JAKARTA – Masalah pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian atau pabrik dalam beberapa waktu terakhir seperti sampai ke telinga salah satu pemegang saham PT Freeport Indonesia, Freeport  McMoRan Inc. Freeport McMoRan pun mengusulkan agar smelter baru tidak perlu dibangun. Sebagai gantinya Freeport Indonesia disarankan agar mengembangkan fasilitas smelter yang sekarang telah dimiliki di Gresik.

Richard Adkerson, President dan Chief Executive Officer (CEO) Freeport McMoRan,  mengungkapkan Freeport telah memiliki fasilitas smelter yang sudah lama dibangun dan beroperasi. Maka sebenarnya tinggal dilakukan peningkatan kapasitas dan kualitas dengan menambahkan fasilitas logam mulia.

“Jadi alternatifnya adalah, daripada membangun smelter baru, bisa juga dengan ekspansi smelter Gresik yang sudah ada dan menambahkan fasilitas pengolahan logam mulia,” kata Adkerson dalam conference call kinerja kuartal III 2020, akhir pekan lalu.

Smelter konsentrat yang dioperasikan PT Smelting Gresik saat ini memiliki kapasitas sebesar satu juta ton konsentrat tembaga. Jika dilakukan ekspansi sebesar 30% terhadap fasilitas eksisting, maka kapasitasnya hanya akan bertambah sebesar 300 ribu ton konsentrat tembaga. Sementara untuk pembangunan smelter baru, direncanakan memiliki kapasitas hingga dua juta ton konsentrat tembaga.

Menurut Adkerson, manajemen Freeport McMoRan tidak bisa memutuskan jadi tidaknya pembangunan smelter baru karena keputusan akhir ada di tangan pemerintah Indonesia sebagai pemiliki saham terbesar Freeport Indonesia.

“Keputusannya ada di tangan Pemerintah Indonesia terkait apa yang akan mereka lakukan. Tapi isu manfaat finansial bagi pemerintah ini cukup signifikan,” ungkapnya.

Apalagi lanjut Adkerson pemerintah Indonesia pasti membutuhkan pemasukan dalam kondisi sekarang ini. Dengan ekspansi kapasitas, maka ada dua manfaat yang didapatkan. Pertama tentu smelter yang diinginkan dengan adanya fasilitas logam mulia bisa tersedia. Manfaat lainnya, meskipun telah memiliki smelter hasil ekspansi smelter eksisting  smelter yang ada di Gresik ini tetap tidak akan dapat menyerap seluruh konsentrat yang dihasilkan Freeport. Sehingga, sebagian produksi konsentrat tetap harus diekspor di mana Freeport Indonesia harus membayar bea keluar.

Dengan pandemi Covid-19 yang memukul kondisi keuangan seluruh negara termasuk Indonesia, lanjutnya, adanya tambahan pendapatan dari bea keluar ini cukup menarik bagi Pemerintah Indonesia.

“Manfaat yang bisa diperoleh yakni, kami bisa menghindari mengerjakan proyek besar baru ini dan manfaat keuangannya bagi Pemerintah Indonesia juga cukup positif,” ujar Adkerson.

Jika pilihan itu yang nanti diambil pemerintah maka menurut Adkerson perlu ada kesepakatan agar Freeport bisa mengekspor kelebihannya.

“Harus ada kesepakatan yang memungkinkan kami untuk mengekspor kelebihannya. Dan kami ajukan jika itu diperbolehkan,” kata dia

Jika usulan Freeport dengan melakukan pengembangan fasilitas smelter yang ada maka biaya investasinya diyakini akan jauh berkurang. Saat ini kebutuhan untuk membangun smelter baru dananya mencapai US$3 miliar.

Kathleen Quirk, Executive Vice President & Chief Financial Officer Freeport McMoRan,  mengatakan, efisiensi dari sisi biaya akan sangat berkurang sangat signifikan jika dicapai kata sepakat tentang usulan untuk membatalkan pembangunan smelter baru.

“Dan perkiraan (investasi) untuk ekspansi (kapasitas) smelter di Gresik sebesar 30% yakni sekitar US$ 250 juta dan perkiraan investasinya sama juga untuk fasilitas pengolahan logam mulia,” kata Quirk.(RI)