PAGI itu, Pulau Untung Jawa  semarak.  Dua speedboat yang membawa sekitar 80 penumpang dari Marina Ancol merapat di pelabuhan Untung Jawa dengan waktu yang tidak berselang lama. Kurang dari dua jam, satu speedboat lainnya dari Pulau Lancang juga ikut merapat di Untung Jawa.

Tiga speedboat itu bukan mengangkut wisawatan yang biasa menyambangi salah satu destinasi wisata di Kepulauan Seribu itu, namun mereka adalah rombongan yang akan melakukan aksi bersih-bersih pantai.

Tepat pukul 08.00 WIB, Jumat (26/10), rombongan dari dua speedboat yang mengenakan kaos putih itu, sebagian di antaranya juga membawa sepeda, berkumpul dan bergabung bersama warga masyarakat setempat yang telah lebih dulu berkumpul di Untung Jawa.

 

Aksi-aksi bersih-bersih pantai bertajuk Coastal Clean Up dan kegiatan sepeda santai itu langsung dipimpin Meidawati, Direktur Utama PT Pertamina Hulu Energi (PHE), anak usaha PT Pertamina (Persero) dan Taufik Aditiyawarman, Direktur Operasi dan Produksi PHE yang juga Komandan Incident Management Team (IMT) Sumur YYA-1. Rombongan tersebut bersama aparatur sipil negara di lingkungan Pemerintah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu yang dipimpin langsung sang Bupati Kepulauan Seribu Husein Murad serta aparat Polres, TNI AL, Kementerian KLHK, perwakilan Dirjen Perhubungan Laut, pelajar dan masyarakat bersatu padu membersihkan pantai Untung Jawa. Setelah sebelumnya, sebagian rombongan di antaranya juga telah membersihkan pantai di Pulau Lancang.

Selain aksi bersih-bersih, hari itu juga dilakukan penyerahan simbolis kunci Pusat Komando dan Pengendali (Puskodal) penanggulangan tumpahan minyak (oil spill) Pulau Untung Jawa dari Dirut PHE kepada Bupati Kepulauan Seribu. Selain di Untung Jawa, Pertamina juga membentuk Puskodal di daerah yang terkena dampak tumpahan minyak sumur YYA-1, yakni Serang, Bekasi dan Karawang.

Tahap penanggulangan tumpahan minyak memang telah selesai menyusul keberhasilan penghentian semburan lumpur dari sumur YYA-1. Namun masih ada tahap pemulihan yang harus dilakukan. Untuk itu, Pertamina telah menggandeng tim dari Institut Pertanian Bogor untuk menentukan titik-titik yang akan dipulihkan, baik dari sisi lingkungan maupun sosial.

Sumur YYA-1 merupakan satu dari tiga sumur dalam Proyek YY, Blok Offshore North West Java yang dikembangkan PHE. Proyek yang diproyeksikan bisa memberikan tambahan produksi 4.065 barrel oil per day (BOPD) rencananya akan rampung pada September 2019. Namun pada 12 Juli 2019, sekitar pukul 01.30 WIB, saat dilakukan re-entry di sumur YYA-1 pada kegiatan re-perforasi  muncul gelembung gas di Anjungan YY dan Rig Ensco-67.

Pada 16 Juli 2019 muncul lapisan minyak di permukaan laut sekitar kemunculan gelembung gas. Tumpahan minyak kemudian terlihat di sekitar anjungan pada sehari berikutnya. Pada 19 Juli 2019 dini hari, tumpahan minyak sampai di Pantai Sedari, Karawang.

Pertamina melalui tim IMT telah melakukan berbagai strategi untuk menanggulangi tumpahan minyak di laut dan darat, di antaranya dengan menggelar dua layer static boom untuk mencegah persebaran minyak lebih jauh di laut. Dan recovered oil yang terkumpul di boom kemudian diambil dengan skimmer untuk dikelola lebih lanjut.

Selain itu, dengan menggunakan dynamic oil boom untuk mengantisipasi, apabila masih ada minyak yang lolos dari layer pertama akibat cuaca atau lainnya. Total hingga akhir Oktober, ada kurang lebih 40 ribu barel minyak yang berhasil dikumpulkan dari tumpahan minyak di laut.

Proteksi dan pengumpulan terhadap tumpahan minyak di darat juga langsung dilakukan. Tim tanggap darurat sudah sampai ke sebelum minyak mendarat di pesisir dan memprediksi dengan modelling dan citra satelit. Pada penanganan di darat dilakukan proteksi daerah yang sensitif, mulai dari hutan bakau, pantai wisata, pemukiman hingga muara.

