INDONESIA masih resisten terhadap ketahanan energi. Hal itu dibuktikan dari tragedi Black Out yang terjadi pada Minggu (4/8) dua pekan lalu. Sejumlah daerah di Pulau Jawa mengalami pemadaman listrik berjam-jam. Hal itu rupanya terjadi karena PT PLN (Persero), badan usaha milik negara yang memonopoli bisnis energi listrik di Indonesia, melakukan “pemeliharaan” rutin. PLN menggunakan pembangkit litrik di wilayah Jawa Bagian Timur untuk memasok listrik di Jawa Bagian Barat. Pasokan listrik dari Jawa Bagian Timur dinilai lebih murah karena pembangkitnya mayoritas berbahan bakar batu bara (PLTU). Sedangkan di Jawa Bagian Barat, kendati ada PLTU tapi lebih dari 20% berasal dari pasokan pembangkit berbahan bakar gas.

Belajar dari kasus konversi pembangkit dari pembangkit berbahan bakar mahal ke pembangkit berbahan bakar murah, sejatinya PLN dan Pemerintah Indonesia perlu segera mengimplementasikan pengembangan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) yang produksi listriknya bersih dengan harga jual listrik yang diklaim bisa lebih murah. Namun, pengembangan PLTN tak kunjung terealisasi. Padahal, rencana pembangunan pembangkit nuklir itu sudah digagas sejak lebih dari tiga dasarwarsa lalu.

Mengapa PLTN tak kunjung terealisasi di Tanah Air? Apa kendala implementasi PLTN di Indonesia? Benarkah ada resistensi dari kalangan ahli nuklir dan juga masyarakat atas pengembangan PLTN? Untuk membedah masalah tersebut, wartawan Dunia Energi Dudi Rahman, Alfian Tandjung, dan Yurika Indah Prasetianti mewawancarai Kepala Badan Tenaga Nukir Nasional (BATAN) Prof Dr Ir Anhar Riza Antariksawan di ruang kerjanya, beberapa waktu lalu. Anhar baru dilantik sebagai Kepala BATAN pada 28 Juni 2019 setelah delapan tahun jadi Deputi Kepala BATAN di bidang penelitian dan penerapan dasar dan juga pendayagunaan teknologi nuklir sampai 2016. Anhar memiliki latar belakang di bidang nuklir, termasuk meraih gelar doktor di sebuah perguruan tinggi di Perancis di bidang keselamatan reaktor.

Berikut petikan wawancaranya.

Rencana pengembangan PLTN di Indonesia seakan jalan di tempat. Bagaimana sebenarnya peran BATAN dalam mendukung pembangunan PLTN di Tanah Air?
Sebetulnya Indonesia sejak awal 70-an sudah berencana membangun PLTN sehingga dimulai dengan kegiatan pertama mencari berbagai tempat yang bisa alternatif lokasi untuk pembangunan PLTN. Saat itu yang dianggap potensial itu di Jawa Tengah sebelah utara. Itu salah satu yang menjadi potensi calon tapak. Untuk membangun PLTN butuh SDM, nah kemudian Pemerintah Indonesia melaui BATAN bekerja sama dengan Universitas Gadjah Mada (UGM) dibukalah jurusan teknik nuklir. Rencananya memang sudah lama, tapi pada kenyataannya tidak berjalan mulus. Agak mundur-mundur.

Mengapa?
Karena beberapa hal, entah dari dalam maupun dari luar memengaruhi keputusan pemerintah untuk membangun itu. Tahun 86 itu terjadi peristiwa Chernobyl di Uni Soviet (kini wilayah itu masuk Ukraina, RED), cukup menggetarkan dunia. Pokoknya kecelakaan PLTN di satu tempat berakibat ke seluruh dunia. Berakibat bukan kecelakaannya ya, tapi negara-negara consider lagi, jadi bukan akibat dampak fisik tapi dampak psikologisnya cukup banyak. Banyak negara yang mengkaji ulang. Indonesia mungkin salah satu dari itu, meskipun saat itu sudah tahu bahwa kecelakaan Chernobyl itu jenis reaktornya pun bukan reaktor yang saat itu banyak beroperasi. PLTN banyak beroperasi dibangun itu di dunia itu pada 70-an juga saat terjadi krisis energi dan ada embargo minyak dari negara Timur Tengah. Negara-negara di Eropa tidak mau bergantung pada minyak, maka dibangunlah PLTN. Pada 70-an, pembangunan PLTN masf. Pada 1979 sudah terjadi kecelakaan di Amerika, namanya reaktor three mile island unit dua. Itu PLTN baru tapi kecelakaannya tidak sampai menimbulkan dampak lingkungan, tidak sama sekali ada korban jiwa, bahkan radiasi tidak berubah karena semua terkumpul di dalam PLTN itu. Artinya itu membuktikan bahwa sistem keselamatan PLTN yang saat itu dibangun, baik. Meskipun bahan bakar reaktornya sampai meleleh, 20%, yang seharusnya tidak boleh itu. Itulah yang membuat Amerika bilang “saya tidak akan bangun lagi”. Lalu pada 1986 terjadi peristiwa Chernobyl. Kejadian itu berakibat beberapa negara Eropa memperlambat pembangunan PLTN. Sebelumnya itu waktu kejadian three mile island Cuma Amerika saja yang kemudian menghentikan program, negara lain tetap jalan meskipun tidak semeriah awal 70-an. Pada 90-an orang mulai memikirkan lagi, penelitian-penelitian keselamatan reaktor juga berkembang lalu mulai bergairah lagi untuk membangun PLTN.

