JAKARTA – Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah menerbitkan aturan baru kontrak migas yang intinya memperbolehkan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) untuk memilih sendiri skema kontrak yang diinginkan. Ada dua skema kontrak di tanah air yang dianut, yakni cost recovery dan gross split. Padahal sebelumnya kontrak baru ataupun kontrak yang telah habis masanya jika mau dilanjutkan maka harus atau wajib menggunakan gross split.

Arcandra Tahar, mantan Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya MIneral (ESDM) yang merupakan inisiator skema gross split, mengatakan iklim investasi saat ini sarat akan tantangan. Setiap negara berlomba untuk menjadi lebih menarik di mata investor. Apalagi di tengah badai pandemi Covid-19, banyak perusahaan migas di seluruh dunia melakukan evaluasi terhadap strategi investasinya. Ini membuat kompetisi untuk menarik investasi migas menjadi semakin ketat.

Insentif dari pemerintah di suatu negara menjadi daya tarik dan suatu hal yang tidak bisa ditinggalkan. Sistem fiskal jadi salah satu instrumen insentif yang bisa ditawarkan ke pelaku usaha. “Misalnya sistem fiskal yang ada menjamin dan memberikan kepastian investasi tanpa harus melakukan negosiasi kontrak kemnali,” kata Arcandra yang saat ini menjadi Komisaris Utama PT Perusahaan Gas Negara (PGAS) Tbk seperti dikutip dari akun instagramnya, Kamis (13/8).

Menurut Arcandra, investor akan mendapatkan keuntungan saat ekonomi dan harga minyak bergejolak. Dia mencontohkan,ketika harga minyak rendah maka kontraktor bisa mendapat bagi hasil lebih baik. Kemudian sebaliknya negara bisa mendapat bagi hasil lebih besar saat harga minyak sedang tinggi.

Skema gross split menjadi skema yang bisa mengakomodir insentif yang sering disuarakan para pelaku usaha tanpa harus terlebih dulu merubah kontrak. “Ini menjadi salah satu daya tarik kontraktor migas untuk menggunakan gross split,” kata dia.

Ketika harga minyak turun kontraktor bisa mendapat tambahan split hingga 7,5% dari gross revenue. Kemudian kegiatan procurement juga menjadi lebih simpel dam tidak melalui proses panjang. Procurement yang singkat maka penghematan juga bisa sangat besar.

“Bayangkan jika sebelumnya butuh waktu 10-15 tahun dari eksplorasi hingga produksi, dengan procurement mandiri waktu bisa dipangkas 2-3 tahun,” kata dia.

Kontraktor selain bisa melakukan penghematan biaya operasional juga bisa menaikkan Nett Present Value (NPV). Lalu ada juga cara untuk meningkatkan bagi hasil untuk kontraktor, yakni dengan meningkatkan penggunaan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN).

“Bahkan jika suatu wilayah keekonomian rendah bisa mendapat tambaham split. Ini bukti perlindungan kepada investor sehingga kontraktor mendapat jaminan bahwa investasinya menguntungkan,” ungkap Arcandra.

Lebih lanjut Arcandra mencontohkan, skema gross split bisa diaplikasikan pada proyek-proyek besar yang butuh adanya jaminan kepastian dari sisi keekonomian.

Proyek LNG Prelude di Australia dengan kapastias produksi LNG 3,6 juta ton per tahun kata Arcandra jadi salah satu contoh kasus bahwa gross split bisa menjamin proyek tidak akan terdampak serius ketika gejolak ekonomi maupun harga minyak terjadi. Proyek ini bisa dibilang tidak sukses lantaran membengkaknya biaya investasi dan hasil atau penjualan LNG nya yang tidak sesuai dengan rencana karena dipengaruhi gejolak ekonomi.

Ketika dimulai pada tahun 2011, Prelude yang merupakan fasilitas LNG terapung ini diperkirakan membutuhkan biaya US$ 10,8 miliar – US$12,6 miliar. “Diakhir tahun 2019 investasi proyek Prelude membengkak menjadi US$19,3 miliar atau naik 45%. Namun LNG yang dikirimkan jauh lebih rendah dari kapasitas terpasang selain itu penyelesaian Prelude juga telat dua tahun dari target awal,” kata Arcandra.(RI)