JAKARTA – Sejalan dengan perkembangan tren penggunaan energi dunia dan memperhatikan pola dan road map transisi energi dunia, sejumlah poin dalam konsep dianggap ideal untuk dimasukkan dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Energi Baru Terbarukan (EBT).

Surya Dharma, Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI), mengatakan RUU EBT diharapkan fokus membahas Energi Terbarukan (ET) dan atau energi baru yang berasal dari energi terbarukan. Sedangkan energi baru lainnya seperti nuklir agar dimasukkan dalam amendemen UU Nomor 10 Tahun 2007 tentang Ketenaganukliran agar juga fokus membahas nuklir yang perlu aspek khusus yang tidak dicampur.

“Kalaupun dimasukkan aspek nuklir hanya lebih banyak pada spek optimisasi penggunaan secara hybrid dari beberapa energi fosil dan nuklir dengan energi terbarukan,” kata Surya Dharma, kepada Dunia Energi, Kamis (18/2).

Dia menambahkan, untuk energi baru seperti batu bara tergaskan, batu bara tercairkan, CBM dan lainnya supaya diakomodir dalam UU Migas atau UU Minerba sesuai dengan karakteristik sumber daya energi itu masing-masing.

Dengan demikian, RUU ET atau EBT akan fokus mengatur tentang sumber daya energi dari energi terbarukan termasuk energi baru yang berasal dari ET.

“Kami sedang memfinalkan konsep rumusan masukannya untuk disampaikan kepada DPR dan pemerintah,” ujar Surya Dharma.

Surya Dharma mengatakan, METI bersama seluruh asosiasi terkait energi terbarukan sudah menggelar diskusi soal RUU EBT yang sejak 2020 masuk dalam program prioritas Proglegnas Komisi VII DPR. Pada 2021 sebagaimana disampaikan Ketua Komisi VII DPR bahwa RUU EBT akan diselesaikan sekitar Oktober yang akan datang.

“Saat ini bahkan sedang giat-giatnya mencari masukan ke berbagai pihak termasuk ke beberapa Perguruan Tinggi. Sampai-sampai bahkan ada yang mengingatkan agar RUU EBT tidak ditumpangi penumpang gelap,” kata dia.

Sebetulnya, kata Surya Dharma, sudah sejak 2017 METI menyampaikan kepada pemerintah perlunya UU Energi Terbarukan (UU ET) dalam rangka mendorong pemanfaatan energi terbarukan di tanah air yang sudah masuk dalam Kebijakan Energi Naisonal (KEN) sesuai PP Nomor 79 Tahun 2014. Bahkan ada kecenderungan saat itu,  berbagai regulasi yang diterbitkan seringkali tidak memberikan kepastian dalam berusaha, tidak ada daya tarik, tidak memiliki tingkat keekonomian yang memadai, tidak bankable sehingga sulit mendapatkan pendanaan dan sebagainya.

Intinya, perlu ada payung hukum yang lebih pasti dan memberikan daya tarik investasi agar upaya meningkatkan pemanfaatan ET menjadi 23% pada 2025 akan dapat terwujud.

Oleh karena itu, DPD RI kemudian mengambil inisiatif untuk mengajukan usul agar RUU ET menjadi usul inisiatif DPD dan kemudian diusulkan menjadi usul inisiatif DPR RI. Muncullah draft RUU ET dari DPD pada 2018 setelah mengalami berbagai kajian dan konsultasi publik. Namun, ketika masuk dalam pembahasan di DPR dan dibahas di Komisi VII, usulan RUU ET tersebut diubah menjadi RUU EBT dengan fokus energi terbarukan (ET) dan energi baru (EB) yang intinya adalah mengakomodir agar nuklir juga perlu dimasukkan agar pemanfaatannya juga mendapat kepastian dan daya tarik.

Dari sinilah mulai muncul pro dan kontra dari upaya meningkatkan pemanfaatan ET menjadi upaya meningkatkan ET dan energi baru khusunya nuklir.

“Dari berbagai pandangan yang kami terima, maka kelihatannya pemanfaatan energi energi baru khusunya nuklir menjadi subtansi yang agak mengganggu masuk dalam RUU ET yang sudah diubah menjadi RUU EBT,” tandas Surya Dharma.(RA)