JAKARTA – Indonesia menyatakan dukungan atas G7 dan G20, sebagai wadah untuk menumbuhkan dan mengimplementasikan berbagai gagasan substantif sebagai bagian dari solusi pengendalian perubahan iklim. Namun, meskipun hasil-hasil G7 dan G20 sering dirujuk oleh forum, agenda ataupun organisasi internasional, kedua forum tersebut tetap merupakan forum informal yang hasilnya hanya berlaku bagi anggotanya dan tidak mewakili keseluruhan negara pihak dalam United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC).

Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), menyampaikan bahwa Indonesia telah mengikuti pedoman sistematis internasional terkait perubahan iklim.
“Indonesia telah men-submit dokumen seperti LTS (Long Term Strategy), NDC (Nationality Determined Contribution), road map Mitigasi dan Adaptasi, serta beberapa praktik yang dilakukan selama 7 tahun dalam rangka mengembangkan rencana operasional untuk FoLU Net Sink,” ujarnya saat menerima kunjungan Sekretaris Negara dan Utusan Khusus untuk Urusan Iklim Jerman Jennifer Lee Morgan di Gedung Manggala Wanabakti, Jakarta (10/5).

Siti menjelaskan bahwa FoLU Net Sink 2030 adalah agenda yang penting, karena memiliki kontribusi NDC terbesar yaitu sekitar 60%, dan pada posisi kedua adalah sektor energi. Namun demikian tidak mudah untuk mengontrol sektor energi, sehingga pihaknya akan bekerja keras pada sektor kehutanan untuk mengantisipasi sektor energi.
“KLHK sebagai focal point, juga bekerja sama dengan kementerian lainnya, termasuk ESDM, akan mengikuti dan dan mendukung agenda di Energy Transition,” ujar Siti.

Ia menanggapai secara positif atas inisiatif pihak Jerman dalam mengangkat agenda Energy Transition. Rencananya, dirinya beserta Menteri ESDM akan berpatisipasi pada pertemuan G7 Climate, Energi and Environment Ministers pada tanggal 26 – 27 Mei 2022 di Berlin, Jerman.

Pada kesempatan ini, Jennifer menyampaikan bahwa Pemerintah Jerman mengapresiasi atas berbagai upaya yang telah dilakukan pemerintah Indonesia dalam upaya pengendalian perubahan iklim seperti RHL (rehabilitasi hutan dan lahan) di kawasan gambut dan mangrove. Pihaknya juga mengapresiasi dan mendukung terkait pembentukan World Mangrove Center di Bali melalui kerja sama Indonesia-Jerman.

Menurut Siti, RHL di kawasan gambut dan mangrove merupakan mandat langsung dari Presiden Joko Widodo dan mendapat dukungan penuh. Dalam kurun waktu 3 tahun ini, sejak tahun 2019 lebih kurang seluas 170 ribu Hektar (Ha) kawasan mangrove telah direhabilitasi. Targetnya adalah sebesar 600 ribu Ha, akan direhabilitasi dan ditingkatkan kualitasnya hingga tahun 2024, yang akan didukung oleh Bank Dunia. Tengah didikusikan juga kolaborasi antara Jerman dan Bank Dunia untuk dukungan terhadap rehabilitasi mangrove tersebut.

Selanjutnya, tentang Perhutanan Sosial, pihak Jerman mengharapkan dapat belajar lebih lanjut tentang skema perhutanan sosial, peran masyarakat lokal dan masyarakat adat. Oleh karena itu, pihak Jerman berharap dapat berdiskusi tentang hal tersebut antara lain untuk mendukung masyarakat lokal dan masyarakat adat di Sumatera, Kalimantan, dan Papua dalam program perhutanan sosial.

Siti menyampaikan bahwa pada masa lalu, terdapat banyak konflik dan masalah, karena ketidak-seimbangan antara porsi pemberian izin kelola kepada perusahaan dan masyarakat. Hingga tahun 2015, 95% lisensi diberikan untuk perusahaan konsesi. Namun saat ini Pemerintah Indonesia telah mengoreksi kebijakan tersebut, sehingga saat ini porsi pemberian izinnya adalah sekitar 18 % untuk masyarakat dari yang sebelumnya hanya sekitar 4%, dan akan meunju sekitar 31% atau 32% yang merupakan porsi ideal, atau sekitar 12,7 juta Ha untuk perhutanan sosial.

Indonesia dan Jerman berkomitmen untuk melanjutkan kerja sama yang tengah berlangsung serta melihat potensi-potensi lainnya pada masa mendatang.(RA)