JAKARTA – Sebagai kontributor utama emisi GRK di sektor energi, Civil of Twenty (C20) Indonesia mendesak perusahaan listrik untuk menetapkan target yang terukur, dan peta jalan mitigasi iklim yang jelas untuk mencapai nol emisi pada tahun 2050.

Risnawati Utami, Sous-Sherpa C20 Indonesia, menekankan pentingnya kepemimpinan Indonesia untuk mempromosikan dan melibatkan semua masyarakat sipil untuk mempengaruhi komitmen dan kebijakan negara-negara anggota dalam mengadopsi prinsip-prinsip hak asasi manusia dan kerjasama internasional pengurangan risiko iklim.

“Peran kerja sama internasional melibatkan tanggung jawab pemerintah untuk bekerja sama secara internasional, untuk mendesak implementasi rencana dan strategi untuk mengurangi risiko iklim,” ujar Utami dalam webinar C20 bertajuk “Role of G20 Power Utilities in Climate Mitigation Efforts”, Senin (29/8/2022).

Dalam webinar yang diselenggarakan oleh kelompok kerja C20 untuk lingkungan, keadilan iklim, dan transisi energi (ECEWG), C20 Indonesia mengundang pakar energi dan perwakilan dari perusahaan pembangkit listrik G20 untuk membahas dan mencermati strategi jangka panjang yang diusulkan oleh beberapa perusahaan pembangkit listrik tersebut untuk menyelaraskan dengan jalur 1.5C dan mempercepat transisi energi bersih di negara masing-masing.
C20 adalah salah satu kelompok keterlibatan di bawah G20 yang mewakili aspirasi masyarakat sipil.

Mahmoud Mohieldin, COP27 High-Level Champion, mengungkapkan sekitar 800 juta orang di dunia masih hidup tanpa akses listrik. Ia mendorong tersedianya kebijakan yang memadai, implementasi yang efektif, serta lokalisasi dan pembiayaan sebagai solusi untuk mengatasi masalah energi dan mitigasi krisis iklim.

“Perjanjian Paris perlu diselaraskan dan diintegrasikan dengan kerangka SDG, jika tidak, kita akan menderita karena rekondisi yang buruk dan pendekatan parsial,” ujar Moheildin.

Ia berharap, dalam COP27 yang akan diadakan di Mesir, lebih banyak negara akan mengambil pendekatan yang lebih holistik menuju keberlanjutan yang berfokus pada gagasan dan inisiatif implementasi pada dimensi regional, lokalisasi, dan keuangan.

Fabby Tumiwa, Co-chair C20 Indonesia dan Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) menyatakan bahwa sebagai pemimpin Kepresidenan G20, Indonesia harus mengambil tindakan tegas dalam mengatur utilitas listriknya untuk menerapkan transisi energi.

“Setiap negara harus menemukan caranya sendiri untuk menghadapi transisi energi. Perusahaan utilitas menghadapi tantangan serius, seperti perubahan iklim yang berdampak pada pengoperasian sistem energi, permintaan konsumen yang menuntut lebih banyak listrik terbarukan dengan harga terjangkau, peningkatan kemampuan tenaga kerja yang berkaitan dengan energi terbarukan, hadirnya regulasi untuk membatasi emisi karbon, teknologi baru yang muncul yang menciptakan ketidakpastian dalam model bisnis utilitas saat ini, ”kata Fabby.

Fabby menambahkan bahwa utilitas perlu beradaptasi lebih cepat dihadapkan oleh waktu yang singkat dalam mengatasi krisis iklim. Pembelajaran dan berbagi keahlian di antara anggota G20 sangat penting agar utilitas dapat segera mengimplementasikan solusi mengatasi krisis iklim.

Philippe Benoit, dari Global Energy Policy Columbia University, mengatakan bahwa karena BUMN di sektor energi (Stated-owned Power Companies/SPC) memainkan peran penting dalam mengurangi emisi GRK, pemerintah perlu mereformasinya dengan mempengaruhi BUMN di sektor energi dengan opsi kebijakan dan intervensi yang ditargetkan secara langsung dan tidak langsung.

“Pemerintah dapat mendukung aksi rendah karbon BUMN energi dengan menyediakan sumber daya untuk BUMN energi dan melakukan advokasi sebagai bagian dari tekanan eksternal. Namun, yang paling mudah bagi pemerintah yang berkomitmen pada kebijakan iklim adalah menggunakan kekuatan pemegang saham dalam perusahaan pemerintah tersebut. Misalnya, arahan formal melalui keputusan dan instruksi Dewan, pengangkatan dan pemberhentian manajemen senior, ”kata Benoit.

Dia menambahkan bahwa reformasinya lain dari BUMN energi seperti sumber daya untuk tindakan rendah karbon BUMN energi dengan arahan pemerintah yang jelas dan konsisten, pembiayaan, infrastruktur pelengkap, dukungan administratif dan pengembangan kapasitas untuk BUMN energi.

“BUMN energi perlu berpartisipasi dalam transisi rendah karbon, sebagai mitra, bukan musuh, dan sebagai enabler, bukan hanya produsen. Memberdayakan aksi rendah karbon BUMN energi adalah kunci untuk mencapai tujuan iklim nasional dan global,” katanya.

Joojin Kim, Managing Director Solutions for Our Climate (SFOC), menjelaskan pandangan G20 untuk mengakomodasi lebih banyak energi terbarukan dalam sistem tenaga listrik. Dia menggarisbawahi urgensi peningkatan energi terbarukan di sektor ketenagalistrikan melalui penyusunan kerangka tata kelola.

Menurutnya, saat ini kita berada dalam momen penting dan utilitas negara di G20 harus menunjukkan kepemimpinan untuk menyatukan komunitas internasional di sekitar solusi untuk krisis iklim. Banyak negara G20, terutama di Asia, mengalami pengurangan energi terbarukan yang signifikan. Di tengah situasi energi global saat ini, pembatasan menimbulkan ketidakpastian yang berlanjut serta kerugian ekonomi.
“Untuk mengatasi tantangan seperti itu, negara-negara harus membentuk kerangka tata kelola yang akan memastikan akses yang adil dan kompensasi untuk teknologi yang berkontribusi pada fleksibilitas jaringan untuk mengurangi pengeluaran bahan bakar fosil dan meningkatkan energi terbarukan dalam bauran listrik,” ujar Joojin.

Evy Haryadi, Direktur Perencanaan PT PLN (Persero), menyampaikan bahwa untuk mencapai target net-zero Indonesia pada 2060 dengan melakukan pensiun dini PLTU batubara dan mengembangkan energi terbarukan membutuhkan investasi yang sangat besar.
Indonesia membutuhkan investasi sekitar US$600 miliar untuk netralitas karbon pada tahun 2060.

“Kami membutuhkan dukungan dana dari internasional. Namun,ternyata untuk membiayai transisi energi melalui inisiatif pensiun dini PLTU, belum ada skema pembiayaannya di pasar, yang ada hanyalah pembiayaan hijau. Dengan demikian, pembiayaan transisi masih membutuhkan beberapa kerangka regulasi, terutama dalam pembiayaan internasional,” ujar Evy Haryadi.(RA)