Bachtiar Abdul Fatah.

Bachtiar Abdul Fatah.

JAKARTA – Para saksi dan ahli yang dihadirkan dalam sidang perkara proyek bioremediasi PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) dengan terdakwa Bachtiar Abdul Fatah selaku GM SLS yang berlangsung kemarin, Senin, 16 September 2013, menyatakan “kontrak bridging” yang ditandatangani terdakwa tidak bermasalah dan dan sudah sesuai dengan peraturan yang ada.

Dalam persidangan yang berlangsung di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta itu, saksi pertama yaitu Yoshi Prakasa yang merupakan karyawan CPI dan pernah mengikuti tahap pra-kualifikasi dalam kontrak bridging proyek bioremediasi, menyatakan terdakwa Bachtiar tidak terlibat dalam perencanaan kontrak.

Yoshi menerangkan, perencanaan kontrak tersebut dilakukan oleh oleh pengguna (user), di-review (diperiksa, red) oleh tim pengguna, dan terdakwa tidak memiliki peran untuk memberikan persetujuan.

“Tim pengguna atau user adalah Tim IMS, yang merupakan pelaksana proyek bioremediasi CPI. Tim ini melakukan rencana kontrak, serta melakukan review atas rencana dan ruang lingkup kontrak, yang kemudian dimintakan persetujuan kepada manager REM,” ujar Yoshi.

Setelah rencana kontrak disetujui oleh manajer REM yang merupakan atasan dari pimpinan IMS, kata Yoshi, maka rencana kontrak tersebut disampaikan kepada terdakwa selaku GM SLS.

Mengapa terdakwa Bachtiar yang menjabat GM SLS dilapori soal rencana kontrak tersebut? Karena sesuai peraturan CPI, rencana kontrak dengan besaran tertentu harus diketahui oleh General Manager (GM) yang bersangkutan.

Menurut Yoshi, kebetulan nilai kontrak bridging proyek bioremediasi tersebut, sesuai aturan harus diketahui oleh Bachtiar selaku GM SLS. Namun Bachtiar sendiri yang saat ini didudukkan sebagai terdakwa oleh jaksa dalam kasus bioremediasi, sama sekali tidak terlibat dalam tender pengadaan yang menghasilkan kontrak bridging tersebut.

Seperti terungkap di persidangan, terdakwa Bachtiar dituding oleh jaksa merugikan negara, karena menandatangani kontrak bridging proyek bioremediasi yang dikerjakan PT Sumigita Jaya selaku kontraktor bioremediasi CPI.

Kontrak itu dianggap jaksa merugikan negara, karena jaksa menganggap tidak ada pekerjaan yang dilakukan Sumigita, dengan dalih Sumigita tidak memiliki kualifikasi kontraktor yang diperlukan untuk pekerjaan itu.

“Proses pengadaan dilakukan oleh tim pengadaan, dan terdakwa tidak melakukan korespondensi dengan tim tersebut. Tim pengadaan bertanggung jawab kepada manager kontrak di grup supply chain management (SCM) bukan kepada terdakwa,” lanjut Yoshi.

Bachtiar Tak Punya Peran

Yoshi pun menerangkan, meski Bachtiar mengetahui dan menandatangani kontrak bridging itu, namun Bachtiar tidak bisa mempengaruhi keputusan Panitia Pengadaan. Bachtiar juga tidak memiliki peran dalam penentuan harga. Hanya karena besarnya nilai kontrak dan jabatannya sebagai GM SLS, Bachtiar kemudian harus ikut menandatangani kontrak bridging itu, dan akibatnya ia didudukkan jaksa sebagai salah satu terdakwa dalam kasus bioremediasi.  

“Harga bioremediasi ditentukan oleh mekanisme pasar, harga diajukan oleh PT Sumigita Jaya dalam bentuk proposal. Setelah sepakat, lantas diserahkan pada pejabat berwenang. Cost estimate (perkiraan biaya, red) pun ditentukan oleh tim IMS dan di-review panitia lelang. Selanjutnya yang berhak menyetujuinya adalah authorized office bridging contract, bukan Bachtiar,” jelas Yoshi.

Hal yang sama disampaikan oleh saksi kedua yang dihadirkan dalam persidangan itu, yakni Nugroho Eko Priamoko. Nugroho yang merupakan staff bagian hukum di CPI, mengaku terlibat sebagai panitia pengadaan yang menghasilan kontrak bridging itu.

Menurutnya, negosiasi dilakukan oleh panitia lelang dengan dibantu tenaga ahli, dalam hal ini dilakukan oleh Budi Herdijono dan Purbatin, dengan dibantu oleh Amelia Duhita sebagai wakil dari tim pengguna yaitu tim IMS. Sama sekali tidak ada peran Bachtiar Abdul Fatah disitu.

