JAKARTA – Indonesia akhirnya segera memasuki fase baru dalam penyaluran bahan bakar minyak (BBM) yang disubsidi maupun yang ditugaskan oleh pemerintah. Kini PT Pertamina (Persero) punya cara baru untuk salurnya BBM Solar subsidi maupun BBM penugasan Pertalite.

Untuk pertama kalinya dalam sejarah Indonesia, Pertamina bakal menjual barang subsidi melalui aplikasi teknologi informasi yang dikembangkan sendiri yakni MyPertamina. Pada tahap pertama ini mulai hari ini 1 juli 2022 kendaraan roda empat diharuskan melakukan registrasi dimana data yang sudah diinput akan menjadi basis pertimbangan apakah masyarakat ini tergolong mampu atau tidak mampu dan berhak mendapatkan kuota BBM subsidi maupun penugasan.

Irto Ginting, Sekretaris Perusahaan PT Pertamina Patra Niaga (PPN) selaku Subholding Commercial and Trading Pertamina, menjelaskan untuk tahap awal tidak ada pelarangan kendaraan yang tidak melakukan registrasi. Dalam kurun waktu dua minggu ke depan akan dievaluasi berdasarkan animo masyarakat mendaftar serta kesiapan infrastruktur. Setelah itu baru mekanisme baru penyaluran yang baru bisa diterapkan.

“Tentunya ada beberapa pertimbangan untuk wilayah, kesiapan daerah, infrastruktur, apakah banyak kebocoran di wilayah itu, apa dekat pertambangan atau industri. Jadi ada beberapa pertimbangan. Jadi untuk yang tahap 1 dilonggarkan kita coba dua minggu tapi kita longgarkan untuk pendaftaran sambil melihat bagaimanpenerapan di lapangan, dan tingkat keinginan masyarakat untuk mendaftar. kita akan review kembali wilayah-wilayah tersebut mana yang siap,” jelas Irto dalam konferensi pers, Kamis (30/6).

Adapun wilayah yang menjadi sasaran untuk dilakukan uji coba antara lain Banjarmasin, Bukit tinggi, Agam, Padang Panjang, Tanah Datar, kota Yogyakarta, Bandung, Tasikmalaya, Ciamis, Sukabumi dan Manado. Dalam rencana PPN nantinya penerapan registrasi akan dilanjutkan pada bulan Agustus untuk pulau Jawa ditambah dengan kota Palu, Pontianak serta Mataram. Selanjutnya diharapkan pada bulan September pendaftaran sudah dilakukan masyarakat di seluruh wilayah Indonesia.

Kemudian saat tahap registrasi tersebut masyarakat diminta untuk mengisi beberapa data diri maupun kendaraan, lalu ada juga tipe konsumen seperti personal, ojek online, transportasi umum atau bisnis. Masyarakat juga akan diminta memasukkan data kendaraan.

Nantinya dalam implementasi setelah ujicoba maka setelah tahap registrasi data yang ddipun akan diverifikasi oleh regulator atau instansi terkait. Inilah yang masih digodok pemerintah. Terkait basis data untuk menentukan seseorang berhak menerima subsidi atau tidak. Jika verfikasi telah selesai maka masyarakat akan menerima QR Code yang bisa ditunjukkan kepada petugas SPBU saat membeli BBM. Jika memang QR Code bisa cocok dengan basis data yang sudah disiapkan baru masyarakat bisa membeli BBM jenis Solar atau Pertalite.

Menurut Irto evaluasi tetap harus dilakukan setelah uji coba sambil menunggu rampungnya Peraturan Presiden (Perpres) No 191 tahun 2014. Salah satu poin utama revisi tersebut adalah jenis kendaraan mana saja yang boleh menggunakan bbm Solar maupun Pertalite.

“Untuk Solar dalam Perpres 191 tahun 2014 sudah clear kriterianya. Tapi untuk Pertalite Perpres masih dalam finalisasi, jadi pembatasan CC dan lain lain itu masih menjadi pembahasan di pemerintah kriteria yang akan ditetapkan nanti,” jelas Irto.

Pertamina menegaskan mekanisme penyaluran BBM berbasis digital ini tidak bermaksud untuk membuat resah masyarakat. Justru sebaliknya pemerintah maupun Pertamina menginginkan agar subsidi bisa diterima dengan tepat oleh masyarakat yang benar-benar berhak dan membutuhkan. Pasalnya 60% masyarakat yang menggunakan BBM subsidi adalah termasuk kalangan kaya.