Di Indonesia, pada awal 90-an, Pak Habibie saat masih menjabat Menristek, berencana pada 2000-2003 kita akan punya PLTN. Tapi apa yang terjadi dalam negeri? Pada 98 kita krisis meskipun setelah krisis Pak Habibie jadi presiden, tapi seorang pemimpin negara tidak mungkin langsung mengurus. Seperti IPTN yang sudah sedemikian rupa harus dipangkas habis-habisan. Jadi program PLTN-nya kemudian hilang begitu saja, dalam artian tidak bergairah lagi. Padahal pada dekade 90-an SDM, terutama di BATAN, itu paling top lah. Senior-senior yang pada bangun reaktor di Bandung dan Serpong masih ada semua. Pengalaman beliau-beliau membangun reaktor riset itu luar biasa sehingga kalau dulu tidak ada kejadian krisis ekonomi, mungkin itu saat yang paling kuat.

Bagaimana perkembangannya kemudian?
Di dunia, awal 2000-an itu muncul optimisme bahwa PLTN akan menjadi pilihan utama melihat berbagai macam persoalan di bidang energi terutama yang terkait dengan lingkungan karena ada global warming, climate change. Hampir semua yakin bahwa PLTN yang tidak menimbulkan gas rumah kaca. Untuk pembangkit listrik ya, sehingga pada awal 2000-an ada harapan besar sehingga muncul namanya nuclear energy renaissance, kelahiran kembali energi nuklir karena perkembangannya dari sisi reaktor memang berkembang terus. Dari kejadian Chernobyl, kemudian Uni Soviet pecah, pada 1989 Rusia sudah tidak meneruskan lagi jenis reaktor seperti di Chernobyl. Mereka rombak habis desainnya karena tahu bahwa desain seperti Chernobyl lemah, kemudian itu ditinggalkan. Mereka buat jenis baru. Lalu Amerika sebenarnya kegiatannya masih jalan, tapi dia tidak membangun. Pada awal 2000-an mereka berencana bangun lagi. Sekira 3-4 tahun lalu mereka putuskan untuk bangun lagi waktu presidennya masih Obama. Tetapi nuclear renaissance tadi terganggu karena ada kecelakaan Fukushima Daichi. Itu efeknya juga luar biasa karena selama ini Jepang adalah negara yang termaju di bidang iptek nuklir. Bahkan kita menjadikan Jepang sebagai referensi karena kondisi geografisnya hampir mirip. Di sana banyak daerah potensi gempa, punya gunung api. Tapi ternyata 2011 terjadi gempa dan sebetulnya yang “mematikan” Fukushima Daichi itu adalah tsunaminya. Bukan gempanya. Gempanya so far tidak apa-apa, semua PLTN di Jepang bisa shut down dengan selamat. Hanya saja PLTN itu tidak bisa begitu mati dibiarkan begitu saja, tidak demikian. Dia tetap harus didinginkan terus. Kalau kejadian di Fukushima, listrik sudah mati semua mati, sumber listrik mati, tapi kan ada diesel itu berfungsi. Dengan dengan diesel itu reaktor didinginkan. Lalu datanglah tsunami yang tingginya melampaui bendungan yang sebenarnya sudah ada. Malangnya, diesel itu diletakkan di bagian bawah PLTN sehingga terendam air, tidak berfungsi. Disitulah kehilangan pendingina sama sekali di reaktor nuklirnya. Kalau tidak didinginkan berarti panasnya akan terkumpul di situ dan karena tidak didinginkan maka mengakibatkan bahan bakar meleleh, melewati batas titik. Sama seperti kita masak air lupa mematikan sampai airnya habis, kalau dipanaskan terus lama-lama pancinya meleleh. Dari enam unit yang saat itu ada di Fukushima Daichi, empat terganggu sementara yang dua memang sedang tidak beroperasi, jadi aman-aman saja. Yang empat itu satu tidak beroperasi tapi di penyimpanan bahan bakarnya terganggu, tiga yang sedang beroperasi itu paling parah.

Tidak jauh dari Fukushima Daichi ada Fukushima Daini, jaraknya kira-kira 13 kilometer, itu dia tidak apa-apa karena letaknya tinggi, yang punya sama-sama Tepco. Yang Daichi empat kena yang Daini aman. Tapi dampaknya kita semua sudah dengar, harus mengevakuasi penduduk di radius 30 kilometer tapi sekarang sebagian besar sudah kembali. Fukushima Daichi berdampak luas. Beberapa negara bahkan menyatakan menghentikan PLTN nya seperti Jerman, Swiss. Tapi beberapa negara lain tidak terpengaruh meskipun semua sama di dunia itu semua sepakat komunitas industri nuklir kita bilang harus melakukan stress test. Artinya, semua di cek kembali PLTN yang ada, lalu kalau blackout itu apa yang terjadi, semua di cek, hampir semua PLTN. Nah, setelah dinyatakan ok baru jalan. Dan Jepang memang pada waktu itu shut down semua PLTN, minta dicek. Pemerintah Jepang juga membuat aturan baru, bahkan badan regulasi baru. Dan yang mau mengoperasikan kembali harus mengikuti itu. Setelah ada regulasi baru, beberapa PLTN mulai beroperasi kembali paling tidak ada sembilan. Tapi ada juga beberapa PLTN yang sudah give up, ownernya menyatakan tidak sanggup mengikuti aturan keselamatan yang baru yang berhenti.

Selepas kejadian Fukhushima beberapa negara tidak melanjutkan pengembangan PLTN?
Kalau di negara Eropa, seperti Jerman awalnya sudah berencana, tapi setelah kejadian Fukushima justru tidak hanya tidak meneruskan pembangunan juga menutup yang sudah beroperasi untuk beberapa tahun ke depan sampai masa izin operasinya habis tidak akan diperpanjang. Tapi negara seperti Swedia, Finlandia, dan Perancis, mereka jalan terus. Tidak masalah. Bahkan negara bekas Eropa Timur tetap jalan, bahkan sekarang ada yang membangun. Bulgaria dan Rumania berencana bangun PLTN baru. Reaksi dari masing-masing negara memang berbeda. Asia paling Jepang yang menghentikan. China, India masih jalan. Hanya Korea Selatan agak memperlambat karena sepertinya pemerintahan yang baru tidak begitu preferable dengan PLTN tapi masih jalan, tidak ada keputusan untuk menghentikan. Yang saya ingin garis bawahi dampaknya memang cukup besar terhadap industri nuklir kejadian di Fukushima itu.

