PENCARIAN cadangan migas di tanah air terus berlanjut bahkan digenjot pada tahun ini. Untuk tahun ini masifnya kegiatan eksplorasi ditunjukkan dengan mencari cadangan di jalur gunung berapi.

Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas) akan melakukan kegiatan Vibroseis Subvulkanik sepanjang 1.000 Kilometer (KM) atau pemetaan wilayah yang dilalui oleh jalur vulkanis pegunungan berapi. Wilayah gunung berapi ini disinyalir memiliki kandungan hidrokarbon yang tidak sedikit.

Taslim Z Yunus, Sekretaris SKK Migas mengungkapkan kegiatan pencarian cadangan migas di bawah jalur gunung api ini merupakan bagian dari strategi yang diinisiasi SKK Migas dalam rangka menuju target produksi minyak sebesar satu juta barel per hari (bph) serta gas sebanyak 12 ribu juta kaki kubik per hari (MMscfd).

“Kita lakukan Vibroseis Vulkanik, saat ini sedang sidang UKL-UPL dengan estimasi kick off Juni 2021,” kata Taslim dalam webinar Upaya Industri Hulu Migas Menggapai 1 Juta BOPD & 12 BSCFD, Rabu (28/4).

Menurut Taslim, kegiatan pencarian cadangan di jalur gunung api ini bukanlah yang pertama kali dilakukan. Hanya saja kali ini lebih istimewa karena cakupannya jauh lebih luas dan dari sisi itu inilah kali pertama dilakukan pencarian besar-besaran kandungan hidrokarbon di bawah jalur gunung api. SKK Migas akan melakukan pencarian potensi dari ujung barat hingga ke wilayah timur pulau Jawa yang memang juga menjadi jalur gunung api di tanah air.

“Ini bukan yang pertama, dulu pernah di Jawa Barat di Jatibarang, tapi kecil kalau sekarang cakupannya lebih luas kita akan sisir dari jawa bagian barat sampai ke timur,” ungkap Taslim.

Adapun strategi eksplorasi lain yang diinisiasi antara lain akan dilakukannya Pseudo 3D – Repro 270 ribu km2 yang saat ini dalam proses pengadaan. Jika dilihat dari historisnya maka seismik 3D ini menurut Taslim boleh jadi merupakan salah satu kegiatan seismik 3D terbesar yang dilakukan di Indonesia. Selanjutnya adalah Full Tensor Gradiometri Gravity (FTG) sepanjang 106 ribu km yang dilakukan di akhir bulan April ini.

Terobosan pencarian cadangan migas di Indonesia sebenarnya sudah dimulai sejak 2019 lalu. Kembali menggeliatnya kegiatan eksplorasi migas di Indonesia setelah mati suri hampir satu dekade terakhir yang diakibatkan berbagai kondisi negatif industri migas nasional maupun internasional ditandai dengan dilakukannya penjelajahan di lautan sepanjang 30 ribu kilometer (km) oleh kapal survei seismik Elsa Regent milik PT Elnusa Tbk, anak usaha PT Pertamina (Persero)

Elsa Regent telah berlayar memburu cadangan migas baru disepanjang lautan mulai dari perairan Bangka di bagian barat hingga ke perairan Papua di ujung timur Indonesia. Penjelajahan pencarian cadangan migas berskala besar ini merupakan eksplorasi area terbuka sebagai bagian dari Komitmen Kerja Pasti (KKP) Pertamina Hulu Energi (PHE) Jambi Merang, operator pengelola blok Jambi Merang. Pencarian ini juga disebut-sebut sebagai kegiatan eksplorasi terbesar di kawasan Asia Pasifik dalam kurun waktu 10 tahun terakhir.

Pertamina sudah hampir selesai melakukan reprocessing data 2D seismik ini untuk selanjutnya akan di open atau dibuka untuk publik data yang dihasilkan pada November mendatang. Belakangan diketahui bahwa Menteri ESDM berkeinginan agae data tersebut bisa dibuka pada Juli nanti.

Widyawan Prawiraatmadja, Pengamat Energi yang juga Gubernur Indonesia untuk OPEC (2015-2016) mengungkapkan bahwa eksplorasi jadi harga mati yang harus dilakukan jika memang mau ada peningkatan produksi signifikan di tahun-tahun mendatang.

