JAKARTA – Pemerintah masih optimistis pembangunan infrastruktur gas masih sangat feasible untuk dieksekusi di tengah pandemi virus Corona (Covid-19). Nantinya hasil dari pembangunan tersebut bisa langsung dimanfaatkan ketika kondisi membaik seiring dengan proyeksi mulai normalnya lagi harga energi primer.

Soerjaningsih, Direktur Pembinaan Program Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mengatakan dalam proyeksi pemerintah setelah pandemi Covid-19 berakhir dan kondisi berangsur-angsur normal, harga berbagai komoditas energi, seperti minyak dan gas akan mulai merangkak naik. Minyak misalnya diperkirakan semester II tahun ini mulai kembali naik hingga ke level US$40-an per barel di akhir tahun. Ini tentu tidak lepas dari telah dilakukannya pemangkasan produksi oleh negara-negara produsen minyak dunia yang tergabung dalam OPEC hingga Juni 2020.

Selain harga minyak, harga gas alam cair (Liquefied Natural Gas/LNG) diperkirakan kembali tertekan pada 2021 dan akan kembali merangkak naik pada 2022.

“Harga minyak saat ini tengah jatuh, namun diperkirakan harga minyak akan mencapai US$40 di akhir tahun. Mudah-mudahan dalam waktu dekat di musim dingin diharapkan dinamika harga minyak bisa seperti sebelumnya,” kata Soerjaningsih dalam diskusi virtual, Senin (18/5).

Berdasarkan neraca gas nasional untuk 2020 hingga 2030, Indonesia akan mengalami penurunan pasokan gas yang drastis. Bahkan di tahun 2023 jika pasokan gas dari suplai eksisting sekarang tidak akan mampu memenuhi kebutuhan gas yang sesuai dengan kontrak. Ini disebabkan meningkatnya permintaan dari industri dan sektor kelistrikan.

“Jadi kalau ditanya apakah pembangunan infrastruktur gas masih feasible? Saya bilang masih feasible kalau melihat demand dan juga supply yang menurun drastis,” ujar Soerjaningsih.

Jugi Prajugio, Anggota Komite Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) Migas, mengatakan feasible atau tidaknya membangun infrastruktur gas berdasarkan tiga faktor, yakni demand dalam hal ini volume dan daya beli, lalu supply terkait volume dan harga jual gas hulu. Serta pasokan, dan nilai investasi infrastruktur.

Untuk fasilitas yang lama, BPH Migas menggunakan Internal Rate of Return (IRR) sama dengan Weighted Average Cost of Capital (WACC) atau biaya modal saja, sedangkan untuk fasilitas yang baru IRR sama dengan WACC ditambah insentif IRR.

“Kami memberikan insentif 1% hingga 3%. Sebagai contoh ada pipa yang dibangun badan usaha di daerah yang baru, dimana IRR diangka 10,5 kemudian insentif ada diangka 1,5. Artinya dia dapat IRR sekitar 12%. Jadi angka 12% ini baru dihitung berapa toll fee-nya,” jelas Jugi.

Jika dihubungkan dengan masa pandemi Covid-19,  sejumlah pelanggan gas seperti PT PLN (Persero) mengalami penurunan konsumsi sebesar 20% hingga 70%. Lalu penurunan juga terjadi pada industri yang melalui gas pipa sebesar 70%  Selain itu, penurunan terjadi di industri melalui compressed natural gas (CNG) sebesar 50%. Penurunaan penggunaan gas juga terjadi pada segmen hotel, restoran dan cafe sebesar 70% melalui pasokan CNG dan LNG.

Menurut Jugi, pembangunan infrastruktur harus dipilih secara selektif agar tidak percuma. Bahkan, akan lebih baik memaksimalkan pipa yang ada sekarang dengan meningkatkan pasokan gasnya.

“Yang paling utama bagaimana pipa tersebut terisi kembali normal atau bagaimana mengefisiensikan pipa dengan cara menambah jumlah pasokan. Artinya harus tumbuh demand. Mudah-mudahan setelah pandemi Covid-19 ini berakhir, demand sudah mulai normal, nanti demand-nya akan menyerap gas lebih banyak lagi artinya akan timbul efisiensi,” kata Jugi.

Lebih lanjut, menurutnya jika memang tetap mau membangun maka ada peluang sektor yang masih prospektif yang langsung digunakan oleh masyarakat

Infrastruktur pengguna jaringan gas rumah tangga untuk sektor satu masih feasible dilakukan dengan syarat dana awal dari APBN lalu dioperasikan oleh BUMN. Lalu juga infrastruktur yang masif dapat dibangun yakni jaringan gas rumah tangga sektor dua yang investasi awalnya dari badan usaha.

“Jadi yang sektor satu padanannya adalah LPG 3 kg yang subsidi, untuk yang sektor dua menggunakan LPG yang tidak disubsidi atau LPG 12 kg maupun 50 kg,” kata Jugi.(RI)