JAKARTA – PT Pertamina (Persero) mengklaim tidak menikmati keuntungan besar dengan menjual BBM dengan harga yang saat ini berlaku, meski harga minyak dunia telah turun signifikan. Hal ini terjadi karena permintaan terhadap BBM juga sangat rendah.

Nicke Widyawati, Direktur Utama Pertamina, mengatakan situasi saat ini belum pernah terjadi dan dialami Pertamina sebelumnya.  Produk minyak mentah berupa BBM bahkan lebih murah dibanding dengan minyak mentah itu sendiri. Ini tentu menjadi masalah untuk Pertamina yang produksi minyak mentahnya diolah sendiri oleh kilang dalam negeri. Sayangnya olahan minyak mentah menjadi BBM tersebut sekarang bahkan banyak yang tidak terserap. Adanya wabah Covid-19 membuat konsumsi BBM masyarakat dan industri anjlok.

Nicke mengatakan 80% pendapatan Pertamina berasal dari hilir. Sisanya 20% dari hulu. Sebaliknya untuk kontribusi laba bersih sebanyak 80% berasal dari bisnis hulu dan 20% dari hilir. Sehingga jika harga minyak jatuh, secara langsung akan menekan Pertamina. Jika dalam situasi normal anjloknya harga minyak bisa mendorong penurunan Indonesia Crude Price (ICP), dan menurunkan Harga Pokok Penjualan (HPP) bisnis hilir, tapi kondisi itu tidak terjadi karena sekarang permintaan  BBM turun, sehingga menjadi tidak seimbang.

Kemudian infrastruktur Pertamina baik di hulu, dan kilang didesain dan dibangun untuk menyesuaikan permintaan migas yang banyak. “Makanya kalau ada penurunan permintaan berpengaruh sama kilang,” kata dia.

Pertamina juga sudah menurunkan kapasitas produksi kilang hingga 15%. Jika penurunan konsumsi terus terjadi kapasitas produksi kilang Pertamina akan kembali diturunkan sebanyak 25%.

Menurut Nicke, sebelum Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) saja penurunan konsumsi terjadi sudah tinggi, kondisi tersebut makin meningkat ketika PSBB diberlakukan. Konsumsi BBM di kota-kota besar kata Nicke penurunannya sudah diatas 50% dari kondisi normal.

“Secara nasional sampai April ini sampai 25% turunnya demand kita. Penurunan demand kita ini adalah penjualan terendah sepanjang sejarah Pertamina. Jakarta, Bandung, Surabaya, Makassar itu turun tajam. Kota-kota besar turun konsumsinya diatas 50%,” kata dia.

Menurut Nicke, storage-storage atau tangki penyimpanan Pertamina saat ini sudah dalam kondisi penuh. Saat ini stock BBM Pertamina sudah mencapai dua bulan padahal biasanya hanya 16-18 hari. Dengan kondisi ini meskipun harga BBM tetap tidak ikuti harga minyak dunia tapi tetap saja tidak ada yang membeli BBM Pertamina, sehingga tidak ada keuntungan tidak terduga (windfall profit) yang dinikmati.

“Jadi walaupun harga minyak sedang turun kita tidak kena windfall profit itu, karena demand (permintaan) nggak ada,” kata Nicke.

Menurut Nicke, kondisi tersebut merupakan bagian dari triple shock atau kejutan yang sedang memukul kondisi perusahaan. Shock berikutnya adalah terkait tekanan dollar terhadap rupiah.

Pertamina kata Nicke harus menggelontorkan 93% belanja modal atau Capital Expenditure (Capex), maupun Operation Expenses (Opex), dalam bentuk dolar. Sementara di sisi lain Pertamna menjual produk dalam bentuk rupiah.

“Makanya ada selisih kurs. Pengeluaran dan pemasukan jadi nggak seimbang. Kalau pendapatan rupiah, lalu terdepresiasi maka makin kecil (pendapatan),” kata Nicke.(RI)