“60% masyarakat mampu atau yang masuk dalam golongan kaya ini mengonsumsi hampir 80% dari total konsumsi BBM bersubsidi. Sedangkan 40% masyarakat rentan dan miskin hanya mengonsumsi 20% dari total subsidi energi tersebut,” kata Irto.

Mars Ega Legowo, Direktur Pemasaran Regional PT Pertamina Patra Niaga, menuturkan Pertamina dalam hal ini Pertamina Patra Niaga (PPN) sebagai badan usaha penugasan mempunyai tanggung jawan secara korporasi untuk jalankan tugas dengan baik. BBM produk subsidi ini harga diatur dan volume diatur.

Dia menjelaskan subsidi sebenarnya sudah mengalami beberapa kali transformasi dari sebelumnya selling out dihitung sejak BBM keluar dari terminal Pertamina kini dihitung sampai BBM diterima ke masyarakat.

Era tahun 2014 kebawah subsidi sudah dianggap tersalurkan ke masyarakat saat selling out keluar Pertamina artinya produk yang keluar dari temrinal pertamina itu dianggap sudah tersalurkan ke masarakat. Tapi dinamika dalam berkebangsaan berkembang, akhirnya dihitung ketika mencapai selling in ke SPBU. Seiring perkembangan waktu Pertamina selaku badan usaha diminta untuk terus maju menyerahkan BBM tidak hanya sampai ke SPBU tapi sampai keluar dari nozzle SPBU.

Untuk bisa mengimplementasikan amanat pemerintah itu mulai dikembangkan sistem digitalisasi. Selanjutnya terjadi gejolak utamanya geoplitik internasional yang berimbas pada naiknya harga minyak dunia dan otomatis berpengatuh terhadap harga BBM yang sebagian besar memang masih diimpor.

“Ternyata seiring perkembangan waktu itu nggak cukup. Kita diminta pada siapa itu disalurkan. Ketika tuntutannya ke siapa disitu kita kembangkan digitalisasi terhubung langsung ke end user, disitu kami kembangkan MyPertamina,” jelas Ega.

Dia menjelaskan tanggal 1 Juli 2022  adalah tahap registrasi bagi masyarakat bukan merupakan pembatasan pembelian Pertalite maupun Solar. Masyarakat diminta untuk mengisi data diri dan kendaraan untuk bisa mendapatkan QR Code yang nantinya akan jadi alat untuk memvalidasi apakah masyarakat memang tergolong berhak untuk menerima subsidi atau tidak.

“Data akan dikoordinasikan untuk tahap awal belum ada verifikasi, sifatnya kami masih mencocokkan masyarakat upload STNK upload No Polisi, foto kendaraan dan NIK. Nanti akan dicocokan benar nggak kendaraan ini dll. Belum validasi data itu valid atau belum kami baru gathering data kalau cocok, approve nanti masyarakat dapat QR Code melalui email,” jelas Ega.

Sementara itu, Saleh Abdurrahman, Anggota Komite Badan Pengatur Hilir Migas (BPH Migas), mengungkapkan peran Pertamina sangat krusial dalam menjajaki era baru penyaluran subsidi BBM kepada masyarakat. Melalui teknologi yang dikembangkan berupa MyPertamina, diharapkan jadi jalan keluar dari masalah yang ditimbulkan oleh penyaluran BBM subsidi yang memang harus diakui tidak tepat pada sasaran. Sudah tidak tepat sasaran kuotanya pun setiap tahun terus membengkak yang sangat membebani keuangan negara.

Berdasarkan data BPH Migas, hingga 20 Juni ini realisasi penyaluran solar sudah mencapai 51,24% dari kuota yang sudah ditetapkan sebelumnya yakni 15,1 juta Kiloliter (KL). Kemudian untuk realisasi penyaluran Pertalite sudah mencapai 57,56% dari kuota sebelumnya yakni 23,05 juta KL.

Ke depan sistem yang dibangun oleh Pertamina melalui MyPertamina diharapkan bisa langsung jalan keluar untuk bisa mengatur penyaluran subsidi.

“Sistem MyPertamina akan bisa kawal itu, bahwa seseorang sudah isi hari ini misalnya 60 liter itu maka hari itu dia tidak bisa pergi ke SPBU lain sehingga betul-betul terkontrol konsumen kita. Lalu kami juga terbitkan surat rekomendasi JBT solar agar ada pengawasan kuat,” jelas Saleh.

