JAKARTA – Setelah hampir tiga bulan berlalu baru sekarang diketahui penyebab harga BBM tetap tinggi, meskipun harga minyak dunia anjlok hingga di bawah US$20 per barel. Meski sudah berlalu lama publik bertanya-tanya kenapa Pertamina tidak juga menurunkan harga BBM kala itu.

Mulyanto, anggota Komisi VII DPR, mengatakan salah satu penyebab tidak turunnya BBM karena Pertamina tidak membeli minyak mentah ke produsen minyak dunia saat harga minyak sedang turun, melainkan ke perusahaan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) yang beroperasi di tanah air dengan harga yang berbeda dengan harga di pasar internasional.

Pertamina berdalih keputusan itu diambil berdasarkan Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 42 Tahun 2018 tentang Prioritas Pemanfaatan Minyak Bumi untuk Pemenuhan Kebutuhan Dalam Negeri.

Dalam Permen tersebut diatur kewajiban Pertamina untuk membeli BBM mentah dalam negeri. Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2), Permen menyebut (1) PT Pertamina (Persero) dan Badan Usaha Pemegang Izin Usaha Pengolahan Minyak Bumi wajib mengutamakan pasokan Minyak Bumi yang berasal dari dalam negeri.

Sementara pada ayat (2)  dijelaskan PT Pertamina (Persero) dan Badan Usaha Pemegang Izin Usaha Pengolahan Minyak Bumi wajib mencari pasokan Minyak Bumi yang berasal dari Kontraktor dalam negeri sebelum merencanakan impor Minyak Bumi.

Menurut Mulyanto, Pertamina terlalu berlebihan menafsirkan isi ketentuan Permen tersebut. Meskipun dalam Permen diamanatkan pembelian minyak mentah dari perusahaan dalam negeri bukan berarti Pertamina tidak dapat menegosiasikan sesuai mekanisme bisnis, terkait jumlah dan harga pembelian. Sebab selisih harga minyak dunia saat itu sangat besar.

Apalagi dalam Pasal 4 Permen ESDM tersebut juga diatur ketentuan soal negosiasi tersebut.

Menurut Mulyanto, Permen tersebut dibuat untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat, bukan alat mendapat keuntungan bagi kelompok tertentu.

“Padahal kalau Pertamina membeli BBM secara global, yang harganya tengah merosot tajam, maka Pertamina dapat memperoleh marjin yang jauh lebih baik. Bahkan harga BBM domestik juga dapat diturunkan mengikuti perkembangan harga BBM global,” kata Mulyanto, Selasa (21/9).

Kalau hal itu bisa dilakukan maka akan menguntungkan masyarakat dari sisi harga selain itu Pertamina juga dapat menekan kerugian mereka di semester satu tahun 2020 yang mencapai Rp11 triliun.

Mulyanto menyayangkan sikap Pertamina yang terlalu kaku memahami Permen No. 42/2018. Ia menduga ada pihak tertentu yang memanfaatkan celah hukum ini untuk mendapatkan keuntungan.

Untuk itu BPK dan KPK diminta turun tangan memeriksa Pertamina agar diketahui aliran transaksi pembelian minyak tersebut.

Menurut Mulyanto, harus diketahui minyak mentah domestik yang wajib dibeli oleh Pertamina dengan harga tinggi tersebut apakah merupakan BBM yang merupakan bagian pemerintah dari kerjasama dengan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) Migas atau bukan. Jika minyak yang dimaksud adalah minyak bagian dari Pemerintah tidak perlu diambil pusing karena uang Pertamina tersebut tetap akan mengalir ke dalam kas Negara.

“Namun bila Pertamina wajib membeli minyak mentah domestik milik swasta maka ini patut dipertanyakan,” tegas Mulyanto.

Dia menilai Permen ESDM tersebut memang mewajibkan Pertamina untuk membeli BBM milik KKKS swasta. “Ini sama saja meminta rakyat “saweran” untuk mensubsidi KKKS agar tidak ambruk,” kata dia.

Ia mendesak BPK dan KPK untuk melaksanakan audit secara khusus terhadap masalah ini, karena mengalirnya uang rakyat atau uang BUMN secara merugikan jelas tidak sesuai dengan ketentuan dalam pengelolaan keuangan Negara.

“Kalau kita dalami dengan seksama, maka terkesan mengada-ada bila entitas bisnis sebesar BUMN Pertamina salah tafsir terhadap Permen ESDM No. 42/2018 tersebut di atas. Mereka tentu dapat menanyakan hal tersebut secara detil kepada pemerintah,” kata dia.

Mulyanto mengkhawatirkan yang terjadi di lapangan memang adanya tekanan yang mewajibkan Pertamina untuk membeli BBM mentah domestik bagian KKKS swasta tersebut.

“Karenanya wajar saja kalau keuangan Pertamina berdarah-darah dan masyarakat tidak dapat memperoleh bbm dengan harga murah yang disesuaikan dengan harga bbm global yang sedang anjlok. Bisa jadi ini akan masuk dalam kasus abuse of power, yang mengakibatkan kerugian Negara. Kalau ini terjadi, maka saya mendesak KPK berkepentingan untuk pro-aktif menyelidiki,” kata Mulyanto.(RI)