Oleh: Ferdinand Hutahaean

Direktur Eksekutif Energy Watch Indonesia

ferdinand hutahean 

Indonesia dengan jumlah penduduk sekitar 250 jiwa adalah negara pasar yang sangat besar untuk kebutuhan bahan bakar minyak (BBM). Dengan kebutuhan BBM sekitar 47 Juta kl setiap tahunnya atau sekitar 1,6 Juta barel perhari, tidak heran kita harus mengimpor BBM dan minyak mentah untuk kebutuhan publik setiap tahun harinya. Produksi Lifting minyak kita yang terus menurun hingga sekarang berkisar di angka 800 ribu barel perhari tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan nasional, belum lagi dari 800 ribuan barel itu setengahnya adalah milik operator sehingga praktis kita sangat defisit antara produksi/suplai dan kebutuhan. Kapasitas produksi kilang minyak nasional saat ini hanya berkisar 700 ribu s.d 800 ribu barel perhari, dan untuk menutupi kebutuhan nasional maka harus ditutup dengan melakukan impor yang cukup besar. Rata – rata sekitar 50% kebutuhan minyak dalam negeri kita impor baik dalam bentuk minyak mentah maupun dalam bentuk produk. Angka yang sangat fantastis kita keluarkan setiap tahun untuk impor, ratusan trilliun rupiah kita gelontorkan stiap tahun untuk impor kebutuhan minyak nasional.

Sungguh menjadi ironi bagi bangsa ini ketika kebutuhan sangat besar namun tidak ditopang dengan kebijakan pemerintah yang mengantisipasi pemenuhan kebutuhan dari produk nasional. Terlalu lama bahkan puluhan tahun pemerintah tidak melakukan pembangunan kilang pengolahan minyak. Bahkan saat ini kilang minyak yang kita miliki sudah sangat tua dan menjadi tinggi biaya operasi dan biaya produksinya. Tentu ini terjadi bukan tidak beralasan. Adanya kekuatan yang selama ini bercokol yang sering kita sebut sebagai mafia migas telah menghambat pembangunan kilang minyak dan lebih suka melakukan import minyak karena besarnya keuntungan yang didapat oleh mafia dari impor BBM dan Minyak. Inilah penghambat yang selama ini dibiarkan!

Pada pemerintahan Jokowi saat ini, pemerintah berencana membangunan dua unit kilang pengolahan dengan kapasitas masing – masing 300 ribu barel perhari yaitu di Tuban dan Bontang. Rencana ini tentu sangat bagus mengingat apabila kilang ini nantinya beroperasi akan mampu mengurangi impor BBM namun tidak menghentikan impor minyak mentah sebagai bahan baku bagi kilang tersebut. Apabila rencana tersebut berjalan mulus, maka diharapkan kilang tersebut akan beroperasi di atas 2020. Tentu pada tahun tersebut kapasitas kilang kita mungkin akan berkisar 1,2 Juta s.d 1,4 Juta juta barel aktif.

Tentu harus diperhitungkan juga terhadap kemampuan kilang kita saat ini yang secara pasti akan menurun kapasitasnya seiring usia kilang yang makin tua dan mungkin akan semakin tidak efisien apabila tidak segera dilakukan up grading kilang. Artinya dengan kondisi seperti ini, sesungguhnya untuk tahun 2020 harusnya kita punya kapasitas kilang mencapai 2 juta barel dan tahun 2025 kapasitas sekitar 2,5 juta barel perhari. Karena konsumsi akan terus meningkat rata – rata berkisar 5% – 10% setiap tahunnya. Peningkatan ini akan terjadi cukup tinggi karena tidak adanya program konversi energi dari pemerintah yang jelas terhadap substitusi energi. Tidak tersedianya angkutan umum yang ramah dan pola konsumtif rakyat meingkatkan jumlah kendaraan bermotor setiap tahunnya cukup signifikan, tentu ini akan meingkatkan konsumsi BBM secara besar-besaran.