Apakah peristiwa di Fukhushima berdampak kepada rencana pengembangan PLTN di Indonesia?
Indonesia sebetulnya tidak langsung berdampak dengan Fukushima karena kita memang belum punya PLTN. Tapi terhadap rencana pembangunan PLTN sebetulnya tidak langsung berdampak. Buktinya di Kebijakan Energi Nasional itu opsi nuklir masih ada. Di RUEN (Rencana Umum Energi Nasional) juga masih ada. Artinya, opsi energi nuklir bagi Indonesia masih terbuka, meskipun di dalam KEN-nya dibilang opsi terakhir. Tetapi kalau dilihat lagi di penjelasan, kalau pertimbangan keamanan atau ketahanan energi Indonesia dalam skala besar lalu dari sisi safety-nya dipandang cukup lalu pertimbangan menjaga lingkungan. PLTN bisa tidak opsi terakhir dalam artian semua habis dulu baru terakhir. Sebetulnya semangat di KEN itu kan energi mix ya, bauran tidak hanya bergantung pada satu jenis energi saja. Kemudian ada persentasenya, bahkan EBT pada 2025 dipersentasekan sebesar 23%. EBT itu ada energi baru dan terbarukan, kalau nuklir di dalam UU Energi masuk dalam energi baru bukan energi terbarukan. Karena nuklir bukan terbarukan seperti halnya air, angin, dan lainnya. Menurut saya pemerintah masih terbuka terhadap opsi itu.

Bagaimana dengan peran BATAN?
Kembali ke tugas BATAN . Seperti di UU No 10 tahun 1997, BATAN adalah lembaga nonkementerian yang tugasnya adalah melakukan penelitian, pengembangan dan pemanfaatan iptek nuklir, apapun di berbagai bidang tidak hanya energi. Yang di energinya kami melakukan penelitian, pengembangan, dan pemanfaatan. Pemanfaatan di bidang energi memang khusus untuk PLTN dan di dalam UU juga disebutkan kalau PLTN mau dibangun untuk komersial yang bisa bangun adalah swasta, BUMN atau koperasi. Jadi bukan BATAN yang membangun untuk komersial. Kalau untuk riset tujuannya, BATAN bisa bangun. Lalu kalau bukan BATAN yang bangun, BATAN ngapain? Kan pertanyaannya begitu. Ya kalau dilihat tadi tugas utamanya, kalau tugas pokoknya yang fungsinya itu di antaranya melakukan pengkajian terhadap kebijakan energi nuklir. Kemudian di situ ujungnya bisa memberikan rekomendasi kalau energi nuklir itu yang seperti apa. Kami seperti memberikan support teknis tentang PLTN. Pemerintah misalkan Kementerian ESDM bertanya, BATAN siap di situ. Kami membantu dari sisi itu. Atau siapapun yang meminta bantuan tentunya dengan kemampuan BATAN juga. Supaya kita itu mampu, kita melakukan litbang termasuk di bidang energi. Kami punya beberapa unit kerja terkait energi nuklir. Sejak penambangan bahan galian nuklir, bahan bakar, limbah, keselamatan dan teknologinya, kami punya unit-unit kerja yang memang ditugasi untuk melakukan litbang. Itu tadi fungsi kita namanya technical support. Dari litbang kami juga berharap sebagai provider, kalau ada PLTN di sini. Kami juga berusaha mengembangkan hal-hal baru di bidang teknologi keselamatan reaktor meskipun itu tidak semaju di aplikasi yang nonenergi karena kebutuhannya ada, penggunanya ada. Kalau PLTN kan memang belum ada, jadi larinya tidak sekencang yang nonenergi.

Kami bekerjasama dengan Kementerian ESDM, selalu mengajak kita melihat roadmap. Kira-kira dua tahun lalu, hasilnya ada di Kementerian ESDM. Kewenangan ada di sana. BATAN diajak untuk menyusun roadmap. Kami bekerjasama terus dengan Kementerian ESDM. Kami hanya satu lembaga pemerintahan nonkementerian yang tugasnya memang hanya di litbang dan pemanfaatan. Keputusan jalan atau tidaknya PLTN itu ada di Kementerian ESDM, bukan kami, itu jelas. Dan UU sudah klir itu bahwa kami di badan pelaksana dan pemanfaatan PLTN bukan untuk komersial. Kami pernah mengusulkan, yang selama ini jadi best practise di dunia dan pernah direkomendasikan oleh badan tenaga atom internasional, memang sebaiknya dibentuk badan organisasi yang kalau di dalam IAEA itu disebut Nepio-nuclear programme implementation organization. Itu terdiri atas interdepth tapi yang mengepalai adalah menteri di bidang energi, itu sudah pasti. Tapi di situ campur ada menteri lingkungan, ekonomi. Jadi organisasi itu membahas betul apakah sudah siap nuklir. Kalau di IAEA itu dalam 19 item infrastruktur yang harus dipenuhi supaya kita bisa melangkah dari fase satu ke fase berikutnya. Dan itu yang mengoordinasi Nepio itu. Ini teorinya IAEA ya, berdasarkan best practises di beberapa negara. Nah, mereka merekomendasikan untuk negara yang mau bangun coba deh ikutin itu . tapi tidak ada mandatorynya. Vietnam itu kalau dicek infrastrukturnya dengan check list IAEA masih kalah dengan Indonesia, tapi mereka sudah putuskan bangun PLTN. Sudah kontrak dengan Rusia. Tapi terjadi Fukushima. Dan rupaya lumayan kencang yang resisten, lalu mereka bilang mendelay program PLTN mereka. Tapi beda dengan Bangladesh, sekarang sudah punya dua PLTN.

