JAKARTA – Komisi VII DPR telah memulai agenda pembicaraan tingkat pertama draft Rancangan Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (RUU Minerba) sekaligus membahas Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) yang diajukan pemerintah, pekan lalu. Dalam rapat yang juga dihadiri Ignasius Jonan, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Airlangga Hartarto, Menteri Perindustrian, terungkap ada wacana untuk mempercepat penyelesaian RUU Minerba sebelum berakhirnya masa jabatan anggota DPR 2014-2019 atau hanya dalam jangka waktu tiga minggu.

Melky Nahar, Kepala Kampanye Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), mengatakan dalam rapat kerja Komisi VII tersebut, terungkap pula setidaknya ada 12 poin besar dalam DIM pemerintah, yaitu penyelesaian permasalahan antar sektor; penguatan konsep wilayah pertambangan, meningkatkan pemanfaatan batu bara sebagai sumber energi nasional; memperkuat kebijakan peningkatan nilai tambah minerba; mendorong kegiatan eksplorasi untuk meningkatkan penemuan deposit minerba, pengaturan khusus tentang izin pengusahaan batuan; dan mengakomodir putusan Mahkamah Konstitusi dan UU No. 23 Tahun 2014.

Poin lainnya, tersedianya rencana pertambangan minerba; penguatan peran pemerintah pusat dalam pembinaan dan pengawasan kepada pemerintah daerah; pemberian insentif kepada pihak yang membangun smelter dan PLTU mulut tambang; penguatan peran BUMN; dan perubahan KK/PKP2B menjadi IUPK dalam rangka kelanjutan operasi.

“Dari 12 poin besar tersebut Koalisi Masyarakat Sipil Kawal RUU Minerba memandang bahwa draft RUU Minerba dan DIM pemerintah sangat bermasalah karena tidak mencerminkan kedaulatan negara sebagaimana Pasal 33 UUD 1945,” kata Melky di Jakarta, Kamis (25/7).

Dia menambahkan, draft RUU Minerba dan DIM Pemerintah bertentangan dengan semangat pengembangan energi baru terbarukan (EBT) dan justru memberikan banyak insentif bagi eksploitasi batu bara, tidak memperhatikan aspek kepentingan ekologis dan perlindungan lingkungan, tidak memberikan perlindungan atas hak-hak dan keselamatan warga serta aspek sosial ekonomi lainnya.

DIM RUU Minerba dinilai justru memberikan peluang untuk mengobral sumber daya alam tanpa batas, serta berpotensi digunakan untuk mengkriminalisasi masyarakat yang dituding menghalang-halangi kegiatan pertambangan.

Draft RUU Minerba juga tidak berpihak pada keselamatan rakyat dan berpotensi menambah perluasan pembongkaran komoditas tambang baru mulai dari logam tanah jarang, radioaktif hingga tambang di laut dalam (Seabed Mining).

Lebih dari 90% isi RUU ini juga lebih banyak membahas proses perizinan dan pengusahaan tambang. Hak veto rakyat dan hak masyarakat adat luput diberi ruang. Bahkan ada penambahan pasal 115 A yang menguatkan pasal 162 pada UU Minerba lama untuk memberi ruang kriminalisasi terhadap warga yang menyampaikan haknya menolak tambang.

“Selanjutnya, pada pasal 99 ayat 2 di draf RUU Minerba yang beredar, melegitimasi lubang tambang untuk dijadikan irigasi dan wisata, yang mana hal ini akan melegalkan perusahaan terus meninggalkan lubang maut,” ungkap Melky.

Koalisi juga mendesak Presiden Joko Widodo untuk menarik kembali DIM draft RUU Minerba dari pembahasan di Komisi VII. Selain karena pasal-pasal dalam RUU Minerba bermasalah, DIM tersebut juga belum selesai dilakukan harmonisasi di internal Kementerian/Lembaga terkait, sebagaimana terungkap dalam Rapat Kerja Komisi VII minggu lalu.

“Koalisi mendesak Presiden dan DPR agar RUU Minerba, RUU yang sangat strategis dan berkaitan dengan kepentingan nasional serta hajat hidup rakyat Indonesia, harus dibahas secara terbuka, transparan dan tidak boleh dibahas secara serampangan apalagi kejar tayang,” tandas Melky.(RA)