JAKARTA – Direksi baru PT Bukit Asam Tbk (PTBA) akan menggenjot proyek gasifikasi batu bara menjadi dimethyl ether (DME) sebagai proyek prioritas yang harus bisa diimplementasikan. Suryo Eko Hadianto, Direktur Utama Bukit Asam, menegaskan proyek gasifikasi batu bara yang dikerjakan Bukit Asam adalah harga mati yang harus bisa terwujud. Bukit Asam berkomitmen untuk mempercepat pelaksanaan proyek atau minimal bisa selesai sesuai target. Pasalnya produk DME sangat dinantikan untuk mengurangi ketergantungan terhadap impor LPG.

“Pertama DME harus segera eksekusi. Kami akan percepat proyek gasifikasi,” kata Suryo Eko, Senin (5/4).

Menurut Suryo, untuk mewujudkan proyek tersebut diperlukan modal tidak sedikit. Bukit Asam membutuhkan modal yang cukup besar untuk merealisasikan proyek tersebut. Guna mencari dana yang tidak sedikit tersebut, perusahaan akan mendongkrak kapasitas produksi eksisting.

“Mengembangkan hilirisasi perlu modal yang besar. Untuk segera create dana besar, kami akan dongkrak kapasitas eksisting yang ada menuju Bukit Asam emas 50 juta ton. Supaya ini bisa tercapai sehingga ada dana cukup besar sehingga tidak ada kendala terkait pendanaan,” ungkap Suryo.

Bukit Asam, PT Pertamina (Persero), dan Air Products optimistis proyek pengembangan DME batu bara bisa berjalan sesuai rencana untuk mulai beroperasi pada kuartal II 2024. Namun belakangan proyek yang masuk dalam strategis nasional itu diproyeksikan baru bisa rampung pada 2025. Perjanjian kerja sama  antara Bukit Asam, Pertamina, dan Air Products Chemical Inc juga sudah ditandatangani pada 11 Februari 2021.

Kebutuhan biaya pembangunan pabrik hilirisasi nanti tidak akan dibebankan kepada Bukit Asam maupun Pertamina. Air Product nanti yang akan menanggung biaya investasi sebesar US$2,4 miliar.

Manajemen Bukit Asam sebelumnya berharap agar pemerintah memberikan subsidi untuk proyek gasifikasi batu bara menjadi DME. Bantuan ini dapat berasal dari dana alokasi subsidi LPG. Kehadiran produk hilirisasi batu bara itu nantinya dapat menggantikan LPG yang 70% masih produk impor.(RI)