Apakah mereka sudah punya 19 items infrastruktur?

Mungkin juga belum. Tapi kenapa mereka putuskan membangun? Nah, itu kembali kepada keputusan negara itu dan alasan untuk ambil keputusan itu. Mungkin mereka punya pertimbangan lain yang akhirnya presidennya memutuskan untuk membangun. Mungkin tiga tahun lagi selesai. Turki juga begitu. UEA sudah jadi dua , mereka siap bangun dua lagi jadi ada empat. Mereka sudah punya 5600 MW atau 5,6 GW listrik dari PLTN.

Uni Emirat Arab juga bangun PLTN?
UEA tidak kurang minyak, tapi kenapa mereka bangun PLTN? Itu pasti ada pertimbangan negara yang tidak semuanya bisa di ekspos ke publik. Seperti Bangladesh itu bisa saja karena melihat India, Pakistan, sudah pada punya. Tapi kalau dibilang lebih maju mana iptek nuklirnya dibanding Indonesia, ya jelas Indonesia. Sampai sekarang masih ada staf Bangladesh yang belajar di BATAN di Serpong. Mereka belajarnya di sini. Mereka belajar pipe stress, menghitung tekanan pipa-pipa. Jadi kita dulu pernah ikut mengerjakan proyek dari wasting house, sebagian pekerjaannya dilimpahkan ke Indonesia. Seperti saya sampaikan tai, pada 90-an kita punya SDM luar biasa, ada yang ikut desain ke AS dikasih kerjaan untuk penghitungannya.
Artinya secara SDM kita mampu untuk membangun PLTN tapi tergandung political will.

Artinya, BATAN juga tidak resistens apalagi menghambat pengembangan PLTN oleh badan usaha di Indonesia?
Oh iya iya

Apalagi “bola” bukan di BATAN?
Bukan sama sekali. SDM-nya siap atau tidak, seperti saya bilang tadi tahun 90an jelas kita banyak sekali. Sampai pekerjaan punya AS kita kerjakan di sini. Artinya kita percaya dengan kemampuan kita. Tapi memang belum, semacam pertandingan kita itu latihan. Latihan saat itu, iya. Memang karena kejadian waktu itu kita agak delay baru terima pegawai lagi tahun 2005-2006. Sementara senior-senior yang membangun reaktor di Bandung, Serpong sudah mulai pensiun. Yang seangkatan saya juga sebagian sudah ada yang pensiun. Jumlah SDM-nya pun berkurang dibanding dulu. Kalau ditanya apakah kita siap? Saya jadi bingung kalau menjawab. Kalau latihan-latihan yang bisa, tapi kalau pertandingannya yang nggak tahu. Jadi kalau itu yang dimaksud itu PLTN rancangan kita sendiri, tentu tidak. Tapi kalau kita pakai model namanya reverse engineering kemudian kita siap menyerap teknologi, itu saya kira kita siap. Karena menyerap teknologi itu kan bukan hal mudah. Kita harus tahu persis, harus tahu basic dan sebagainya. Kalau seperti ini kita siap. Dan kemudian kita membangun kita akan bisa mengatakan kalau ini bagus atau tidak bangunannya, desainnya bagus atau tidak, itu kita bisa. Tapi bukan kita melakukan semua sendiri, tentu tidak. Jadi di PLTN itu bisa kita bagi dua. Istilahnya, nuclear islandnya dan pulau yang bukan nuklir-non nuclear island. Nuclear Island-nya mungkin kita bisa punya sedikit, maksudnya kita itu bukan hanya BATA, tapi Indonesia, apakah industrinya apakah infrastrukturnya? Apakah kemampuan pabrikan-pabrikan nuklirnya bisa? Itu bagian nuclear islandnya hanya sedikit. Tapi nonnuclear island hampir semua kita bisa karena itu tidak beda dengan PLTU biasa. Yang membedakan PLTU batubara, dan minyak dengan PLTN itu hanya pada pembakaran bahan bakarnya. Kalau batubara itu dibakar dengan api, kalau PLTN bahan bakar dibakar dengan reaksi namanya visi. Begitu reaksi visi menghasilkan panas, sama dengan batubara yang dibakar dan menghasilkan panas. Lalu panas itu digunakan untuk memanaskan air, airnya jadi uap, uapnya memutar turbin. Nah, proses ini persis sama. Jadi tingkat komponen dalam negeri untuk non nuclear islandnya kita sudah bisa semua. Bahkan kita punya perusahaan di Cilegon (Banten) yang memproduksi satu komponen penting namanya condensor itu ke Finlandia untuk PLTN-nya Finlandia. Artinya, manufaktur lokal pun bisa ekspor. Tapi itu kan non nuclear island-nya. Cuma yang di bagian nuclear islandnya, kemampuan industri dasar kita belum mampu. Tapi itu hal biasa di negara seperti China dan Korea Selatan yang sekarang sudah bisa mengekspor desain mereka. itu saat pertama mereka beli desainnya, dari AS dan Perancis. Beli lalu bangun, mereka pelajari, sektar 15-20 tahun mereka sudah bisa menciptakan desain mereka sendiri. Jadi gain of knowledge-nya memang mereka lakukan sejak awal lalu mereka membuat inovasi dengan desain mereka sendiri. Dibutuhkan pengalaman banyak untuk bangun PLTN.

