JAKARTA – Presiden yang akan terpilih pada Pemilihan Presiden pada April 2019 nanti dinilai tidak akan bisa menghindar dari keharusan untuk berpihak pada pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT). Apalagi negara-negara tetangga saat ini sedang berlomba meningkatkan kapasitas pembangkit listrik EBT-nya. Satu kesalahan sangat besar jika presiden nantinya hanya akan melirik pembangkit listrik fosil.

Riza Husni, Ketua Asosiasi Pengusaha Pembangkit Listrik Tenaga Air (APPLTA), mengatakan keyakinannya terhadap pengembangan EBT. Apalagi makin lama harga listrik EBT akan semakin terjangkau dan bisa kompetitif jika disandingkan dengan listrik dari energi fosil.

“Untuk hydro hari ini dalam dua tahun terakhir sudah ada dibawah fosil. Capres harus realistis untuk energi terbarukan. Permasalahannya akan di support setengah atau seperempat atau tidak pakai hati. Sangat yakin, akan terjadi. Tinggal kecepatan seperti apa,” kata Riza dalam diskusi bersama media di Jakarta, Jumat (8/2).

Fauzi Imron, dari Komite Kamar Dagang Industri Indonesia (Kadin) bidang EBT, mengatakan dalam debat capres RI 17 Februari mendatang isu EBT pasti akan disinggung.

Dia mengatakan kalangan pelaku usaha sudah melakukan dorongan dan masukan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk jadikan isu EBT salah satu poin yang akan dibahas.

“Kami harapkan bahwa RJPMN dan sudah masuk ke KPU. Clear (jelas) renewable energy jadi wajib untuk setiap capres. Saya bismillah bisa dijalankan. Cuma kita sebagai stakeholders wajib mengingatkan kalau terpilih,” ungkap Fauzi.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essentials Service Reform (IESR), mengatakan ada beberapa hal yang membuat optimisme tetap menaungi pengembangan EBT.

Pertama, Indonesia size EBT-nya itu bermacam-macam, dari yang kecil hingga besar ada semua di Indonesia.

“Mau kembangin surya 200-300 megawatt (MW), 1 MW bisa. Itu semua karena sumbernya sudah tersedia. Ini yang buat potensi kita bisa dengan mudah, dibidik oleh investor sebenarnya,” ungkap Fabby.

Kemudian yang kedua adalah ketersediaan investor. Bagi investor domestik yang  kemampuan financial terbatas punya kesempatan untuk mengembangkan di Indonesia Timur yang cocok untuk 1 MW, 2 MW. Lalu bisa juga investor asing masuk dengan kekuatan capital ratusan juta dolar.

“Jadi ada resources dan pengembang berbagai macam,” tambah Fabby.

Ketiga adalah Indonesia punya PLN, model PLN single buyer tidak bagus, tapi dalam konteks pengembang EBT itu bagus karena ada kepastian yang beli listrik. Untuk tahap pengembangan hari ini ada yang beli itu bagus. Persoalannya adalah kalau PLN membeli, PLN bisa jual atau tidak, berlanjut atau tidak bisnisnya.

Menurut Fabby, persoalan PLN adalah membeli harga tinggi tapi jual di harga rendah atau bisa dikatakan subsidi. Padahal dibebankan oleh pemerintah tarif tidak boleh naik, margin di atur, sementara lender internasional itu haruskan neracanya bagus, rasio utang baik.

“Jadi mereka sulit balance ini, kalau ada sikap PLN ogah-ogahan ya bisa pahami. KPI dia bukan EBT, tapi tarif dasar listrik, berapa rasio utang dan rasio elektrifikasi,” paparnya.

Selanjutnya, optimisme pada pengembangan EBT adalah adanya faktor eksternal  yaitu isu climate change yang merupakan agenda global. Kembangin EBT adalah keharusan. Pembangkit listrik batu bara sekarang ini sudah banyak yang tidak mau mendanai.

Jepang yang biasa danai Indonesia PLTU di Indonesia itu sudah, sudah menyatakan tidak akan danai batu bara. MUFG, Nippon dan lain lain. Termasuk lembaga pendanaan dari Korea Selatan sudah mulai dikurangi. Dari Eropa atau Amerika Serikat tidak mungkin.

“Larinya duit maunya ke EBT. Ada tekanan finansial sebenarnya. Tren di seluruh dunia harga EBT semakin kompetitif,” ungkap Fabby.

Saat ini dan kedepannya yang dibutuhkan dalam pengembangan EBT adalah arah kebijakan pemerintah firm dan harus dengan kepastian. Kedua, regulasi yang selaras dengan tuntutan dari investasi. Ini akan berpengaruh terhadap risiko usaha.

“Pengusaha juga tidak cari untung gede, kepastian. Kalau bikin financial model (bangun pembangkit), tapi tidak tahu risk-nya bagaimana coba,” tandas Fabby.(RI)