Hanya saja untuk kondisi sekarang ini sangat sedikit uang yang beredar ditujukan untuk kegiatan eksplorasi. Kita bisa melihat bagaimana perusahaan-perusahaan migas raksasa menahan investasi dan lebih selektif dalam menetapkan wilayah mana yang akan diinvestasikan lebih banyak.

Untuk itu diperlukan strategi khusus untuk menarik pihak-pihak yang punya kemampuan eksplorasi dalam hal ini pendanaan maupun teknologi serta yang bisa menanggung risiko tinggi dalam eksplorasi tersebut. Apalagi untuk ke depan eksplorasi di Indonesia sudah bergerak ke arah timur bahkan hingga wilayah pedalaman yang tentu belum tersedia infrastruktur memadai sehingga membuat biaya eksplorasi akan membengkak.

Indonesia harus terlihat menarik diantara negara-negara lainnya agar para pelaku usaha yang memiliki daya kemampuan tersebut mau gelontorkan dananya dalam pencarian cadangan migas di tanah air. Untuk itu menurut Widyawan ada beberapa faktor penentu mau tidaknya investor berinvestasi pertama adalah adanya prospek sumber daya.

“Kemudian termsnya atau syarat dan ketentuan seperti apa. Apakah sudah sesuai dengan risk and reward?” ujar pria yang akrab disapa Wawan itu.

Selain itu dia juga mengingatkan perlunya konsistensi kebijakan yang sudah pasti menentukan iklim investasi dan kemudahan berusaha. “Perbandingan dengan negara lain, Indonesia berkompetisi untuk menarik investasi,” ungkap Wawan.

Sumber : SKK Migas

Dwi Soetjipto, Kepala SKK Migas, menyatakan optimisme untuk mencapai target harus tetap dijaga. Menurutnya optimisme tersebut bisa dipertahankan lantaran dari data yang ada Indonesia memiliki 128 basin atau cekungan dimana yang berproduksi baru sebanyak 20 cekungan. Sisanya sebanyak 27 cekungan telah ditemukan adanya potensi hidrokarbon tapi belum diproduksikan. Menurutnya alasan keekonomian lapangan jadi pemicu belum adanya kegiatan di 27 cekungan itu. Lalu masih ada 68 cekungan yang masih belum tersentuh atau belum dibuktikan keberadaan hidrokarbonnya.

“Hal ini menunjukkan potensi besar namun perlu disadari bahwa industri migas industri yang perlu pembiayaan besar, teknologi tinggi serta risiko tinggi dan persaiangan antar negara yang makin meningkat,” kata Dwi.

Untuk mendukung misi tersebut kata Dwi, para pelaku industri hulu migas telah menyepakati Rencana Strategis (Renstra) dengan tiga target utama produksi satu juta barel minyak, dan gas 12 ribu MMscfd pada tahun 2030, meningkatkan multiplier effect serta memastikan keberlanjutan lingkungan. Jumlah investasi untuk mendukung pencapaian target tersebut juga tidak main-main yakni mencapai US$187 miliar.

Selanjutnya untuk mencapai target pertama tersebut ada empat strategi yang diramu oleh para pemangku kepentingan di industri hulu migas. Strategi pertama adalah optimalisasi produksi dari lapangan eksisting, percepatan dari reserve menjadi siap untuk diproduksi (R to P), percepatan chemical Enhanced Oil Recovery (EOR) dan eksplorasi untuk penemuan cadangan besar atau giant discovery.

“Ini telah disosialisasikan dan telah disepakati oleh seluruh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) yang beroperasi di Indonesia,” ungkap Dwi.

Sementara itu, menurut Taslim setelah menjalankan strategi pertama dan kedua memang belum akan terlihat adanya peningkatan produksi maka dari itu menurut dia jangan dulu kaget di dua atau tiga tahun ke depan peningkatan produksi tidak signifikan karena fungsi dari dua strategi ini adalah untuk menahan laju penurunan produksi secara ilmiah (natural decline) lapangan-lapangan migas tanah air yang memang sudah berumur tua.

“Optimasi lapangan eksisting ini belum bisa tingkatkan produksi, baru bisa kurangi laju penurunan (produksi). R to P kelihatannya belum tingkatkan produksi yang signifikan. Jadi kita baru tingkatkan produksi setelah EOR jalan dan eksplorasi. Kalau produksi masih turun karena strategi pertama dan kedua belum bisa tingkatkan produksi. ke depan ketiga dan keempat yang akan beri peran untuk tingkatkan produksi,” ujar Taslim. (Rio Indrawan)