Di tengah kesibukan kita bersatu melawan COVID-19, kita harus juga waspada dengan “wabah” yang mungkin tidak kalah menghawatirkan, yakni “resesi ekonomi” akibat krisis sektor migas kita yang gelagatnya mulai tampak sekarang ini.

Lima tahun yang lalu, tepatnya 30 Agustus 2015, saya pernah menulis OPINI di sebuah surat kabar. Isinya tentang terpuruknya nilai rupiah yang menembus level paling rendah sejak tujuh tahun terakhir (pada saat itu), yakni sudah melewati angka 14.000 rupiah per dollar Amerika Serikat. Di saat yang sama harga minyak juga jatuh hampir setengahnya dari tahun-tahun sebelumnya. Beruntung Indonesia memiliki BUMN Pertamina yang mempunyai usaha sektor hulu hingga hilir migas. Meskipun tidak signifikan, kerugian di kegiatan hulu akibat turunnya harga minyak ini mendapat kompensasi dari kegiatan hilirnya.

Sekarang, setelah hampir lima tahun berlalu, ternyata krisis tersebut berulang kembali, bahkan lebih parah lagi. Kemarin (24/3) nilai rupiah sempat merosot hingga 16.900 rupiah per dolar Amarika Serikat. Kali ini penyebabnya makin kompleks karena di tengah melambatnya pertumbuhan ekonomi di berbagai negara besar (terutama Tiongkok) terjadi ketidaksepakatan pengurangan produksi di antara negara produsen minyak. Alih-alih mengurangi produksi, kedua negara produsen besar yakni Arab Saudi dan Rusia menurunkan harga sembari membanjiri minyak ke pasar dunia.

Beberapa pengamat energi mengatakan, perang harga minyak mentah antara Arab Saudi dan Rusia berlangsung seru. Kabarnya, Arab Saudi, yang notabene memiliki ongkos produksi yang tergolong rendah (di bawah US$10/bbl) dan cadangan yang besar, berusaha membanjiri dunia dengan cara menaikkan produksinya. Dengan demikian, di saat permintaan minyak mentah dunia melambat, jumlah suplai di pasaran makin berlebih (over supply – low demand). Akibatnya harga minyak kembali jatuh. Dari data terakhir (25/3), harga minyak mentah WTI (West Texas Intermediate) menukik ke level US$25.38 /bbl dan jenis Brent menjadi US$28.88 /bbl. Sementara itu, biaya produksi lapangan-lapangan minyak di Rusia masih sekitar US$25-30/bbl. Di sekitar harga inilah sepertinya keinginan Arab Saudi agar pesaingnya mengikuti kehendaknya dalam menstabilkan harga minyak dunia.

Adanya “perang harga minyak” ini telah menggeser medan perseteruan dagang AS dan Tiongkok. Proyek-proyek eksplorasi dan eksploitasi shale-oil dan shale-gas serta pembangunan Kilang LNG (liquified natural gas) di AS mesti dikaji ulang dalam pembiayaannya. Di tengah semua itu, muncul pandemik virus korona (COVID-19) yang berasal dari Wuhan menyebar demikian cepat melintasi batas-batas negara dan semakin sulit dikendalikan. Selain itu, yang mungkin tidak begitu muncul di permukaan adalah semakin banyaknya pengguna energi baru dan terbarukan (EBT) dan teknologi internet yang melahirkan disruptive business yang cukup masif.

Apapun penyebabnya, yang jelas ini telah membuat investor di sektor migas dan para pengusaha nasional maupun internasional limbung, sehingga bayangan resesi sudah di depan mata. Mungkin beberapa kantor dan pabrik sudah mulai ancang-ancang merumahkan karyawannya. Bukan sekedar work from home (WFH), mengikuti anjuran pemerintah untuk menghindari tertularnya COVID19, tapi mungkin menjadi WFHF (work from home forever) alias dipensiunkan selamanya. Sudah dapat dibayangkan potensi krisis dan dampak sosial – ekonomi yang akan terjadi.

 

Berkah atau Musibah?

