JAKARTA – Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan (RUU EBT) yang saat ini tengah dalam pembahasan di DPR disinyalir akan memicu beberapa permasalahan. Dalam terbaru draft RUU EBT terbaru tanggal 10 September 2020 terdapat pasal-pasal yang dinilai cukup mengkhawatirkan dan dapat membuat mundur sektor ketenaganukliran.

“Terdapat beberapa permasalahan dalam draft RUU EBT tersebut, antara lain memunculkan kekhawatiran bagi badan usaha swasta yang berminat melakukan investasi pada PLTN yakni pada ketentuan Pasal 7 Ayat 3 RUU EBT yang mana Pembangunan, Pengoperasian, dan Dekomisioning Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir dilaksanakan oleh Badan Usaha Milik Negara Khusus,” ungkap Bob S Effendi, Kepala Perwakilan Thorcon International Pte Ltd, Jumat (18/9).

Menurut Bob, munculnya pasal tersebut menunjukkan adanya monopoli dalam hal pembangunan PLTN oleh BUMN Khusus (BUMNK) tersebut.

“Jelas ini merupakan pasal yang diselundupkan,” kata dia.

Tidak hanya itu, ketentuan tersebut juga melanggar UU Nomor 10 tahun 1997 Tentang Ketenaganukliran yang membuka peluang untuk BUMN, Swasta dan Koperasi dapat membangun PLTN.

Bob menambahkan, dengan adanya ketentuan Pasal 7 Ayat 3 diasumsukan
bahwa pembangunan PLTN akan dibiayai oleh APBN melalui BUMNK, yang sampai saat ini dianggap tidak
realistis karena tidak adanya kejelasan anggaran untuk pembangunan PLTN dalam APBN.
Hal ini juga akan menutup keran investasi di bidang ketenaganukliran. Hal ini tidak sejalan dengan kebijakan Pemerintah sendiri.

Selain itu, permasalahan selanjutnya adalah dalam Pasal 7 ayat (5) RUU EBT yang mengatur bahwa Pembangunan
PLTN ditetapkan oleh Pemerintah Pusat setelah mendapatkan persetujuan DPR. Hal ini bertentangan dengan ketentuan
dalam UU Ketenaganukliran Pasal 13 ayat (4) yang mengatur bahwa pembangunan reaktor nuklir komersial yang berupa PLTN ditetapkan oleh Pemerintah setelah berkonsultasi dengan DPR.

“Diksi persetujuan dalam RUU EBT tersebut bertentangan dengan diksi berkonsultasi dalam UU Ketenaganukliran yang telah berlaku,” ungkap Bob.

Apabila pembangunan PLTN pemerintah harus mendapatkan persetujuan DPR sebagaimana yang dituliskan dalam RUU EBT, dikhawatirkan akan mudah dipolitisasi yang akan berujung kepada voting di DPR.
Selanjutnya, Pasal 9 RUU EBT menyebutkan tentang galian nuklir yang tidak relevan masuk dalam UU EBT yang tidak hubungan dengan energi tetapi pertambangan.
Perihal galian nuklir sudah dibahas dalam Pasal 9 UU Ketenaganukliran.

Kemudian Pasal 12 ayat (1) RUU EBT juga memunculkan permasalahan dimana untuk menjamin terselenggaranya keselamatan ketenaganukliran nasional, Pemerintah membentuk Majelis Pertimbangan Daya Nuklir yang mana kewenangan tersebut merupakan kewenangan dari Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten) yang sudah terbentuk berdasarkan UU No
10 /1997 yang memiliki tugas dan tanggung jawab serta kompetensi dalam memastikan keselamatan di bidang
ketenaganukliran.

“Seharusnya majelis tersebut lebih mendorong kebijakan nuklir bukan bicara keselamatan, maka seharunya
bisa lebih implementatif dan operasional bukan dalam bentuk majelis yang hanya memberikan pertimbangan atau sama
sekali ditiadakan mengingat sudah adanya Batan Tenaga Nuklir Nasional,” ujar Bob.

Dia mengatakan bahwa RUU EBT menunjukkan banyaknya ketentuan yang tumpang tindih dengan ketentuan dalam UU induk nuklir yakni UU 10/1997. Semua hal ini menimbulkan ketidakpastian hukum dan akan merugikan pihak investor yang berminat untuk melakukan investasi di bidang ketenaganukliran tetapi juga untuk negara dan badan-badan yang telah ditugaskan oleh UU 10/1997.

“Dapat dikonklusikan dalam RUU EBT ini terdapat pasal-pasal yang diselundupkan yang telah menciderai ketentuan
dalam UU 10/1997 sebagai UU induk nuklir dan yang pasti akan membuat mundur sektor nuklir nasional. Kami berharap Batan dan Bapeten bisa lebih mengawal dan mendukung terbukanya investasi di bidang ketenaganukliran,” tandas Bob.(RA)