Kalau ada badan usaha yang ingin membangun PLTN apakah diperlukan payung hukum seperti Inpres, atau desain atau apa?
Tidak ada keharusan private company itu minta persetujuan ke BATAN, yang harus mereka lakukan adalah meminta ijin ke badan regulasi yaitu BAPETEN, itu harus. Mereka harus tahu dulu tempatnya di mana mau dibangun, berarti harus mendapat ijin tapak. Kemudian kalau mereka mau mulai membangun setelah dapat izin tapak, desain mereka harus mendapat approval BAPETEN. Kami Batan bisa membantu BAPETEN, private tadi, tapi tidak mandatory. By law dia tidak harus. Tapi by law dia harus izin ke BAPETEN. Dan di dalam perijinannya itu ada izin tapak, konstruksi, commisioning, dan ada izin operasi. Jadi ada empat izin yang harus didapat. Masing-masing ada persyaratannya. Nah mereka bisa berkonsultasi ke Batan. Karena private company payung hukumnya sudah ada, UU 10 Tahun 1997 sudah mengatakan begitu, BUMN-swasta-atau koperasi. Kalau koperasi mau bangun PLTN, ya boleh saja, asal punya duit. Nah untuk membangun ini pertama tapaknya itu dimana. Tapak itu menjadi penting karena kejadian Fukushima. Kalau di Jepang itu mencari daerah yang tidak ada patahan itu hampir sulit, tetapi mereka tetap membangun di daerah patahan yang kira-kira gempanya bisa ditangani dengan teknologi mereka. Makanya PLTN Jepang itu harganya lebih mahal karena mereka mengacu pada standar untuk gempa yang tinggi. dibandingkan dengan Korea, Perancis yang sangat jarang gempa. Mereka desainnya menyesuaikan dengan itu. Nah, desain dari luar negeri kalau mau masuk Indonesia kan juga harus menyesuaikan dengan kondisi di Indonesia. Mereka punya desain dasar yang tetap tetapi ketika mau dibangun mereka bilang ini ada site related designya, ada desain yang terkait dengan site. Nah itu yang harus diyakinkan oleh vendor, oleh pemilik, ke BAPETEN. Karena izin-izinnya semua dari BAPETEN.

Sudah ada yang mengajukan untuk membangun PLTN?
Sudah banyak tersiar. Kami juga pernah ketemu di sini. Saya bilang “wah bagus banget ada private company yang mau bangun PLTN di sini”. Cuma yang mereka bawa itu kan teknologi generasi keempat. Terbaru. Bahkan sekarang di dunia pun belum ada yang sudah proven. Jadi generasi pertama itu di awal-awal seperti reaktor Enrico Fermy membuktikan bahwa reaksi visi bisa sustain. Kemudian ada yang namanya reaktor-reaktor yang berpendingin gas, dengan nama moderatornya namanya fermit. Itu generasi pertama tahun 50-an. Lalu tahun 70-an itu disebut generasi kedua, cirinya reaktornya ukuran besar, menggunakan pendingin air. Dan itu yang paling banyak dibangun, termasuk Fukushima bisa digolongkan generasi kedua. Reaktornya berukuran 900-1000 MW electric, pendinginnya air. Tetapi sistem keselamatannya masih pakai sistem aktif. Lalu masuk ke generasi ketiga. Generasi ketiga sudah ada yang beroperasi, bahkan di awal 2000 Jepang sudah menggunakan yang namanya advanced boiling reactor – ABWR. Ini ukurannya lebih besar lagi, skala ekonomis lebih ekonomis kemudian sudah memasukkan sistem keselamatan yang lebih baru yang tidak semuanya aktif. Aktif itu semua pakai listrik. Ada sistem keselamatan yang sudah tidak pakai listrik. Kok bisa? Bisa. Seperti toren air, walaupun tidak ada pompa yang mendorong tapi ketika kran dibuka kan airnya tetap keluar. Nah itu namanya sistem pasif, jadi dengan gravitasi saja. Nah beberapa generasi tiga itu sudah menggunakan desain seperti itu. Jadi keselamatan tidak bergantung pada listrik. Ini semakin menguat setelah Fukushima. PLTN Fukushima itu sendiri generasi dua , umurnya sudah 40 tahun. Pada saat kejadian itu sudah mau ditutup, sudah mau berhenti. Tapi sebelum berhenti ternyata Tuhan berkehendak lain.