Bagi Indonesia, penurunan harga minyak dan melemahnya nilai rupiah ini sebetulnya dapat menjadi berkah tapi sekaligus musibah. Menjadi berkah, karena dengan harga minyak yang rendah, kilang kita mestinya mendapat bahan baku (feed stock) yang murah dan menghasilkan produk petrokimia, yang sebagian besar berupa bahan bakar minyak/BBM, yang relatif stabil harganya.

Menjadi musibah, karena pendapatan dari kegiatan migas di Indonesia sebagian besar merupakan usaha hulu migas. Maka, dengan adanya penurunan harga minyak yang sangat signifikan membuat kegiatan eksplorasi dan produksi terganggu. Pertamina, sebagai pemegang Wilayah Kerja Migas terbesar di Indonesia, mestinya akan memangkas realisasi anggarannya hingga 40-50 % dari usulan sebelumnya. Sejumlah kegiatan pemboran dan survei eksplorasi mungkin dibatalkan.

Yang lebih tragis lagi, yang juga terkana dampak akibat penurunan harga minyak (dan gas) ini, adalah perusahan jasa penunjang (services company) di lingkungan kegiatan hulu migas, seperti jasa pemboran, jasa survei seismik, penyedia peralatan dan lumpur pemboran, dan lain-lain. Mereka tidak seperti perusahan migas (oil company) di sektor hulu maupun hilir yang dapat mengupayakan pendapatan (revenue) dari usaha-usaha lain, ataupun melakukan pengetatan realisasi anggaran untuk mempertahankan profitnya. Para penyedia jasa penunjang kegiatan migas ini menggantungkan kegiatannya sebagai mata-rantai kegiatan inti di hulu maupun hilir migas. Pekerjaan mereka menjadi sangat berkurang.

Sebagai contoh, apabila perusahaan hulu migas (KKKS) diharuskan mengetatkan ralisasi anggarannya hingga 40%, maka yang mereka lakukan adalah dengan cara memotong anggaran kegiatan pemboran pengembangan dan eksplorasi (yang hampir 60% dari anggaran per tahunnya). Mereka juga dapat mengurangi kegiatan lain yang tidak ada hubungannya dengan produksi saat ini, seperti: survei seismik, dan/atau kajian pilot projects kegiatan enhanced oil recovery (EOR) yang berjangka panjang. Barangkali sudah disiapkan penawaran paket pensiun dini untuk pekerja tetap (permanent employees) dan tidak memperpanjang lagi pekerja kontrak (outsourcing). Sedangkan perusahaan jasa penunjang hanya dapat mengurangi anggaran riset dan pengembangan teknologi, dan/atau merumahkan sebagian pekerjanya.

Guncangan harga minyak mentah yang datang tiba-tiba, juga akan merubah tatanan bisnis di sektor hilir migas. Harga gas pipa dan LNG yang mengacu pada harga minyak akan terkena dampak. Namun, karena bisnis gas biasanya sudah mengacu pada kontrak jangka panjang, maka yang terjadi mungkin tidaklah serta-merta di tahun ini. Permintaan koreksi dan revisi harga dari para pembeli kepada penjual gas dan LNG sudah menjadi agenda pokok pada pertemuan rutin mereka.

Untuk gas bumi dan LNG, munculnya negara-negara baru penghasil LNG (seperti Qatar, Yaman, Norwegia, Angola, Mozambique, Nigeria, dan Amerika Serikat sendiri yang sebelumnya merupakan negara pengimpor LNG) mulai membanjiri LNG di pasar internasional. Kondisi ini jualah yang membuat kelebihan pasok (oversupply) LNG di pasar global. Hal ini kemudian memberi peluang kepada para pembeli LNG untuk mendapatkan banyak pilihan sumber maupun harga gas di pasaran (multi sources and multi prices). Maka berkembanglah bisnis LNG Hub di beberapa negara, termasuk Singapura. Kondisi ini menyebabkan pasar spot LNG juga sangat sulit menyerap kelebihan kargo-kargo produksi LNG yang belum memiliki kontrak (uncommitted cargoes).