Dengan angka diatas dapat kita bayangkan betapa urgentnya pembangunan kilang pengolahan minyak untuk segera dibangun. Apabila pembangunan kilang minyak masih berlarut larut dan tidak kunjung dibangun, bangsa kita akan sangat rentan terhadap situasi darurat energi. Tanpa pembangunan kilang minyak, kita tidak akan pernah mencapai kondisi yang sering kita sebut ketahanan energi. Pemerintah juga perlu melakukan evaluasi pembangunan kilang minyak terpusat dengan kapasitas besar, karena sangat rentan bahaya apabila terjadi perang. Akan lebih baik jika pembangunan kilang dilakukan dalam skala lebih kecil tapi menyebar dibeberapa daerah, tentu ini akan lebih aman dan lebih memudahkan proses pendistribusian yang selama ini cukup panjang dan cukup rumit. Kami melihat bahwa kedepan untuk mencapai kapasitas kilang nasional hingga 2,5 Juta barel perhari, sebaiknya pemerintah membangun kilang skala lebih kecil yang menyebar dibeberapa daerah khususnya diwilayah barat dan timur.

Kilang dengan kapasitas 100 Ribu barel perhari bila dibangun di Sulawesi, Papua, Nusa Tenggara, Maluku dan Sumatera bagian Utara akan sangat meringankan beban distribusi BBM secara merata. Disamping itu, pemerintah juga perlu membangun kilang- kilang minyak mini dengan kapasitas lebih kecil antara 30 ribu barel hingga 50 ribu barel perhari dibeberapa daerah untuk menopang ketahanan energi. Dengan kondisi tersebut maka konsep ketahanan energi akan terpenuhi.

Pembangunan kilang minyak memang tidak mudah dilakukan mengingat kebutuhan biaya investasi yang cukup tinggi dengan tingkat pengembalian investasi yang cukup panjang, sehingga bagi investor, bisnis ini kurang menarik kecuali investor dapat keringanan – keringanan atau insentif yang cukup besar. Salah satu yang selalu menjadi perdebatan dalam hal ini antara pemerintah yang diwakili Pertamina sebagai off taker produk dengan investor adalah penetapan harga, investor selalu meminta penetapan harga jual pada harga keekonomian sementara Pertamina lebih nyaman bila harga ditetapkan dengan harga pasar atau market price. Tentu hal ini menjadi lumrah karena Pertamina sebagai off taker akan mengalami kerugian jika membeli dengan harga keekonomian dan menjualnya dengan harga pasar ketika harga minyak sedang rendah, sementara pemerintah telah menghapus subsisdi BBM. Hal ini harus dicarikan solusi yang efektif supaya kita dengan investor sama – sama berada pada posisi saling menguntungkan.

Dengan adanya polemik diatas tentu investor akan berpikir ulang untuk investasi refinery di Indonesia, telebih jika produk kilang tidak ada kewajiban bagi Pertamina sebagai off taker. Ini masalah pelik yang harus diatasi oleh pemerintah dengan tidak berpangku tangan pada investor. Kami menyarankan pemerintah agar setiap 2 tahun APBN menyediakan dana pembangunan kilang minyak dengan kapasitas 100 ribu barel. Tentu APBN sangat mampu untuk membiayai ini atau mencari pinjaman dari luar. Kilang dengan kapasitas 100 ribu barel akan membutuhkan biaya sekitar 20T tentu bisa disediakan oleh APBN, maka perhitungan dalam 10 tahun APBN Indonesia sudah bisa menambah kapasitas kilang minyaknya sekiar 500 ribu barel. Jika terus menerus mengandalkan investor, maka niscaya pembangunan kilang akan terhambat dan melambat kecuali pemerintah menyatakan akan menjadi off taker semua produk kilang minyak yang dibangun oleh investor di Indonesia. Tidak ada pilihan lain, karena memang bisnis ini butuh investasi besar dan tentu investor akan sangat berhitung dengan nilai investasi dan pengembalian investasinya. Pilihan kita adalah, mengikuti investor atau bangkit dengan sumber dana yang kita miliki.

Pemerintah jangan memandang permasalahan kenbutuhan minyak ini sebagai masalah ringan yang bisa diselesaikan dengan impor. Geopolitik global sangat menentukan masa depan kita bisa mendapatkan minyak dipasar internasional. Tidak ada yang bisa menjamin bahwa kita akan bisa mendapatkan pasokan minyak dari pasar global ketika situasi politik global semakin tidak menentu dimana minyak selalu menjadi salah satu senjata paling ampuh untuk merusak negara – negara yang memiliki kertergantungan akan impor minyak. Melihat semua itu, maka urgensi pembangunan kilang minyak tidak bisa ditawar tawar lagi dan pemerintah harus merubah kebijakannya untuk lebih berorientasi kepada pemenuhan infrastruktur energi. Situasi darurat energi sudah di depan mata, tidak ada jalan lain pembangunan infrastruktur disektor ini mutlak dan sangat urgent sebagai prioritas utama.