Proteksi dilakukan dengan inovasi fix static waring boom with oil trap point, fix floating waring boom wil oil trap point, dynamic waring boom dan laydown waring for shoreline protection.

Tidak hanya itu, penanganan dampak sosial juga langsung dilakukan begitu tumpahan minyak sampai ke pantai, mulai dari memberdayakan masyarakat terdampak untuk mengumpulkan tumpahan minyak di pantai hingga pemberiaan kompensasi tahap awal.

Akhirnya, tiga bulan kemudian, tepatnya pada 21 September 2019, Incident Management Tim berhasil melakukan penetrasi penyumbatan dari relief well ke sumur YYA-1 dari kedalaman 8.964 kaki. Lumpur berat pun tidak lagi keluar dari sumur YYA-1.

“Kasus sumur YYA-1 sudah terjadi dan kita ambil pelajaran dan hikmahnya dari situ. Seperti yang diungkapkan Pak Dharmawan (Dharmawan Samsu, Direktur Hulu Pertamina), melalui kejadian ini kami bisa belajar dan hikmahnya bisa semakin dekat dengan masyarakat,” kata Meidawati disela-sela pelaksanaan Coastal Clean Up.

Mitigasi Risiko

Investigasi penyebab insiden sumur YYA-1 hingga kini masih dilakukan. Namun, insiden tersebut telah memberikan pembelajaran terhadap pentingnya mitigasi risiko terhadap kegiatan hulu migas. Bukan hanya untuk Pertamina dan anak usahanya, namun juga perusahaan-perusahaan lain yang bergerak di sektor migas.

“Pengalaman ini kami sebarkan ke KKKS (Kontraktor Kontrak Kerja Sama) lain, mengenai prosedur maupun kemungkinan human error,” kata Fatar Yani Abdurahman, Wakil Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas), beberapa waktu lalu.

Menurut Taufik, aspek HSSE dan Emergency Response Readness adalah hal yang sangat penting dan paling utama dalam operasional migas. Apalagi insiden sumur YYA-1 telah banyak menggunakan resources dan biaya yang tidak sedikit dan tentunya harus dapat dikompensasi dari kegiatan PHE lainnya. Hingga akhir Oktober, total dana yang telah dikeluarkan untuk seluruh kegiatan penanggulangan tumpahan minyak sumur YYA-1 mencapai US$112 juta.

“Jadi emergency response team harus terus di-maintenance, jadi pas ada kejadian, tinggal mobilisasi. Tidak perlu meraba-raba lagi, tidak perlu buat format lagi, tapi  bisa langsung dimobilisasi,” katanya.

Ke depan, kata Taufik, aktivitas pengeboran harus melihat keserupaan dari peristiwa-peristiwa yang terjadi sebelumnya, bukan hanya berdasarkan data yang ada di lapangan.

“Jadi melihat ada atau tidak keserupaan, data statistik, keserupaan struktur-struktur yang mirip, kira-kira ada kasus atau tidak. Dan model analis ini akan dikembangkan bukan hanya untuk mengantisipasi masalah insiden, tapi juga untuk pengeboran,” ungkap Taufik.

Dengan melihat hal-hal itu, risiko-risiko yang mungkin terjadi pada saat kegiatan hulu migas bisa diantisipasi. Selain tentu saja, prosedur standar operasi (SOP) tetap dijalankan sebagaimana mestinya.

“SOP sudah dijalankan, tapi ada insiden. Berarti apa, ada unknown-unknown risk yang belum teridentifikasi. Kita tidak tahu unknown ini, kemungkinan  yang akan dilihat dari sisi geologi di Indonesia seperti apa,” katanya.

Taufik mengatakan banyak pembelajaran yang bisa diambil dari insiden sumur YYA-1. Mulai dari proses pengambilan keputusan dalam keadaan darurat juga harus cepat dan tepat, hingga rencana keberlanjutan bisnis (business continuity planning) jika sesuatu terjadi.

“Kalau tiba-tiba ada teroris ngebom offshore, kita sudah siap atau belum? Itu yang ekstrimnya, seperti yang terjadi di Saudi Aramco. Kalau itu terjadi, produksi habis, bagaimana kita mengontrolnya? Itu bagian dahri business continuity planning,” katanya.(Alfian)