Indonesia termasuk penyuplai LNG yang telah mendapatkan kontrak jangka panjang dengan para pembeli tradisional, seperti: Jepang, Korea, Taiwan, dan Tiongkok. Namun, dengan kondisi harga minyak dunia yang merosot seperti ini, tentunya akan banyak memberi dampak pada transaksi perdagangan LNG selanjutnya.

Setelah berakhirnya Arun LNG dan menurunnya produksi Badak LNG, dua kilang baru LNG Indonesia, yakni Tangguh LNG Train 3 dan Masela LNG, memasuki masa yang sulit, jika tidak segera dicarikan pasar yang kompetitif.

Peruntukan LNG untuk domestik yang sudah dicanangkan lima tahun terakhir ini tidak mampu diserap konsumen. Infrastruktur dan manukaftur yang belum terbangun secara terintegrasi di lokasi yang berdekatan menyebabkan kita tidak dapat mengambil keuntungan dari adanya penurunan harga gas ini.

 

Integrasi Hulu dan Hilir

Bagi perusahaan hulu migas, krisis ini tidak mungkin akan menyurutkan semangat mereka untuk tetap menjaga produksi, bahkan kalau bisa meningkatkannya, dengan cara melakukan upaya “insensifikasi” lapangan yang ada. Penggunaan teknologi yang tepat guna (fit for purposes) harus terus digiatkan untuk menggenjot usaha ekstraksi migas dari dalam perut bumi.

 Teknologi informasi (IT) yang menerapkan digitalisai lapangan minyak (digital oil fields) harus digunakan untuk memonitor sekaligus mengoptimalkan produksi dengan jumlah pekerja yang terbatas. Hal ini dapat menjadi pilihan yang baik dalam upaya peningkatan produksi dengan biaya yang efektif-efisien. Peninjauan kembali (revisit) data-data lama, baik data bawah permukaan (seperti seismik, geologi, reservoir, dll), maupun data fasilitas produksi harus dilakukan secara terintegrasi menggunakan pendekatan big data analytics.

Inovasi pada peralatan produksi di sumur-sumur tua dan upaya de-bottle necking pada pipa-pipa dan fasilitas produksi harus menjadi perhatian yang serius. Jika perlu menggunakan Artificial Intelligence (AI) dalam beberapa ruas pemantauan dan optimasi produksi.

Demikian pula bagi para pelaku bisnis hilir migas. Inilah saatnya membangun infrastruktur dan manufaktur yang berbasis pada murahnya harga feed stocks, sehingga dapat menumbuhkan pabrik-pabrik perokimia, baik untuk mengolah minyak maupun gas, yang dapat memperkuat ketahanan industri lokal ke depan. Hal ini juga dapat melahirkan industri-industri baru hilir migas dan merekrut banyak tenaga kerja, sehingga bonus demografi Indonesia tidak disia-siakan.

Pemanfaatan gas pipa dan LNG bukan hanya untuk listrik tapi juga untuk transportasi dan bahan baku petrokimia yang modern. Pembangunan mini LNG plant dan mini Regasifikasi LNG serta teknologi pengapalan dengan small-scale vessel atau isotank ke daerah terpencil sudah waktunya direalisasikan untuk mendekatkan sumber gas kepada pemakainya di seluruh pelosok Indonesia.

Langkah optimalisasi biaya (cost-effectiveness) pada kegiatan hulu dan hilir yang terintegrasi, dan penerapan teknologi yang tepat guna menjadi kunci keberhasilan usaha migas di ambang krisis sektor migas kita. Pengurangan ketergantungan kita terhadap yang berbau impor (seperti: bahan baku, modal kerja, sumberdaya manusia, dan lain-lain) menjadi cara yang harus diupayakan agar kita tidak bangkrut tersapu gelombang krisis yang berkepanjangan. Waspada jalan terus, panik jangan. In shaa Allah, kita dapat melewati krisis ini dengan memompakan semangat kerja mandiri, berdiri tegar, dengan kaki sendiri. Aamiin.

(Ditulis kembali di Bogor, 25 Maret 2020)