbitkan aturan turunan dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP) maupun Peraturan Menteri (Permen) sebagai aturan teknis dari pelaksanaan perubahan Undang-Undang Minerba yang baru saja disahkan oleh parlemen beberapa waktu lalu.

Selain itu juga yang pasti dinantikan adalah tentang kebijakan pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian atau smelter dimana ada pengajuan mundurnya target smelter oleh beberapa perusahaan lantaran adanya pandemi Covid-19.

UU Minerba terbaru menekankan pembangunan smelter rampung paling lambat pada 2023 atau tiga tahun sejak diundangkan. Ini berarti setelah 2023 hanya produk mineral yang sudah dimurnikan atau telah melalui smelter yang bisa diekspor.

Namun aturan batas waktu ini justru menjadi peluang timbulnya masalah baru. Ini disebabkan sejumlah pengusaha smelter telah mengajukan penundaan pembangunan smelter hingga 18 bulan akibat pandemi Covid-19. Dengan penundaan itu maka berimbas pada target pembangunan smelter. Misalnya saja PT Freeport Indonesia ang tengah membangun smelter tembaga. Jika semula ditargetkan rampung di 2023, dengan adanya pandemi Covid-19, Freeport mengajukan permohonan penundaan pembangunan smelter selama 12 bulan yang berarti target penyelesaian smelter menjadi 2024. Ini juga telah disampaikan kepada pemerintah. Ini menjadi poin yang bisa menjadi bumerang bagi pemerintah.

Tidak hanya itu, Ditjen Minerba juga masih harus melakukan evaluasi terhadap para perusahaan pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu bara (PKP2B) yang telah memasuki akhir masa kontraknya. PT Arutmin Indonesia jadi salah satu perusahaan yang akan segera habis kontraknya dan menurut UU Minerba yang baru para pemegang PKP2B bisa langsung mendapatkan perpanjangan kontrak dengan terlebih dulu harus memenuhi syarat yang harus dievaluasi pemerintah.

PT Arutmin Indonesia kontraknya selesai 1 November 2020. Kemudian ada PT Kaltim Prima Coal selesai pada 13 September 2021. Lalu ada PT Multi Harapan Utama selesai pada 1 April 2022. PT Adaro Indonesia berakhir 1 Oktober 2022. Kemudian ada PT Kideco Jaya Agung selesai pada 13 Maret 2023. Lalu ada PT Berau Coal yang kontraknya selesai pada 26 April 2026.(RI)