Nah generasi tiga China sudah mulai bangun, jenisnya AP 1000. Di Jepang sudah duluan ABWR. Di Perancis sudah mulai bangun. Di Inggris sudah bangun. Finlandia sudah bangun sebentar lagi commisioning. Sejak awal 2000 sejak generasi tiga itu orang sudah berkeinginan membangun lebih baru lagi, ini yang disebut generasi empat. Generasi empat pendinginnya tidak menggunakan air lagi, kalau tidak menggunakan gas tetapi untuk temperatur yang sangat tinggi, atau menggunakan bahan bakar pendingin logam cair. Seperti kalau ada garam natrium, garam laut itu kemudian dicairkan kemudian dijadikan pendingin. Kenapa tidak menggunakan air, karena pengalaman yang sudah-sudah seperti yang terjadi di Fukushima, air itu mudah mendidih. kadang kalau airnya ditekan itu bisa lebih tinggi temperaturnya. PLTN itu yang sudah-sudah itu paling tinggi temperaturnya 320 derajat. Tapi efisiensi thermalnya kalau sudah jadi listrik itu hanya 30% tidak bisa lebih.. Nah orang ingin punya yang lebih tinggi lagi. Adalagi ketakutan kalau pakai air akan mendidih, makanya digunakan pendingin yang bukan air. Gas itu kan tidak bisa mendidih, tetap saja menjadi gas tidak berubah fase. Karena unsur itu ketika berubah fase itu sifatnya berubah total. Air dengan uap kan bisa beda banget, uap bisa kemana-mana, tapi air disitu saja. Nah mereka menghindari air. Mereka cari logam cairatau bahkan bahan bakarnya dicairkan sekalian. Bersama-sama dengan pendinginnya. Itu generasi 4, sebetulnya penelitiannya sejak awal 2000. Bahkan dari tahun 60 sebetulnya. Tapi tidak di pursue karena Amerika tetap ingin mengembangkan yang air supaya industrinya tidak berubah-ubah. Tapi itu Amerika. Beda dengan China, mereka punya uang bisa bangun macam-macam. Nah generasi empat baru kemudian diseriusin itu tahun 2000. Amerika dan kawan-kawan untuk kemudian membentuk kelompok namanya GIF-Generation Four International Forum. Anggotanya negara-negara OCD ditambah China, itu mengembangkan desain-desain baru yang tidak berpendingin air.  Bahan bakarnya pun macam-macam tidak hanya uranium, thorium, ini belum ada yang menggunakan. Sebetulnya kalau dibilang di Indonesia ada thorium, dan konon memang potensi kandungan thorium lebih besar dibanding uranium. Kami belum selesai mengeksplorasi jadi angka-angka terukurnya kami belum bisa sebutkan. Jadi di seluruh dunia memang thorium lebih banyak. Tapi perlu diingat, thorium itu beda dengan uranium. Jadi di alam ini bahan atau unsur yang bisa membelah itu namanya uranium 235. Kemudian thorium, ini ada di alam, tapi ini bukan bahan yang bisa reaksi visi. Thorium itu kalau dia diinteraksikan dengan netron menghasilkan uranium 233. Nah, uranium 233 itu yang bisa reaksi visi. Dalam kenyataannya dia bisa ditaruh di reaktor jadi bahan bakar tapi prosesnya thorium itu menjadi uranium 233 lalu uranium 233 bereaksi dengan netron yang muncullah reaksi visi. Jadi uranium 233 tidak ada di alam, datangnya dari thorium 232. Thorium 232 ini ada di alam. Tapi kalau uranium 235 yang bisa reaksi visi, ini ada di alam. Bagi orang awam mungkin kurang memahami ya. Tapi kami orang nuklir itu berarti banyak, hitung-hitungannya beda. Karena netron itu jadi satu, dia nembakin saja thorium supaya jadi uranium 233. Nah, uranium 233 itu juga harus ditembaki netron supaya bisa reaksi visi. Repotnya sebelumnya thorium jadi uranium 233 itu melewati satu fase lagi simbol kimianya PA, dia itu juga senang menyerap netron tapi tidak bisa reaksi visi. Jadi bisa dibayangkan, thorium jadi PA sebelum jadi uranium 233, netronnya bisa saja diserap banyak oleh PA bukan uranium 233. Kalau diserap PA tidak akan ada reaksi visi. Buat kami orang nuklir itu beda banget. Jadi harus memperhitungkan thorium ini. Lalu apakah ada atau tidak racun yang namanya PA yang akan menyerap netron. Artinya, ini generasi baru, semua harus diuji coba. Benar tidak thorium lalu ditembaki netron jadi uranium 233 lalu menghasilkan reaksi visi? Kalau bagi kami, “ya tunggu dulu”. Harus banyak sekali yang diperhitungkan. Berapa banyak thorium yang dikonversi menjadi uranium 233, berapa banyak uranium 233 yang berkonversi menghasilkan energi. Maksud saya, poinnya adalah memang ini sedang diteliti. Amerika sedang membuat, tapi bahan bakarnya bukan thorium sepertinya. Jadi thorium itu salah satu alternatif, tapi kalau mereka masih bisa pakai uranium yang mereka gunakan itu. Nah waktu Thorcon datang, dia bilang desain reaktor kami pakai thorium juga bisa jadi tidak harus pakai uranium. Saya paham. Memang rantainya lebih panjang dengan thorium. Buat kami orang nuklir itu sesuatu yang harus dipertimbangkan. Sekarang kalau ditembaki thoriumnya lalu tidak jadi uranium 233 maka tidak akan ada reaksi visi. Jadi harus yakin benar thorium itu ditembaki netron bisa jadi uranium 233. Teoritically itu sangat mungkin. Tapi ini semua masih tahap penelitian, belum ada yang sudah dibangun.

Ada yang mengajukan TMSR, thorium molten salt reactor. TMSRnya adalah generasi empat, jadi antara bahan bakar dan pendinginnya dicairkan jadi satu. Kalau generasi 2,3 bahan bakarnya padat kemudian sekelilingnya itu air untuk mendinginkan untuk mengambil panasnya. Kalau yang molten salt reactor bahan bakarnya dicampur air, bisa diisi thorium, bisa diisi uranium. Terserah desainernya. Dibuat cair semua. Jadi uraniumnya dicampur asam jadilah garam, molten salt-reaktor garam cair. Uraniumnya dicampur dengan chloride atau floride, kemudian cair semua. Tidak ada bahan padatnya. Beda banget konsepnya dengan reaktor yang saat ini beroperasi. Jadi yang eksisting sekarang adalah generasi tiga . Generasi empat sedang diteliti terus. Generasi empat tidak semuanya pakai thorium. GIF itu punya enam desain yang mereka klaim sebagai generasi empat. Ada yang berpendingin gas namanya VHTGCR- very high temperature gas cold reactor, ada yang MSR-molten salt reactor, ada yang SCWR-super critical water reactor air tapi sudah bentuk gas, lalu ada yang Fast Grader reactor-FGR, kemudian ada yang pendinginnya pakai campuran timah dengan campuran bismut.

Apa yang cocok di Indonesia?
Pada 2006 saya sudah jadi Kepala Pusat Keselamatan Reaktor. Pada waktu itu kami sudah terekspos dengan perkembangan generasi empat. Saya kumpulkan teman-teman dari UGM, ITB, membentuk namanya Indonesia Forum for Advanced Reactor –IFA. Kemudian kami rembugan membuat suatu penelitian generasi empat yang cocok untuk Indonesia. Diujung pertemuan itu kami bersepakat untuk tidak sepakat. Jadi teman-teman ITB itu sudah mulai duluan. Mereka selama ini sudah banyak mahasiswanya yang belajar ke Jepang dengan PBWI, timbal dengan bismut, kebetulan profesornya disana begitu. Lalu di bawah ke Indonesia dan bilang akan melanjutkan. Teman di UGM beda lagi, mereka tertarik dengan moltem salt reactor.

