RASA khawatir tampaknya masih menghantui Presiden Joko Widodo. Tak heran bila Presiden kembali memperingatkan para pembantunya. Kepala Negara meminta menterinya bekerja keras menekan defisit neraca perdagangan dan defisit transaksi berjalan. Jokowi berharap para menteri melakukan terobosan dalam mengurangi impor bahan bakar minyak (BBM) yang menjadi penyumbang defisit terbesar. “Karena itu, pembangunan kilang harus menjadi prioritas dan lifting produksi minyak di dalam negeri juga harus kita tingkatkan,” ujar Jokowi saat rapat terbatas tentang penguatan neraca perdagangan di kantor Presiden, Jakarta, Senin (11 November 2019).

Masih tingginya impor minyak mentah—kendati impor produk BBM berkurang—tampaknya jadi persoalan klasik. Hingga saat ini, Indonesia tak bisa lepas dari ketergantungan impor minyak. Volume impor minyak dan gas Indonesia terus mengalami tren naik seiring meningkatnya permintaan energi masyarakat. Pertumbuhan jumlah penduduk serta peningkatan jumlah kendaraan mendorong kenaikan kebutuhan migas domestik.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), sepanjang periode 2009-2019 volume impor migas nasional telah meningkat 36,4% menjadi 49,1 juta ton atau rata-rata 3,6% per tahun. Impor gas mencatat kenaikan tertinggi, yakni lebih dari 471% menjadi 5,5 juta ton dari 970 ribu ton pada 2009. Kebijakan konversi penggunaan minyak tanah ke gas menjadi pemicunya. Adapun impor minyak mentah periode 2009-2018 meningkat 10,64% menjadi 16,9 juta ton. Demikian pula impor hasil minyak/minyak olahan naik 35% menjadi 26,6 juta ton.

Benar bahwa Pertamina berhasil menekan impor minyak mentah sebanyak 35% jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang mencapai 339.000 barrel per hari (MBPD). Hal ini disebabkan kilang Pertamina mendapatkan pasokan minyak mentah dan kondensat dari Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) mencapai 123.600 barrel minyak mentah per hari (MBPD) dari 39 KKKS.

Fajriyah Usman, Vice President Corporate Communication Pertamina, mengatakan penyerapan ini berdampak pada penurunan impor minyak mentah perusahaan. Seperti terlihat pada periode Januari-Juni 2019, impor minyak mentah Pertamina tercatat sebesar 220 MBPD. “Dengan volume impor minyak mentah sebanyak 220 MBPD, komposisi impor dibandingkan lifting domestik yang sebesar 681 MBPD mencapai sekitar 25% banding 75%. Kondisi ini membaik dibandingkan 2018, saat itu perbandingannya 37% (339 MBPD) impor dan 63% (571 MBPD) domestik,” katanya.

Selain menekan impor minyak mentah, Pertamina juga berhasil menekan impor produk BBM seperti avtur dan solar. Dengan inovasi untuk optimasi kilang, sejak Mei 2019 Pertamina sudah bisa memenuhi kebutuhan avtur dan solar dalam negeri dari produksi kilang-kilang sendiri. “Ini tentunya menjadi prestasi untuk mendorong pemenuhan kebutuhan dalam negeri dari sumber daya yang kita miliki,” ujarnya.

Kilang Terintegrasi

Kendati bisa mengurangi impor produk BBM, senyatanya Indonesia belum siap sepenuhnya untuk mandiri energi. Kondisi ini tentu saja sangat membahayakan ketahanan energi nasional. Dengan demikian, harapan Presiden Jokowi agar pengembangan dan optimalisasi kilang menjadi perhatian adalah sebuah keniscayaan. Apalagi kilang yang dikembangkan menghasilkan produk turunan berupa petrokimia.

