JAKARTA – Pemerintah menargetkan tidak lagi melakukan impor LPG pada 2030. Nantinya ada berbagai macam alternatif energi yang diproyeksi sudah bisa menggantikan LPG, salah satu kandidat terkuat adalah Dimethyl Ether (DME).

Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), pada 2020 kebutuhan LPG mencapai 8 juta ton. Sebagian besar atau 6 juta ton dipenuhi dari impor. Sisanya 1,9 juta ton diproduksi di dalam negeri. Serta gas dari pipa sebagai pengganti LPG setara dengan 0,1 juta ton.

Arifin Tasrif, Menteri ESDM, mengatakan kebutuhan LPG akan tumbuh menjadi 8,8 juta ton pada 2025. Hanya saja pada tahun itu dia meyakini sudah ada proyek hilirisasi batu bara menjadi DME yang jalan. Dalam proyeksi pemerintah pada 2025 nanti impor LPG jauh berkurang atau tinggal 1,4 juta ton. Kemudian untuk produksi DME bisa mencapai 3,5 juta ton setara LPG. Sisa untuk memenuhi kebutuhan dari LPG eksisting atau produksi dalam negeri sebesar 1,4 juta ton. Lalu jargas setara dengan 0,6 juta ton, kompor listrik juga mulai digunakan sebagai alternatf dimana penggunaannya setara dengan 0,6 juta ton rich gas dan LPG yang diproduksi di kilang 0,8 juta ton.

“Tahun 2030 kebutuhan LPG itu 9,7 juta ton. Itu tidak lagi impor targetnya. Nanti bisa dipehuhi DME yang produksinya bisa mencapai 4,5 juta ton,” kata Arifin disela rapat kerja dengan Komisi VII DPR, Selasa (19/1).

Selain mengandalkan DME, pada 2030 kebutuhan LPG akan dipenuhi juga dari dalam negeri 1,2 juta ton. Serta jargas maupun kompor listrik yang ditargetkan masing-masing sudah setara 1,1 juta ton LPG. Lalu ada LPG dari kilang sebesar 1,8 juta ton.

Menurut Arifin, proyeksi tidak lagi impor LPG dan menggantinya dengan DME sudah tertuang dalam grand strategi energi (GSE). “Optimalisasi produksi methanol dari PKP2B menjadi DME dapat memenuhi kebutuhan substitusi LPG dalam negeri,” ungkap Arifin.

Selain itu, kelebihan produksi methanol juga bisa dialihkan untuk substitusi produk lainnya seperti gasoline dan olefin. “Serta kebutuhan industri lainnya,” tukas Arifin.

Arifin mengatakan hilirisasi coal to DME untuk menggantikan LPG yang sudah berjalan kini sedang dikerjakan PT Bukit Asam Tbk bersama dengan PT Pertamina (Persero) dan Air Product. “Air Product menyediakan produk DME dan Bukit Asam menyediakan batu bara, Pertamina chip in saham dan offtaker (produk),” ungkap Arifin.

Arifin mengklaim biaya produksi DME juga lebih murah ketimbang produksi LPG yakni hanya US$420 per ton sementara LPG bisa US$550 per ton. “Jadi memang cost LPG lebih tinggi. Biasanya US$600 per ton pada posisi normal,” kata Arifin.(RI)