JAKARTA – PT Pertamina (Persero) mengakui proses digitalisasi Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) berjalan lambat. Hal ini disebabkan banyaknya kondisi SPBU yang sudah terlanjur terlalu tua sehingga pemasangan instalasi harus dari awal atau dengan beberapa cara khusus agar tidak menganggu kegiatan penyaluran BBM ke masyarakat.

Mas’ud Khamid, Direktur Pemasaran Retail Pertamina, mengatakan ada tiga tahap pemasangan instalasi yang harus dilalui setiap SPBU sebelum full menjadi SPBU digital atau modern. Pertama adalah pemasangan instalasi alat ukur di tangki timbun. Kemudian memasang sensor di masing-masing nozzle dispenser BBM, dan terakhir adalah pengadaan dan penyiapan mesin EDC untuk pembayaran nontunai.

Untuk pemasangan alat ukur di tangki sudah diselesaikan di 5.518 SPBU Pertamina. Begitu juga dengan sensor nozzle. Hanya sekarang tantangan berat adalah menyiapkan 22.000 mesin EDC. “Untuk EDC, kami masang 22.000. Ini baru selesai 1.400. Yang sudah integrasi 130 antara ketiganya di Jakarta, khusus untuk kota Jakarta sudah selesai,” ungkap Mas’ud.

Dalam rencana awal seluruh instalasi digitalisasi SPBU Pertamina dijadwalkan bisa selesai pada akhir 2018, kamudian kembali mundur pada 2019, tapi sampai sekarang realisasinya masih jauh dari target.

Menurut Mas’ud,  kondisi SPBU Pertamina menyebabkan perlu usaha ekstra dalam memasang instalasi digital di SPBU yang sudah berumur tua.

“Kenapa terlambat? Konstruksi SPBU kami bukan SPBU baru. Kami sangat hati-hati, untuk melakukan instalasi, ini yang buat mundur,” ujarnya.

Selain itu, waktu pemasangan instalasi terbatas lantaran harus disesuaikan dengan waktu kegiatan operasional SPBU. “Pekerjaan itu dilakukan setelah SPBU tutup jam 10 malam sampai jam 5 pagi,” kata Mas’ud.

M. Fanshurullah Asa, Kepala Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas (BPH Migas), meminta Pertamina bisa mempercepat digitalisasi SPBU karena bisa dimanfaatkan sebagai sarana pengendali penyaluran BBM bersubsidi. Apalagi konsumsi BBM solar bersubsidi tahun ini diperkirakan akan jauh melampaui kuota yang sudah ditetapkan. Hingga akhir 2019, kelebihan konsumsi solar diperkirakan mencapai 0,8 juta Klilo Liter (KL) sampai 1,4 juta KL. Sementara kuotanya sudah dipatok sebesar 14,5 juta KL.

BPH Migas memaklumi kesulitan Pertamina dalam melakukan digitalisasi karena banyak SPBU yang berlokasi di wilayah pedalaman dan cukup sulit dijangkau untuk dilakukan pemasangan instalasi. “Kendala SPBU di Indonesia sangat beragam. Umurnya sudah ada yang tua, sehingga tangki timbun dan nozzelnya sudah lama. Ada yang mesinnya masih sangat kuno. Dari sisi SPBU, mau beli mesin baru juga omset kecil, berat jadinya,” kata Fanshurullah.

Mas’ud sendiri yakin pengendalian penyaluran BBM subsidi bisa optimal dengan digitalisasi SPBU. Nantinya Pertamina bisa langsung mengetahui jumlah volume yang terjual dan kepada siapa BBM tersebut dijual. Kemudian Pertamina juga mengatahui apakah terjadi pola konsumsi tidak wajar di suatu SPBU

“Kemudian, Pertamina bisa tahu kondisi stok, habisnya sudah berapa jam. Selama ini stok habis itu kita tahunya telat. Setelah integrasi, jd tahu stok akan selalu terjaga. Ketiga, SPBU mana yang penjualan subsidinya mana yang tidak wajar. SPBU ini transaksinya berapa liter,” kata Mas’ud.(RI)