Fajar Budiyono, Sekretaris Jenderal Asosiasi Industri Olefin, Aromatik, dan Plastik Indonesia (Inaplas), mengatakan pengembangan industri petrokimia nasional sangat mendesak demi mengerek kinerja. Hal itu perlu ditopang dengan pasokan bahan baku yang terjaga. Dari 5,6 juta ton kebutuhan bahan baku petrokimia per tahun, sekitar 55% berasal dari impor. “Sedangkan barang jadi petrokimia ada 800.000 ton yang juga masih impor,” ujarnya.

Indonesia pernah menjadi negara dengan kapasitas produksi industri petrokimia terbesar di Asia Tenggara pada periode 1985-1998. Namun, kondisi tersebut saat ini berbalik sebab Indonesia menjadi negara tujuan impor dari negara Asia Tenggara. Pasalnya, tidak ada lagi investasi baru di sektor petrokimia. Karena itu, negara harus hadir dalam penguatan struktur industri petrokimia agar bisa kembali menjadi yang terbesar di Asia Tenggara. “Industri petrokimia merupakan tulang punggung kemajuan ekonomi negara, setelah industri logam dan industri pangan,” ujarnya.

Menko Perekonomian Airlangga Hartarto  dalam beberapa kali kesempatan juga mengakui, berdasarkan peta jalan Making Indonesia 4.0, industri kimia merupakan satu dari lima sektor yang akan menjadi pionir dalam penerapan industri 4.0 di Tanah Air. Karena itu, industri kimia mendapat prioritas pengembangan agar lebih produktif, inovatif, dan kompetitif di kancah global.

“Contohnya, industri petrokimia, sektor hulu yang berperan strategis dalam menunjang berbagai kebutuhan produksi di sejumlah manufaktur hilir,” ujarnya. Produk yang dihasilkan oleh industri petrokimia, antara lain digunakan sebagai bahan baku di industri plastik, tekstil, cat, kosmetik dan farmasi.

Lantaran itu, benar apa yang dikatakan Achmad Widjaja, Wakil Komite Tetap Indstri Hulu dan Petromikia Kadin Indonesia, bahwa pengembangan dan optimalisasi kilang, khususnya kilang Pertamina, tak boleh lagi molor. Apalagi, wacana pembangunan kilang terintegrasi dengan produk petrokimia itu sudah lama digaungkan. Namun, realisasinya masih jauh panggang dari api. “Kita itu terlambat kembangkan kilang, selain karena intervensi pemerintah, partai politik, dan investor asing yang mengganggu. Impor terus menerus bukan pilihan yang bijak,” ujar Widjaja kepada Dunia-Energi di Jakarta, Kamis (14/11).

Padahal, menurut Widjaja, Pertamina sudah diberi amanah mempersiapkan kemandirian energi dengan mengembangkan proyek strategis nasional berupa pembangunan (Grass Root Refinery/GRR) dan pengembangan (Refinery Development Master Plan/RDMP) kilang. “Regulasi pendukung juga sudah disiapkan sejak beberapa tahun lalu. Pengembangan kilang terintegrasi itu punya multiplier effects,” ujarnya.

Beberapa beleid terkait pengembangan kilang sudah muncul sejak empat tahun lalu. Ini dimulai dari Peraturan Presiden Nomor 145 Tahun 2015 mengenai Pelaksanaan Pembangunan dan Pengembangan Kilang Minyak di Dalam Negeri. Kemudian Perpres 56 Tahun 2018 tentang Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional, Keputusan Menteri ESDM No 1001 Tahun 2016 mengenai Pengembangan dan Pengoperasian Kilang Minyak di Kota Balikpapan. Pun Kepmen ESDM pada 2016 untuk pengembangan dan pengoperasian kilang minyak di Kota Tuban, Cilacap, dan Bontang. “Toh, seperangkat regulasi itu tak juga membuat pengembangan kilang yang terintegrasi antara produk BBM dan petrokimia meluncur cepat,” jelas Widjaja.

