JAKARTA – Pada 2050 kebutuhan batu bara diproyeksikan meningkat lima kali lipat dibanding 2015, dengan pertumbuhan energi sebesar 7,1% per tahun. Sektor yang paling tinggi mengkonsumsi energi listrik berasal dari rumah tangga dan industri.

“Untuk itu, pengelolaan energi nasional harus berubah, dari energi sebagai komoditas ke energi sebagai penggerak roda ekonomi,” kata Heru Dewanto, Sekretaris Jenderal Masyarakat Ketenagalistrikan Indonesia (MKI) di Jakarta, Jumat (14/9).

Energi listrik Indonesia masih sangat mengandalkan batu bara.

Heru menambahkan, realitanya energi listrik Indonesia masih sangat mengandalkan batu bara. Data Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) menyebutkan porsi batu bara sebagai energi primer pada 2015 adalah 27% dan naik menjadi 30% pada 2025. Sedangkan, porsi batu bara sebagai energi untuk pembangkitan listrik berdasar data RUEN akan menurun dari 56% di 2015 menjadi 50% pada 2025.

“Fakta ini mendorong kita untuk memanfaatkan batu bara secara lebih efisien dan bersih melalui clean coal technology yang salah satu aplikasinya adalah PLTU Supercritical, Ultra Supercritical,” ungkap Heru.

Dengan laju pertumbuhan populasi dan ekonomi Indonesia serta peningkatan konsumsi per kapita, maka kebutuhan akan listrik terus meningkat. Pemenuhan kebutuhan listrik sangat tergantung pada ketersediaan energi yang dibutuhkan. Sinergi pemanfaatan energi fosil (batu bara, gas bumi dan minyak bumi) dengan energi baru terbarukan (EBT) penting demi menjamin keberlangsungan pertumbuhan sektor ketenagalistrikan Indonesia, termasuk peningkatan akses energi dari area terpencil hingga ke area perbatasan di Indonesia.

Muhammad Sofyan, Wakil Ketua Bidang EBTKE MKI, mengatakan  dengan mengusung tema keberlanjutan (sustainability) sektor ketenagalistrikan nasional, bauran energi antara fosil dan EBT untuk keberlanjutan infrastruktur ketenagalistrikan sebagai upaya pemenuhan kebutuhan tenaga listrik nasional akan semakin dibutuhkan.

Pemerintah pun terus bertekad meningkatkan porsi EBT sebagai sumber energi primer dalam bauran energi pembangkit listrik nasional. Berdasarkan data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), kontribusi EBT bertambah 2% dalam tiga tahun menjadi 12,15% pada akhir 2017. Pertumbuhan 2% dalam tiga tahun tidak cukup untuk mengejar target Kebijakan Energi Nasional (KEN) sebesar 23% pada 2025.

“Untuk itu pemerintah pun perlu menyiapkan kebijakan dan regulasi, membangun ruang fiskal, dan menyediakan ruang-ruang insentif yang ada untuk investasi guna perkembangan EBT. Dengan ekosistem industri yang kondusif, pihak swasta pun dapat mendorong terjadinya kemitraan yang menguntungkan, meningkatkan transfer teknologi dan investasi,” kata Sofyan.

Perlu Subsidi

Harga listrik panas bumi dalam jangka panjang akan lebih murah dibanding harga listrik fosil.

Riki Firmanda Ibrahim, Dewan Pakar MKI yang juga Dirut PT Geo Dipa Energi ( persero ), menyampaikan penjualan sebagian listrik EBT proyek baru masih memerlukan subsidi. Harga listrik panas bumi dalam jangka panjang akan lebih murah dibanding harga listrik fosil karena mengikuti harga pasar.

Menurut Riki, Geo Dipa Energi sangat mungkin memberikan harga listrik dari panas bumi yang paling ekonomis karena menggunakan pinjaman yang bersifat soft loan dari Multilateal Bank (ADB dan World Bank sebagai perbankan yang berkarakteristik non-profit) atau bank bilateral yang memberikan pinjaman melalui skema G to G, didukung Kementrian Keuangan.

“Fasilitas dan prioritas sebagai BUMN ini tidak akan berdampak pada PLTP swasta, karena besarnya target pengembangan geothermal nasional sesuai KEN yaitu 7,3 GW pada 2025
dan 17 GW pada 2050. Ini saatnya menaikkan TKDN untuk pengembangan PLTP,” kata Riki.(RA)