JAKARTA – Teknologi carbon capture atau Carbon Capture Storaget Unit (CCUS) dinilai jauh lebih baik diterapkan dalam memproses gas ketimbang harus dipaksakan untuk dipasang di pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) bertenaga batu bara.

Putra Adhiguna, Analis Energi Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA), mengungkapkan saat ini, kapasitas global CCUS sekitar 40 juta ton per tahun (millon tonnes per annum/MTPA) CO2 tertangkap, kurang lebih sama dengan emisi dari PLTU batu bara berkapasitas 7GW setiap tahun. Pada lebih dari 70% fasilitas CCUS yang ada, CO2 yang ditangkap digunakan untuk meningkatkan produksi minyak dan gas bumi.

Menurut laporan IEEFA, 75% rencana proyek CCUS di Asia Tenggara bertujuan untuk menangkap CO2 berlebih dari pemrosesan gas yang terbawa ketika gas diproduksi. Keunikan CCUS yakni kemampuannya untuk dipasang (retrofitted) pada aset kelistrikan dan industri yang telah beroperasi. “Namun, ketika masyarakat tengah membayangkan pembangkit listrik berbasis batu bara atau gas dengan sedikit atau bahkan tanpa emisi, perencanaan yang ada saat ini berjalan ke arah berlainan,” kata Putra belum lama ini di Jakarta.

Sebanyak lebih dari 60% kapasitas CCUS global digunakan untuk pemrosesan gas, bukan untuk pembangkit listrik. Bahkan saat ini, hanya ada satu CCUS untuk pembangkit listrik batu bara yang beroperasi di dunia tidak satu pun untuk pembangkit listrik berbahan bakar gas.

Menurut Putra, CCUS untuk pemrosesan gas telah diimplementasikan sejak 1970-an dan menelan biaya yang jauh lebih rendah dari CCUS pembangkit listrik. “Yang tengah terjadi di Asia Tenggara lebih berupa mengejar ketertinggalan tren yang telah ada, terlebih karena banyaknya cadangan gas yang kaya CO2 di wilayah tersebut. Hal ini kemungkinan untuk mengantisipasi potensi perubahan sikap pasar global terhadap gas yang kaya CO2 ” kata dia.

Dia menilai dengan sumber pendanaan publik yang terbatas, pada akhirnya CCUS adalah perkara prioritas, mengingat tantangan mengenai biaya yang dihadapi, sebagaimana ditekankan dalam laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) April 2022.

Putra menegaskan harus berhati-hatilah dalam menggantungkan harapan pada CCUS untuk ketenagalistrikan di masa depan, karena perkembangannya mungkin tidak akan mencapai tingkat yang mudah diadopsi untuk sebagian besar negara-negara di Asia Tenggara

“Negara-negara Asia Tenggara dapat menggunakan CCUS untuk mengantisipasi perkembangan produk berbasis penangkapan karbon di masa depan. Tetapi, CCUS seharusnya tidak mengalihkan kita dari implementasi opsi lain yang lebih murah dan terbukti mengurangi emisi karbon, yaitu energi terbarukan dan integrasi jaringan listrik, yang harus tetap menjadi pusat perhatian menuju dekarbonisasi,” jelas Putra. (RI)