Menurut analisis Dunia-Energi, sedikitnya ada empat tantangan yang dihadapi Pertamina mengembangkan kilang terintegrasi dalam proyek GRR dan RDMP. Pertama, dari sisi pasokan feedstock. Kondisi saat ini, sebagian besar minyak mentah impor dan domestik, akan menjadi sour. Padahal kilang Pertamina dirancang untuk mengolah sweet crude. Akibatnya, kilang tak mampu mengolah sour crude, selain sour crude juga sulit didapat dan harganya mahal. Hal ini menyebabkan margin akan terus turun. Tindakan yang perlu dilakukan Pertamina adalah memodifikasi kilang agar bisa mengolah sour crude.

Kedua, impor bahan bakar dan petrokimia. Saat ini bahan bakar domestik 40% impor dan 40% petrokimia impor. Di sisi lain, Asia Tenggara saat ini dalam kondisi defisit bahan bakar. Hal ini sangat mengkhawatirkan dan mengancam ketahanan energi nasional. Apalagi importir bahan bakar memiliki posisi tawar dalam harga dan ketersediaan. Opsi yang bisa dilakukan manajemen Pertamina adalah meningkatkan kapasitas produksi domestik untuk bahan baku produk petrokimia.

Ketiga, daya saing kilang. Kondisi saat ini, sebagian besar kilang menggunakan teknologi lama. Apalagi kompleksitas kilang lebih rendah dibandingkan pesaing internasional. Hal ini mengakibatkan kinerja finansial kurang optimal. Untungnya, Pertamina merespons masalah daya saing ini lewat menggunakan teknologi dengan kompleksitas tinggi untuk menaikkan profit.

Keempat, spesifikasi bahan bakar. Kualitas produk kilang Pertamina harus diakui masih rendah, yaitu menghasilkan produk Euro 2. Di sisi lain, bahan bakar domestik dituntut berstandar Euro 4. Kondisi ini sangat mengkhawatirkan Pertamina karena perusahaan berpotensi mendapatkan konsekuensi dari pemerintah jika belum memenuhi standar Euro 4. Karena itu perlu meningkatkan spesifikasi bahan bakar dari Euro 2 menjadi Euro 4. Dengan kilang yang ada, Pertamina akan kesulitan menemukan sumber minyak mentah untuk produksi, selain memberikan margin rendah.

Kalkulasi 

Pertamina sejatinya punya kalkulasi dari hasil implementasi 4 RDMP dan 2 GRR. Hasil yang diharapkan perusahaan dari rencana jangka panjang sepertinya adalah peningkatan kapasitas pemrosesan minyak mentah lebih dari 2 juta barel, kualitas minyak mentah berambah 2%, yield produk valuable bertambah 95%, produksi bahan bakar 1700 KBPD, kualitas produk bahan bakar Euro 5, dan produksi petrokimia 6.600 KTPA.

Dengan demikian, empat proyek RDMP dan 2 GRR Pertamina akan memberikan dampak positif untuk Indonesia. Dari sisi ketahanan energi, keberadaan kilang terintegrasi akan meningkatkan ketahanan dan kemandirian energi nasional melalui kenaikan produksi BBM dalam negeri. Produksi gasoline dari 225 KBPD saat ini dan diproyeksikan naik menjadi 725 KBPD melalui RDMP dan GRR atau naik 213%. Produksi diesel saat ini 361 KBPD akan naik 140% menjadi 866 melalui RDMP dan GRR. Avtur juga bertambah dari 63 KBPD saat ini akan naik 118% menjadi 138 KBPD.

Dari sisi keuangan, 4 RDMP dan 2 GRR akan menghasilkan cadangan devisa dan penerimaan pajak untuk Indonesia. Menurut kalkulasi Pertamina, pada 2030, dampak RDMP sekitar US$ 6 miliar per tahun dan GRR senilai US$ 6 miliar per tahun sehingga total US$ 12 miliar. Adapun dampak terhadap penerimaan pajak nilai bersih 2016 selama 30 tahun beroperasi adalah total pajak US$ 128 miliar. Ini terdiri atas insentif US$ 19 miliar dan tax revenue US$ 109 miliar.