“Tidak ada intervensi terdakwa dalam proses pengadaan. Dalam PTK 007 BPMIGAS disebutkan bahwa harga perkiraan sementara atau HPS (Harga Perkiraan Sendiri) atau Owner Estimate (OE) harus disusun oleh pengguna akhir yaitu tim IMS, dan disetujui oleh pegawai berwenang,” terang Eko.

PTK 007 yang diterbitkan oleh Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BPMIGAS) adalah aturan atau prosedur, yang menjadi pedioman teknis pelaksanaan tender pengadaan di industri hulu migas. Semua tender yang dilakukan Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS) migas tidak boleh bertentangan dengan PTK 007.

Dalam proses kontrak bridging, menurut Eko, diawali dari usulan yang diberikan pengguna yaitu tim IMS kepada Contract Review Committee (CRC). Setelah disetujui, maka ditindaklanjuti oleh procurement  dengan pembentukan panitia pengadaan. “Terdakwa tidak tergabung dalam CRC,” ujar Eko.

Senada dengan Yoshi dan Eko, Subandi yang hadir sebagai ahli yang memahami PTK 007 BPMIGAS karena ikut menyusunnya sejak tahun 1994, 2009, 2011, dan sekarang ahli sedang mempersiapkan edisi selanjutnya, menjelaskan bahwa kontrak bridging proyek bioremediasi sudah sesuai dengan ketentuan.

Dalam keterangan sebelumnya, Yoshi Prakasa menjelaskan bahwa dalam kontrak proyek bioremediasi nomor 7861 OK yang selesai adalah masa kontraknya, bukan pekerjaannya. Karena CPI sudah berkomitmen dengan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) untuk melaksanakan bioremediasi hingga tuntas, maka dibuatlah kontrak bridging yang kemudian dipersoalkan Kejaksaan Agung tersebut.

“Mengingat bahwa kontrak bridging merupakan kelanjutan kontrak 7861 OK, maka SOP (Standard Operating Procedure) tidak perlu dibahas lagi. Tahap pra-kualifikasi tidak perlu lagi dilakukan dalam kontrak bridging. Hal ini juga tidak diatur dalam PTK 007,” jelas Yoshi.

Tidak Perlu Tahap Prakualifikasi

Hal yang sama disampaikan oleh Subandi sebagai ahli PTK 007 BPMIGAS. Menurut Subandi, meskipun tahap prakualifikasi ada dalam proses pengadaan, namun tahapan itu tidak perlu dilakukan lagi dalam kontrak bridging. Karena kontrak bridging muncul dalam rangka melanjutkan pekerjaan yang sebelumnya telah dikontrakkan, namun saat jangka waktu kontrak habis, pekerjaannya belum selesai.

Nilai bridging,  menurut Subandi, ditentukan oleh OE dan penawaran serta proses negosiasi dengan kontraktor yang telah selesai masa kontraknya.

“Kontrak diatas USD 5 juta harus melalui approval SKK Migas (dulu BPMIGAS), baru bisa dijalankan. Namun nominal khusus untuk kontrak bridging tidak diatur dalam PTK 007, dan kontrak bridging tidak memerlukan approval (persetujuan) khusus SKK Migas,” tegas Subandi.

“SKK Migas selalu melakukan audit untuk beberapa proyek in house (yang dikerjakan sendiri, red). Apabila terjadi pelanggaran akan mendapatkan teguran, lalu sanksi berupa tidak akan mendapatkan pembayaran cost recovery,” ungkap Subandi.

Terkait dengan kualifikasi kontraktor yang dijadikan alasan dakwaan oleh jaksa, menurut Subandi, pekerjaan mengaduk tanah, membolak-balik tanah dan memberi pupuk adalah pekerjan sipil, sehingga tidak dibutuhkan izin khusus.

Oleh karena itu, dalam keterangannya Subandi menyatakan bahwa persyaratan wajib untuk kontraktor sipil tersebut, hanya memiliki reputasi baik dan tidak di-black list oleh SKK Migas dan KKKS atau perusahaan migas yang bersangkutan.

Selepas sidang, penasehat hukum terdakwa, Maqdir Ismail menegaskan kembali bahwa kontrak bridging bioremediasi CPI, telah sesuai dengan peraturan PTK 007 BPMIGAS. Bachtiar yang didudukkan sebagai terdakwa saat ini, telah menjalankan tugasnya dengan baik mewakili CPI untuk menandatangani dokumen kontrak, sesuai otoritas yang diberikan perusahaan atas jabatannya.

“Sampai sidang hari ini, tak satu pun keterangan dan bukti yang mendukung dakwaan jaksa atas klien kami. Sebaliknya, semakin jelas keterangan dan bukti-bukti yang mendukung, bahwa klien kami tidak seharusnya dijadikan terdakwa seperti putusan praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang telah membebaskannya dari status tersangka,” pungkas Maqdir.

(Abraham Lagaligo / abrahamlagaligo@gmail.com)