Bagaimana dengan BATAN karena sejarahnya beberapa teman kami sudah belajar dengan yang berpendingin gas, High temperature gas reactor dan sudah terlibat dengan kegiatan IAEA. Melakukan perhitungan segala macam. Saya baca di salah satu dokumennya GIF, mereka berharap yang masuk pertama di sekitar 2020 itu adalah high temperature gas cold reactor, karena cikal bakalnya sebenarnya sudah ada. Generasi pertama itu pendinginnya sebenarnya gas tapi temperaturnya tidak tinggi sehingga efisiensinya rendah. Nah GIF ini efisiensinya tinggi sampai 900 derajat celcius, jadi efisiensinya bisa di atas 40%. Nah kami kemudian berpikir, ya sudah melanjutkan disitu. Tapi belum pernah ada yang kami bandingkan. Masing-masing punya kelebihan dan kekurangan. Jadi kita yang siapnya yang mana. GIF memprediksi itu memang high temperature gas cold yang akan masuk pasar lebih dulu. Tapi akhirnya perkembangannya agak terdelay dengan kejadian Fukushima. GIF agak memperlambat sedikit. Australia itu anggota GIF juga meskipun tidak punya PLTN. Kalau di China itu hampir punya semua jenis. Jadi saya tidak bisa menjawab mana yang paling cocok di Indonesia.

Mana yang paling low cost?
Belum bisa tahu. Bagaimana bisa tahu, kan belum ada contohnya. Kalau konsepnya saja bisa. Kalau yang high temperature gas coldnya China sudah jadi, kita bisa lihat berapa ongkos mereka. nah pentingnya proven kan disitu. Semua bisa mengklaim lah. Tapi saya tidak tahu itu. Itu perhitungan desainernya.

Dibandingkan dengan  pembangkit lain apakah PLTN bisa lebih low cost?
Di negara lain memang terbukti lebih low cost. Perancis mereka tidak minyak, tidak punya batubara, mau apa. Jadi kalau dibandingkan dengan solar, wind, ya lebih murah PLTN. Kemudian di Indonesia batubaranya banyak. Nah yang berat kompetisi dengan batubaranya. Tapi hal yang pasti bahwa PLTN butuh investasi lebih besar dari pembangkit lain, lead time nya lebih lama walaupun sekarang bisa diperpendek, tapi bahan bakarnya lebih murah. Dan tidak terfluktuasi. Energi nuklir itu kan energi intensif ya, bahan bakar butuhnya sedikit, bisa membangkitkan energi besar. Kemudian ongkos transportasinya tidak besar seperti batubara yang setiap hari harus bolak-balik. PLTN itu 1,5 tahun baru ganti bahan bakar sepertiganya. Dan itu tidak lebih dari 20 ton. Itu untuk 1000 MW, bisa 18 bulan baru diganti bahan bakarnya. Jadi dioperasikan saja terus, tidak perlu bolak-balik kirim bahan bakar. Kalau batubara kan cuaca buruk tidak bisa dikirim. Dan harga di dunia tidak naik turun. biaya bahan bakar hanya sedikit berpengaruh ke biaya pembangkitan. Apapun harus diakui bahwa PLTN dianggap sebagai teknologi yang penuh risiko dan komitmennya tidak bisa jangka pendek. Harus punya komitmen termasuk limbahnya harus diurus. Kalau di negara lain itu yang punya PLTN sudah bayar iuran untuk urus bahan bakar nanti, jadi suatu saat sudah tidak beroperasi limbahnya sudah ada yang urus. Dan limbah PLTN itu dibagi-bagi kelasnya, paling banyak itu limbah aktivitas rendah. Limbah aktivitas paling tinggi itu datang dari bahan bakar, kalau sudah reaksi visi dia menghasilkan produk visi. Selain energi itu ada unsur lain yang sifatnya radioaktif. Unsur radioaktif ini punya umur, ada yang satu detik, ada yang menit, jam, bulan bahkan yang ribuan tahuh. Yaang ribuan tahun ini yang harus dijaga, tapi ini tidak banyak. Yang paling banyak itu limbah aktivitas rendah, ini ditaruh di luar tidak apa-apa. Kalau limbah bahan bakar sampai saat ini masih disimpan di reaktor karena memang jumlahnya tidak banyak. Negara-negara tertentu tidak ingin membuang itu, karena dari bahan bakar itu masih bisa menjadi bahan bakar lagi. Dan negara yang sudah melakukan itu adalah Perancis, Jepang. Mereka mendaur ulang bahan bakar bekas itu menjadi bahan bakar baru. Hasil reaksi visi uranium 233 itu salah satunya adalah plutonium 239. Nah, itu oleh mereka yang sudah memproses ulang, plutonium 239 dicampur dengan uranium 235, jadilah bahan bakar yang namanya Moks- mix oxide campuran oksidan plutonium dan oksidan uranium. Tapi tidak semua negara melakukan itu. Karena kalau bisa pungutin uranium, plutoniumnya, takutnya jatuh ke tangan yang tidak bertanggung jawab itu bisa menjadi komponen utama pembuat bom atom. Amerika tidak mengolah ulang itu. Tapi mereka menyimpan. Bahkan bahan bakar bekas kita ditarik gratis, ongkos kirim nya tidak ada. Tapi memang tidak mudah untuk memproses itu. Kalau orang bisa pungutin plutonium 239 nya, itu bisa untuk membuat bom. Sama dengan pada saat kita bisa memperkaya uranium. Uranium 235 yang bisa membelah, di alam itu hanya sedikit. Yang banyak itu uranium 238. Supaya jadi bahan bakar di reaktor, uranium 235 itu perlu diperbanyak itu namanya memperkaya. Jadi, uranium 235 di alam diambil 1 Kg yang banyak ternyaya U238, padahal di reaktor tidak cukup kalau hanya 1Kg tapi harus 3Kg, nah ini namanya memperkaya. Tapi ini juga sensitif teknologi. Sekali kita memperkaya uranium, 1%, 2%, 4%, bisa memperkaya sampai 90%, ini bisa jadi bom. Makanya Iran dipelototin terus. Maksud saya memang itu di dalam non proliferasi disebut sebagai sensitive technology. Indonesia tidak mempelajari teknologi memperkaya mupun mengolah ulang. Kita sudah menandatangani traktat non proliferasi. Sebetulnya boleh-boleh saja, asal kita mendeclare ke badan atom internasional dan mereka menginspeksi.