Proyek GRR dan RDMP juga punya dampak berganda, salah satunya menciptakan lebih banyak pekerjaan. Peluang pekerjaan langsung di Pertamina melibatkan sekitar 170 rbu pekerja, terdiri atas 150 ribu di proyek dan 20 ribu operasi. Sementara itu pekerjaan tidak langsung (di luar Pertamina) ada 102 ribu orang, terdiri atas 96 ribu pekerja nasional dan 6 ibu pekerja lokal.

Tidak hanya itu, keberadaan proyek ini juga bakal meningkatkan produksi petrokimia untuk mendukung pengembangan industri nasional. Produksi polyethylene akan naikdari 1678 KTPA menjadi 4.861 KTPA, popeylene/polypropylene naik 943% dari 310 KTPA menjadi 3.240 KTPA. Paraxylene dan Benzen naik 546% dari 302 KTPA menjadi 1.951 KTPA.

Ali Achmudi Achyak, pengamat energi dari Universitas Indonesia, setuju dengan langkah stategis Pertamina untuk mengubah target. Saat produksi minyak dan gas turun, Pertamina terlalu asik bermain di hilir, yaitu distribusi BBM. “Jualan BBM itu nyari duitnya gampang. Untuk skala besar, Pertamina jangan lagi main di situ. Dulu, Pertamina itu kuat di sektor mid ada kilang Balongan, Cilacap, dan Balikpapan, tapi kini masa jaya itu sudah berubah,” ujarnya kepada Dunia-Energi.

Menurut Ali, Pertamina kudu mencontoh Petronas Malaysia. Sejak beberapa tahun lalu, Petronas menggarap sektor midstream dengan membangun kilang-kilang besar. Petronas membangun industri petrokimia dari gas yang diimpor dan produksi nilainya bisa 10 kali lipat dibandingkan jual gas mentah. “Di situ strategisnya. Bisnis petrokimia akan menguntungkan Pertamina nantinya” ujar mahasiswa program doktor Fakultas Teknik UI ini.

Ali menyebutkan, pengembangan kilang terintegrasi adalah sebuah keharusan demi masa depan Pertamina. Apalagi produksi gas ke depan akan lebih banyak daripada minyak. “Jika Pertamina terus bermain di kilang minyak akan ketinggalan. Jadi, yang dikembangkan adalah kilang minyak dan gas secara terintegrasi sehingga menghasilkan produk pengolahan gas, yaitu petrokimia,” katanya.

Pertamina tak perlu meragukan pasar petrokimia. Apalagi hampir semua kebutuhan manusia pasti ada unsur petrokimianya. Contohnya alat-alat terbuat dari plastik, aksesoris kosmetik, dan kendaraan bermotor. Ditambah lagi produk petrokimia berilai tinggi. Era kayu berakhir, era besi baja semakin menurun dalam konteks untuk properti. “Sekarang era petrokimia aksesoris rumah,” ujarnya.

Menurut Ali, ada trickle down effect dari pengembangan kilang terintegrasi minyak dan gas yang menghasilkan produk turunan. Begitu gas dikoversi jadi bahan baku petrokimia menjadi bahan setengah jadi atau jadi. Di sana akan muncul industri-industri turunan yang padat karya seperti industri pengolahan plastik dan elektronika.

Beringsut atau move on ke pengembangan kilang terintegrasi adalah strategi dan pilihan benar bagi Pertamina. Selain menjaga ketahanan energi, pengembangan kilang terintegrasi adalah bagian dari strategi nasional agar Indonesia mandiri energi pada satu saat nanti. (dudi rahman)