Pemerintah dan Pertamina masih konsisten mempertahankan harga BBM jenis Solar dan Pertalite serta LPG 3 Kg tidak naik di tengah harga minyak mentah global yang terus bertahan di atas U$ 110 per barel. Padahal sejumlah badan usaha domestik– termasuk juga di luar negeri—menaikkan harga BBM, jauh di atas harga BBM subsidi dan BBM nonsubsidi yang dijual Pertamina.

Kalangan ekonom mengapresiasi kebijakan Pemerintah dan Pertamina tersebut. Namun, menahan harga Solar, Pertalite dan LPG 3kg memiliki konsekuensi terhadap peningkatan beban subsidi energi dan kompensasi yang harus digelontorkan pemerintah hingga mencapai Rp500 triliun pada 2022. Untuk itu pengendalian dalam rangka pengawasan penyaluran BBM sudah sepatutnya dilakukan.

Bhima Yudhistira, peneliti dari Center of Economic and Law Studies (Celios), mengatakan subsidi BBM dan LPG 3kg memiliki dampak positif terhadap konsumsi rumah tangga khususnya kelompok 40% pengeluaran terbawah. Selama ini penduduk miskin dan rentan memanfaatkan subsidi BBM dan LPG sehingga terdapat disposable income yang digunakan untuk belanja kebutuhan lain.

“Kalau ada sisa belanja karena BBM-nya disubsidi, orang miskin bisa beli keperluan sekolah anak, misalnya. Ini sangat membantu menjaga daya beli terlebih saat ini ancaman dari kenaikan harga pangan terjadi,” ujar Bhima belum lama ini kepada Dunia Energi.

Dia menilai langkah pemerintah mengalokasikan dana Rp500 triliun untuk subsidi energi dan dana kompensasi jelas tidak percuma. Ini sangat membantu percepatan pemulihan konsumsi rumah tangga dan jaga stabilitas inflasi. “Bayangkan kalau harga Pertalite naik menjadi harga keekonomian di Rp14.000 per liter yang pusing bukan hanya pemilik kendaraan bermotor tapi guncangan inflasi bisa melemahkan kurs rupiah dan membuat aliran modal keluar. Indonesia bisa terjun ke resesi ekonomi,” jelas Bhima.

Namun, lanjut Bhima, pendistribusian subsidi ini tidak boleh lagi serampangan. Perbaikan data demi memastikan penyaluran subsidi tepat sasaran jadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan pemerintah.

Bhima menyatakan subsidi bisa lebih tepat sasaran kuncinya ada pada integrasi data kependudukan dengan data kendaraan. Kriteria penduduk yang rentan dan miskin sudah ada di Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS), namun itu belum sinkron dengan data kendaraan bermotor.

Inisiatif pengumpulan data baik itu pemilik kendaraan maupun kendarannya melalui MyPertamina merupakan salah satu cara yang ditempuh untuk bisa meningkatkan ketepatan dalam pendistribusian BBM bersubsidi.

Yustinus Prastowo, Staf Khusus Menteri Keuangan, mengungkapkan subsidi seharusnya diberikan kepada orang yang membutuhkan bukan kepada barang sehingga lebih tepat sasaran. “Kita menuju ke sana tapi proses panjang terkait database yang mumpuni dan subsidi juga idealnya sudah bisa semakin di efisienkan. Itu bicara dalam konteks normal. Saat ini situasi tidak normal,” kata Yustinus.

Dia menuturkan hingga akhir tahun 2021 tidak pernah diramalkan perang akan terjadi antara Rusia-Ukraina, lalu tidak akan ada lonjakan harga tajam terkait komoditas termasuk minyak bumi dan dinamika kebijakan moneter di Amerika Serikat.

“Ini jadi background kenapa pemerintah dan DPR tetap mempertahankan subsidi dan kompensasi dalam rangka keselamatan rakyat itu hukum tertinggi. Terlepas diskusi dll kita fokus ke perlindungan masyarakat itulah sebabnya APBN diupayakan jadi shock absorber,” jelas Yustinus.

Untuk tahun ini alokasi subsidi dengan asumsi harga ICP US$100 per barel sebesar Rp74,9 tiliun sementara untuk kompensasi Rp324,5 triliun. Sementara yang akan dibayarkan tahun ini alokasi anggaran yang disiapkan sebesar Rp275 triliun. Ini dinamis sangat fleksibel melihat perkembangan harga global. Jika nanti harga ICP diatas US$100 per barel atau dibawah tentu dapat penyesuaian dan bisa kita efisiensikan kalau dibawah US$100 per barel. “Tapi prinsipnya pemerintah mau dukung dalam jangka pendek ini,” ungkap Yustinus. (RI)