Jadi PLTN sebetulnya sudah layak dibangun di Indonesia, tapi perlu political will. Regulasinya bukannya sudah ada, tinggal implementasinya? Sebetulnya sudah ada kan, sudah lengkap aturannya. Tapi kalau nanti yang dibutuhkan itu komitmen pemerintah, ya mungkin perlu deklarasi atau apapun. Kalau swasta yang membangun, Perpres segala macam saya kira tidak perlu ya. Kalau KEN itu kan sudah ada. Hanya kalau di UU 10 itu ada konsultasi dengan DPR. Lainnya infrastruktur legal sudah cukup. Kalau ada swasta yang mau bangun, yang pasti kan dia perlu ada tempatnya, nah tempatnya berhubungan dengan Pemda lalu RT/RW bisa menampung atau tidak. Peran pemerintah disitu. Di negara manapun, di China atau dimana, itu pertama pemerintah memberikan insentif, kemudahan. Tapi pemeritah memang harus punya komitmen dulu. Perpres, Inpres itu bisa saja, itu kan instrumen hukum ya. Tapi yang terpenting komitmennya. Semua negara begitu, tidak ada yang purely swasta. Nah komitmennya akan dituangkan di mana, apakah RPJMN atau apa. Nah ini RPJMN kita akan selesai 2024, 2025 kesana itu sudah ada RPJP baru. Di RPJP lama tahun 2007 sebetulnya PLTN sudah ada. Sudah tertulis. Bahwa di Renstra, RPJMN 2015-2019 PLTN akan di consider menjadi pembangkit listrik, ada bisa di cek di UU 17 tahun 2007 tentang RPJPN. Tapi tidak terjadi juga. Sebetulnya sudah lengkap ya.

Bagaimana soal isu keselamatan?
Kalau di luar negeri, isu yang pertama adalah limbah, kedua keselamatan, ketiga adalah ploriferasi kalau dibuat senjata. Kalau di Indonesia, isu keselamatan masih suka dipertanyakan, lalu keselamatan, yang ketiga bukan proliferasi tapi orang Indonesia dibilang masih belum siap, masih ceroboh. PLTN tidak bisa menjamin keselamatan 100 persen, ya mana ada teknologi yang 100 persen aman? Naik motor aman tidak? Naik pesawat aman tidak? Naik mobil? Tapi masyarakat Indonesia bisa menerima atau tidak sih? BATAN sejak 2009 melakukan survei ke masyarakat, angkanya mulai dari 50% setuju PLTN. 2011 setelah Fukushima turun ke 47-49%. Lalu 2015 naik lagi, tahun 2016 sampai 75,3% responden menyatakan setuju PLTN. Tapi apakah itu memengaruhi? Pemerintah apakah memutuskan? Ternyata nggak juga. Tapi ada yang lebih menarik lagi, masyarakat 75,3% itu kalau ditanya ok dibangun ya di pantai, jawabnya “oh jangan, kalau bisa agak jauhan”. Nah kalau di nuklir ini dinamakan phobia nimby-not in my back yard-jangan bangun di halaman saya. Itu terjadi. Itu hal lain. Yang menarik lagi, kalau survei itu dilakukan di Perancis gak akan sampai 50 persen, walaupun saat ini 80 persen listrik mereka dari PLTN. Tapi pemerintahnya determined. Ternyata public acceptance itu bukan penentu juga. Batan membuat survei seperti itu untuk tahu sebenarnya masalahnya dimana. Jadi apapun keputusan di pemerintah. Kami siap membantu apapun yang diputuskan pemerintah, technical supportnya akan kita siapkan. Kita akan mendidik orang-orang yang nantinya akan dipekerjakan. Kita siap membantu transfer of knowledge, apapun teknologinya. Rosatom itu adalah badan atom Rusia. Teknologi Rusia menurut saya no problem, beda dengan Chernobyl. Desain mereka juga disertifikasikan di Eropa dan Amerika. Sama dengan desain negara-negara barat pada umumnya. Yang mereka tawarkan macam-macam. Ada yang dengan pendingin air, ada yang di atas kapal. Intinya, teknologinya hampir sama. Cuma, kita Batan minta itu sudah proven. Apalagi kalau kita bisa lihat demo plantnya, historicalnya. Kalau belum, ya coba di riset dulu. Bapeten pun pasti akan bilang seperti itu. Kecuali kalau kita kembangkan, lalu desain sendiri, tapi nanti juga perlu disahkan oleh Bapeten. Jadi ada banyak yang datang, tapi tidak seramai tahun 90an. Batan untuk generasi empat itu lebih ke pendingin gas. Sudah coba bangun desain, dan eksperimen lain. Kami belum menekuni yang molten salt. Saya sendiri lebih ke pendingin air. Ternyata air itu kalau sudah jadi uap itu berubahnya luar biasa. Itu kalau tidak eksperimen sendiri tidak akan pernah tahu, karena dibuku tidak ada. Maka itu penting sekali eksperimen, kalau hanya hitung-hitungan dengan komputer segala macam tapi kalau belum eksperimen menurut saya belum ya. (DR/RA/ALF)