JAKARTA – Kepemimpinan sektor energi dari pemerintah akan sangat menentukan arah pengembangan energi nasional, termasuk panas bumi. Siapapun yang akan menduduki kursi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) selanjutnya harus bisa lebih efektif dalam menerapkan kebijakan yang bisa mendorong daya saing.

Hilmi Panigoro, Direktur Utama PT Medco Energi Internasional Tbk, mengatakan negara tidak bisa hanya mengandalkan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk mengembangkan pamas bumi. Keterlibatan perusahaan swasta justru menjadi kunci keberlanjutan pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT).

“Kuncinya adalah kompetisi, jika kamu memberikan private berkompetisi, dan kompetisi itu akan membuat efisiensi dan efektivitas, perusahan nasional juga bagus tapi juga ada private sector. Berapa banyak sih sekarang BUMN yang garap EBT?,” kata Hilmi di Jakarta, Rabu (14/8).

Produsen listrik swasta (Independent Power Producer/IPP) dianggap bisa menjadi motor penggerak dalam upaya pemerintah mengejar target pengembangan kapasitas panas bumi. Hingga kini kapasitas terpasang pembangkit listrik panas bumi baru mencapai 1.948,5 Megawatt (MW). Setengahnya merupakan kontribusi dari IPP dan sisanya dikelola PT Pertamina Geothermal Energy (PGE), PT PLN Gas dan Geothermal serta PT Geo Dipa Energi. Padahal Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) mengamanatkan kapasitas panas bumi harus mencapai 7.200 MW pada 2025.  “Kalau masih seperti sekarang sih tidak akan tercapai target itu,” tegas Hilmi.

PT Medco Power Indonesia, anak usaha Medco melalui Sarulla Operation Ltd saat ini mengelola PLTP Sarulla berkapasitas mencapai 330 MW. Medco akan menjadikan bisnis EBT menjadi bisnis utama sektor energi suatu saat nanti seiring dengan ekspansi di Sarulla hingga 1.000 MW. Namun kondisi iklim investasi dan kebijakan yang ada sekarang membuat ekspansi urung dilakukan.

“Untuk ekspansi itu besar sekali kalau tarif tidak menarik bagaimana kami mau ekspansi. Ekpansi itu tarifnya besar US$5 juta per MW jadi kalau tarif terlalu rendah berat kami investasi,” kata Hilmi.

Menurut Hilmi, penetapan tarif EBT terutama panas bumi sekarang tidak adil bagi investor. Ia mencontohkan, harga jual uap dari PLTP Sarulla US$6,78 sent per kWh, sementara di Sumatera Utara listrik dibeli PLN US$10,2 sen per kWh. Artinya geothermal dihargai 60% dari harga listrik.

“Tarif itu relatif makanya saya bilang return. Ada resources yang besar yang risiko rendah tarif tinggi, ada yang kecil-kecil risiko tinggi kami minta tinggi (tarif),” kata Hilmi.(RI)